ICW Sebut Penyelenggara Pemilu Bobrok, KPU Berkilah Belum Terima Salinan Putusan MA
Mustaqim, telisik indonesia
Minggu, 01 Oktober 2023
0 dilihat
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana (kiri) dan Komisioner KPU RI, Idham Kholik. Foto: Ist.
" Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak KPU mencabut dua ketentuan yang dianggap memudahkan mantan terpidana kasus korupsi maju sebagai caleg "
JAKARTA, TELISIK.ID – Belum lama dituding tidak memiliki itikad baik karena tidak segera menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) tentang keterwakilan perempuan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kini dituding bobrok dalam menyusun aturan pencalonan anggota legislatif.
Tudingan kali ini dilontarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Mereka melontarkan hal itu sebagai respons atas putusan MA hasil uji materi yang memerintahkan KPU mencabut dua ketentuan yang dianggap memudahkan mantan terpidana kasus korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).
Dua ketentuan yang dimaksud yakni pasal 11 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang membuka pintu bagi mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai caleg tanpa menunggu masa jeda selama lima tahun.
ICW dan Perludem bersama dua mantan pimpinan KPK, Abraham Samad dan Saut Situmorang, merupakan pihak pemohon dalam perkara uji materi tersebut.
“Putusan MA ini menggambarkan secara jelas dan terang benderang betapa bobroknya penyelenggara pemilu dalam menyusun aturan mengenai pencalonan anggota legislatif,” tegas peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Sabtu (30/9/2023).
Kurnia menjelaskan, secara materil ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana diputuskan oleh MA.
"Ini juga sekaligus membuktikan bahwa alasan yang dibuat oleh KPU untuk membenarkan PKPU Pencalonan Anggota Legislatif ini adalah salah dan keliru, bahkan bisa disebut mengada-ada,” tandasnya.
Baca Juga: KPU Nilai Cukup Waktu jika Pilkada Dimajukan September 2024
Dikabulkannya uji materi ini, menurut Kurnia, juga menguatkan sangkaan bahwa aturan internal KPU merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan mantan terpidana korupsi. Sehingga hak dasar masyarakat untuk mendapatkan calon berintegritas dirampas oleh KPU dengan adanya ketentuan tersebut.
“Momentum putusan MA yang mengabulkan uji materi para pemohon kian memperlihatkan buruknya kualitas penyelenggara pemilu dalam menjunjung tinggi nilai-nilai integritas,” kritik Kurnia.
ICW dan Perludem meminta KPU untuk segera merevisi PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023 dengan menghapus syarat pidana tambahan bagi mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
“Perubahan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, dan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPD juga harus segera dibarengi dengan upaya untuk mencoret calon anggota legislatif yang masih belum memenuhi syarat masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana dari daftar calon sementara (DCS),” desak Kurnia.
Meski MA sudah mengeluarkan putusannya Nomor 28 P/HUM/2023, Komisioner KPU RI, Idham Kholik, berkilah pihaknya belum menerima salinan putusan MA terkait hal itu. Putusan MA itu memerintahkan KPU untuk mencabut dua ketentuan yang dianggap memudahkan eks terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
“Sampai tanggal 30 September 2023, KPU belum menerima salinan putusan MA Nomor 28 P/HUM/2023 tersebut,” kata Idham, Sabtu (30/9/2023).
Idham tidak memberi penjelasan mengenai langkah yang akan diambil KPU dalam menyikapi putusan MA yang meminta KPU mencabut pasal yang dinilai memberikan ruang bebas bagi mantan terpidana. Dua beleid yang dimaksud itu adalah pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10/2023 dan pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023.
Kedua PKPU itu memberikan ruang bagi mantan terpidana dengan ancaman pidana lebih dari lima tahun untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR maupun senator tanpa melewati masa jeda lima tahun setelah dinyatakan bebas murni, melainkan hanya menjalankan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, di samping pidana pokoknya.
Kendati demikian, Idham menegaskan, dalam merumuskan aturan syarat pencalonan itu, KPU merujuk pada pertimbangan MK. Perumusan pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10/2023, misalnya, didasarkan pada pertimbangan putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022.
Pada halaman 29 pertimbangan putusan dimaksud, MK berpendapat bahwa syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang inkrah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih adalah inkonstitusional untuk jabatan publik yang dipilih, sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih.
Di samping itu, Idham juga menyoroti waktu pengajuan permohonan uji materi yang dimohonkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan pemohon lain ke MA, yakni pada 13 Juni 2023. Menurutnya, permohonan uji materi itu harus diajukan ke MA paling lambat 30 hari kerja sejak PKPU diundangkan.
“Kami tegaskan bahwa PKPU Nomor 10/2023 dan PKPU Nomor 11/2023 ditetapkan pada 17 April 2023 dan diundangkan pada 18 April 2023,” kata Idham.
MA mengabulkan uji materi atas pasal 11 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang membuka peluang mantan terpidana kasus korupsi maju sebagai caleg. MA memerintahkan KPU untuk mencabut dua ketentuan tersebut beserta pedoman pelaksanaan yang diterbitkan sebagai implikasi dua ketentuan itu.
Pasal 11 PKPU 10/2023 mengatur syarat administrasi untuk menjadi bakal caleg DPR serta DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sedangkan pasal 18 PKPU 11/2023 mengatur syarat untuk menjadi bakal caleg DPD.
Dua ketentuan tersebut dipersoalkan karena dinilai membuka pintu bagi mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai caleg tanpa menunggu masa jeda selama lima tahun yang telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusannya, MA pun menyatakan pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022.
Baca Juga: KPU Siapkan Draft Keterwakilan Perempuan Perubahan PKPU 10 Tahun 2023
Sementara, Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 bertentangan dengan pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023. “Dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum,” tulis MA dalam putusannya.
Dalam pertimbangannya, MA menilai perlu ada syarat ketat dalam menyaring para calon wakil rakyat demi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi oleh para wakil rakyat yang terpilih dari hasil pemilu.
MA pun menyinggung tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga tidak adanya persyaratan ketat dipandang bakal mengakibatkan proses pembangunan yang terhambat dan tidak tepat sasaran, mempengaruhi kebijakan publik dan produk legislasi yang koruptif.
“Walaupun memang mekanisme pemilu berdasarkan kehendak rakyat, namun tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan yang lebih ketat bagi para pelaku/terpidana tipikor, sehingga rakyat tidak akan menanggung resiko sendiri atas pilihannya,” tulis MA dalam pertimbangan hukumnya.
Oleh karena itu, MA berpandangan, KPU seharusnya menyusun persyaratan yang lebih berat bagi pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Menurut MA, percobaan jangka waktu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang cukup bagi eks terpidana kasus korupsi untuk introspeksi dan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat.
Hal tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023. “Dengan adanya jangka waktu tersebut, masyarakat dapat menilai calon yang akan dipilihnya secara kritis dan jernih,” kata MA. (A)
Reporter: Mustaqim
Editor: Haerani Hambali
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS