Histeria Mahasiswi Indonesia di Negeri Episentrum Corona

Haidir Muhari, telisik indonesia
Senin, 20 April 2020
0 dilihat
Histeria Mahasiswi Indonesia di Negeri Episentrum Corona
Sabdatun Nisaa Ahyar disalah satu sudut kota di Cina. Sumber: Ist.

" Alhamdulillah hasilnya negatif dan sudah diizinkan balik ke Indonesia. Jadi langsung beli tiket tanggal 2 Februari. "

KENDARI, TELISIK.ID - Mahasiswi dari Indonesia diisolasi di doormitory 13 bersama empat orang temannya dari Banglades. Liburannya di Kota Nanjing berbuah pahit. Ia kini harus menjalani masa isolasi selama dua pekan dan tak diizinkan pulang ke negerinya, Indonesia.

Sabdatun Nisaa Ahyar adalah mahasiswa di Jiangsu Agri-Animal Husbandry Vocational Vollage mengambil jurusan Landscape Architecture. Kota Taizhou, Provinsi Jiangsu yang hanya berjarak sekitar 600 kilometer dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, episentrum pandemi COVID-19.

Kisahnya di negeri Tirai Bambu itu, dimulai sejak 2018. Oktober pertama kali ia menginjakkan kakinya di Cina.  ia tinggal di kamar 718 lantai tujuh doormitory 15. Aturan di asrama itu sekamar hanya boleh dihuni oleh tiga orang. Bersama dua orang temannya asal Jawa Barat dan Jawa Timur.

Nadah begitu biasa ia disapa, sudah mampu beradaptasi dengan empat musim di negeri Laksamana Cheng Ho, yaitu dingin (winter), musim semi (spring), musim panas (summer) dan musim gugur (autumn). Ia juga sudah punya tempat favorit saat-saat rindu menghampiri, atau untuk sekadar melepas  penat dari rutinitas perkuliahan, yaitu Taishan Park dan Tiandehu Park. Menuju ke dua taman itu ia biasa menggunakan motor listrik atau menaiki bis.

Sabdatun Nisaa Ahyar di Taishan Park (kiri) dan Tiandheu Park (kanan). Sumber. Ist.

Ia sudah bisa menulis dan bertutur dengan bahasa Cina. Makanan khas cina yang paling dia sukai  ???? atau sapi kacang merah. Ia juga sudah mencoba memasak makanan khas di negeri panda itu, yaitu Huangmenji atau ayam kentang.

Pernah ia mengalami saat kikuk. Suatu ketika ia pernah salat di tempat terbuka, sontak saja menjadi perhatian warga sekitar. Sejak saat itu ia tak lagi salat di tempat umum, lebih memilih di kamar, atau di emperan toko. Selama ini kisahnya di Cina cukup tenang. Suka dukanya dijalani, sama seperti mahasiswa yang kuliah di dalam negeri.

Semuanya berubah, saat virus Corona menjangkiti beberapa orang di Wuhan. Menyebar dengan begitu cepatnya, menjalar laksana api ditumpukan jerami,  seperti yang kita telah mafhumi. Jauh dari orang tua dan teman-teman yang bisa menguatkan. Di perantauan, tidak ada orang yang bisa dijadikan sandaran jiwa.

Pengalaman pahit yang menyempitkan dada. Ia mengalami langsung tepat di Cina. Kita saja sudah demikian paniknya, bagaimana dengannya? Ingatannya tentang ini akan anumerta hingga suatu nanti.  

Sebelumnya Nadah tetiba mendapat telpon dari dosen untuk segera pulang ke kampus. Di tempat liburannya kota Nanjing telah diumumkan beberapa warganya sudah dipastikan positif COVID-19. Liburannya menjadi suram. Sesaat perasaannya menjadi berkecamuk kacau tak menentu.

Senin, 27 Januari 2020 perjalanan dari Nanjing ke Kota Taizhou begitu lengang dan sepi. Mass Rapid Transit (MRT) yang menuju stasiun biasanya penuh sesak dengan desak-desakan manusia, kini dalam MRT ia hanya sendiri. Dari  tempatnya bermalam menuju stasiun ditempuh dalam waktu sejam selama itu pula ia hanya sendiri. Orang-orang tidak lagi sibuk di luar rumah,  tapi sibuk mengurung diri di dalam rumah, karena diserang takut akut akibat virus Corona.

Di depan asrama wali kelasnya telah lebih dulu menunggu. Di tangan wali kelasnya ada pengukur suhu tubuh. Sesegera saja semua yang baru datang dari Nanjing melakukan pengecekan suhu tubuh. Hasilnya, Nadah yang juga alumni SMAN 1 Kendari itu menunjukkan 36.4 derajat celcius.

Bersama empat orang mahasiswi dari Bangladesh langsung diungsikan di ruang isolasi yang telah disiapkan pihak kampus. Tepatnya di doormitory 13. Angka keramat yang hanya dipakai oleh ambulans. Orang China percaya bahwa angka 13 membawa kesialan. Pihak sekolah menjamin selama masa karantina kebutuhan konsumsi akan ditanggung.

Baca juga: Corona Merampas Impian Gadis itu ke Negeri Sakura

Pemberitaan tentang perkembangan virus begitu masif. Ia dan empat orang temannya itu begitu ketakutan. Bagaimana tidak setiap harinya dikabarkan ada orang yang telah meninggal, bunyi sirine dari mobil ambulans tidak henti-hentinya meraung-raung menyatu dengan tangis sendu pilu.

Setiap detiknya hanyalah kecemasan. Ia menutup telinga kuat-kuat, memejam mata rapat-rapat. Tak ingin mendengar dan melihat tragedi-tragedi itu lagi. Apa boleh buat? Ingatan manusia memang kadang menyiksa. Kerap menyimpan rapi apa-apa hal atau momen yang coba kita hempaskan. Belum lagi ancaman virus yang bisa memapar kapan saja.

Saat-saat demikian itu ia berpikir selain Tuhan, hanya Ibu yang mampu menjadi tempat membenamkan segala rasa takut akut. Seperti dalam lagu Ibu yang dipopulerkan Iwan Fals, ingin ku dekap dan menangis di  pangkuanmu, sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu. Ia ingin segera meninggalkan China, kembali ke negeri +62, ibu pertiwi Indonesia menjumpai Ibunya.

Rabu, 29 Januari 2020 sudah ada beberapa mahasiswa yang dipulangkan ke Indonesia. Ia lalu memberanikan diri bertanya ke Wali Kelas apa ia diperkenankan untuk balik menjumpai Ibu yang melahirkannya. Wali Kelas dan pihak sekolah tak mengizinkan, aturan harus ditegakkan. Kata  Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, fiat justitia ruat caelum, artinya hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Ia baru dibolehkan balik ke Indonesia setelah menamatkan masa karantika. Esok harinya suhu badannya naik mencapai 37,5 derajat celcius.

"Itu karena saya pakai (tidur di) kasur panas dan setel AC 30 derajat dan ditesnya pas lagi tidur jadi memang suhu badanku tinggi", ungkap kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah itu menjelaskan. Hari itu juga ia langsung dilarikan ke  rumah sakit terdekat untuk melakukan pengecekan.

"Alhamdulillah hasilnya negatif dan sudah diizinkan balik ke Indonesia. Jadi langsung beli tiket tanggal 2 Februari", ungkapnya.

Saat ini gadis yang lahir pada 20 November 1999 sudah di Kendari dan tetap menjalani kuliah daring. Belum ada kepastian dari pihak kampus di Tiongkok kapan perkuliahan akan dibuka seperti sedia kala. Dia sudah siap untuk melanjutkan kuliahnya di sana, tetapi traumanya menganga lebar entah kapan akan akan sembuh utuh.

 

Reporter: Idi

Editor: Sumarlin

Artikel Terkait
Baca Juga