Heboh Wisata Seks Jepang Makin Marak Gegara Video Viral di TikTok
Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Senin, 21 April 2025
0 dilihat
Video TikTok viral picu maraknya wisata seks turis asing di Jepang. Foto: Facebook@Japanese Sensei.
" Fenomena wisata seks di Jepang kembali menjadi sorotan dunia setelah sejumlah video viral di TikTok memicu meningkatnya jumlah turis asing yang berburu layanan seksual di Tokyo "

TOKYO, TELISIK.ID - Fenomena wisata seks di Jepang kembali menjadi sorotan dunia setelah sejumlah video viral di TikTok memicu meningkatnya jumlah turis asing yang berburu layanan seksual di Tokyo.
Kawasan Taman Okubo menjadi salah satu titik panas yang ramai didatangi turis setelah video-video tentang praktik prostitusi di area tersebut menyebar luas di media sosial.
Taman Okubo di Tokyo kini dikenal bukan hanya sebagai ruang terbuka, tapi juga sebagai lokasi utama praktik prostitusi terbuka yang menarik perhatian wisatawan asing.
Beberapa video di media sosial seperti TikTok dan Bilibili menampilkan momen-momen ketika para pekerja seks komersial (PSK) Jepang menjajakan diri kepada turis. Video-video itu disebarkan secara luas hingga ditonton ratusan ribu orang.
Menurut laporan AFP, para perempuan yang bekerja sebagai PSK tampak berjejer di sekitar Taman Okubo, yang berlokasi tidak jauh dari Kabukicho, sebuah area hiburan yang terkenal karena hiasan kepala Godzilla pada salah satu bioskopnya. Perempuan-perempuan itu menawarkan jasa seks secara terang-terangan kepada para pelancong.
“Tidak ada data resmi, kecuali bukti anekdotal yang dikumpulkan AFP menunjukkan pertambahan jumlah laki-laki asing yang berbondong-bondong mendatangi area itu setelah menonton video di media sosial,” tulis laporan AFP, dikutip Senin (21/4/2025).
Baca Juga: Penemuan Makam Nabi Zulkifli di Tembok China Sengaja Disembunyikan? Picu Teori Konspirasi Baru
Konsumen utama dari praktik wisata seks ini sebagian besar berasal dari Korea Selatan, China, dan Taiwan. Namun, ada juga turis dari kawasan Amerika Utara dan Eropa yang terlihat memanfaatkan jasa tersebut. Para wisatawan asing ini kerap menggunakan aplikasi penerjemah saat berkomunikasi dengan para PSK karena tidak menguasai bahasa Jepang.
“Karena mereka tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Jepang, mereka menulis ‘Berapa?’ di ponsel mereka,” kata Ria, salah satu PSK, namun tidak bersedia menyebutkan nama lengkapnya.
Ria juga menjelaskan bahwa para pekerja seks di Okubo beroperasi secara independen tanpa adanya keterlibatan muncikari. Setelah melakukan kesepakatan, mereka akan mengajak pelanggan menuju hotel cinta (love hotel) terdekat untuk melakukan transaksi.
Para PSK di Okubo memasang tarif mulai dari 15 ribu yen hingga 30 ribu yen atau sekitar Rp1,8 juta hingga Rp3,6 juta per sesi. Namun, persaingan dan kondisi ekonomi membuat beberapa di antaranya terpaksa menurunkan harga untuk tetap mendapatkan pelanggan.
Menurut Ria, daya beli pria Jepang saat ini mulai menurun, sehingga banyak PSK yang memilih untuk melayani pelanggan asing.
“Orang asing biasanya enggak negosiasi harga dan biasanya akan memberikan uang lebih banyak,” ujar Ria.
Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Azu, seorang PSK berusia 19 tahun. Ia menyebutkan bahwa pelanggan asing biasanya tidak keberatan membayar harga yang lebih mahal dibandingkan pria lokal Jepang.
“Skenario terbaik, aku bisa meminta 20 ribu yen (Rp2,4 juta) per orang per jam dengan sebuah kondom,” kata Azu.
Alasan lain mengapa PSK di Jepang lebih memilih pelanggan asing adalah faktor keamanan. Mereka lebih nyaman melayani wisatawan asing karena dianggap lebih kecil kemungkinannya sebagai polisi yang menyamar.
“Lebih aman memilih pelanggan asing daripada orang Jepang karena setidaknya kami tahu mereka bukan polisi berbaju preman,” ujar Ria menambahkan.
Di tengah maraknya fenomena tersebut, organisasi non-profit bernama Rescue Hub hadir untuk memberikan perlindungan kepada para PSK yang ingin keluar dari dunia prostitusi. Organisasi ini menyediakan tempat aman, makanan, dan fasilitas lain yang dibutuhkan oleh para perempuan tersebut.
Arata Sakamoto, kepala Rescue Hub, menyampaikan bahwa fenomena wisata seks seperti ini tergolong langka di Jepang. Ia menjelaskan bahwa satu dekade lalu, perempuan Jepang jarang yang bersedia menjadi pekerja seks.
“Zaman berubah. Pandemi Covid-19 memaksa anak-anak perempuan Jepang menjual seks dengan harga murah,” ujar Arata.
Menurut Arata, situasi ini menjadi pemicu meningkatnya jumlah pelanggan asing di kawasan tersebut. Ia juga mengungkap bahwa para perempuan yang dilindungi Rescue Hub sering mengalami berbagai risiko seperti pelecehan, kehamilan tak diinginkan, penyakit menular, hingga pengambilan gambar tanpa persetujuan.
Baca Juga: Unik: Jepang Tawarkan Jasa Sewa Orang untuk Minta Maaf, Diiringi Tangisan Dibanderol Lebih Mahal
“Mereka juga mungkin tidak dibayar atas jasa mereka atau uang mereka bisa saja dirampas,” kata Arata menjelaskan lebih lanjut.
Saat media berkunjung ke apartemen milik Rescue Hub, sekitar 10 orang perempuan sedang beristirahat sambil mengisi daya ponsel dan menyantap makanan. Organisasi tersebut terus berupaya memberikan perlindungan dan pemulihan kepada para perempuan yang ingin meninggalkan dunia prostitusi.
Sementara itu, kepolisian Tokyo tidak memberikan tanggapan terkait peningkatan aktivitas wisata seks yang melibatkan turis asing. Namun, pihak kepolisian sempat menyatakan bahwa patroli di kawasan tersebut telah ditingkatkan sejak bulan Desember lalu.
Arata menyatakan bahwa satu-satunya cara efektif untuk menekan maraknya wisata seks adalah dengan mengubah hukum yang berlaku di Jepang. Saat ini, hukum di Jepang hanya menyasar PSK dengan ancaman denda atau penjara, sedangkan pelanggan tidak dikenai sanksi.
Menurut Arata, kebijakan semacam itu membuat para pelanggan merasa bebas dari tanggung jawab hukum. Ia berharap ada perubahan sistem hukum yang juga menargetkan pengguna jasa, bukan hanya pelaku. (C)
Penulis: Ahmad Jaelani
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS