Jakarta Undercover: Siang Jual Pakaian, Malam Jual Diri
Mustaqim, telisik indonesia
Sabtu, 05 Agustus 2023
0 dilihat
Beberapa PSK di dekat Stasiun Tanah Abang yang sedang mangkal menunggu pelanggan. Foto: Mustaqim/Telisik
" Aktivitas pedagang pakaian di Pasar Tanah Abang mulai terlihat pukul 05:00 WIB, hingga sore hari. Selepas magrib saat malam menjemput, aktivitas perdagangan pakaian digantikan oleh aktivitas perdagangan “di balik pakaian" "
JAKARTA, TELISIK.ID - Jakarta sebagai ibu kota negara, setiap hari selama 24 jam tak pernah sepi dari aktivitas masyarakat yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sentra-sentra bisnis dan layanan publik yang tersebar di berbagai wilayah kota ini pun selalu ramai oleh transaksi jual beli dan jasa layanan publik.
Salah satu wilayah itu adalah Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mendengar atau membaca kalimat “Tanah Abang” di Jakarta, sebagian besar masyarakat akan mengatakan sebagai pusat penjualan pakaian dan sebagai daerah “hitam”.
“Ya, karena Tanah Abang dari dulu dikenal sebagai pusat berjualan pakaian dan tekstil. Bahkan kalau malam di daerah ini rawan kriminalitas. Setiap malam mudah dijumpai orang nongkrong sambil minum-minuman keras dan ditemani PSK,” ungkap Dede (bukan nama sebenarnya), pemilik warung kelontong di sekitar bongkaran Tanah Abang kepada Telisik.id, Jumat (21/7/2023) lalu.
Dede menuturkan, malam hari sekitar Maret 2023, seorang pria dibunuh oleh rekannya sendiri usai keduanya menenggak minuman keras di daerah itu. Namun, dia menilai kawasan Tanah Abang tidak lagi seseram dulu.
“Kalau sekarang boleh dibilang di daerah bongkaran Tanah Abang ini kriminalitas mulai berkurang karena hampir setiap malam ada patroli polisi,” tambahnya.
Pusat penjualan pakaian dan tekstil Tanah Abang sejak dulu dikenal ramai dan dianggap sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan catatan sejarah, Pasar Tanah Abang sudah berusia hampir tiga abad atau telah ada pada masa kolonial Belanda. Tepatnya mulai didirikan pada 30 Agustus 1735 oleh Yustinus Vinck atas izin Gubernur Jenderal Abraham Patras.
Aktivitas pedagang pakaian dan tektil yang menjual dagangannya di Pasar Tanah Abang hingga ke simpangan Cideng Barat, mulai terlihat menjelang pagi hari sekitar pukul 05:00 WIB. Mereka menggelar dagangan hingga sore hari sebelum magrib. Selepas magrib saat malam menjemput, aktivitas perdagangan pakaian digantikan oleh aktivitas perdagangan “di balik pakaian.”
Aktivitas perdagangan “di balik pakaian” ini merupakan bisnis prostitusi yang mudah ditemukan di sekitar pasar dan Stasiun Tanah Abang. Stasiun Tanah Abang sendiri mulai beroperasi sejak tahun 1899. Belum diketahui secara pasti sejak kapan bisnis prostitusi dimulai di kawasan tersebut.
“Menurut cerita orang-orang sini, prostitusi di Tanah Abang ini sudah ada sejak dulu, sejak zaman penjajahan. Tahun pastinya kapan dimulai, sampai sekarang kami juga belum tahu,” kata Yanto, warga Kampung Bali dan mengaku sudah puluhan tahun bermukim di wilayah itu, masih satu wilayah dengan Stasiun Tanah Abang.
Ketika malam hari hingga menjelang pagi, para PSK yang sering mangkal di sekitar pasar dan Stasiun Tanah Abang memilih berkelompok. Sebagian di antaranya terlihat mengenakan pakaian seksi dan sebagian lagi dengan pakaian yang lebih sopan. Mereka umumnya bukan warga asli Tanah Abang.
“Saya dari Tangerang dan kerja di sini untuk bantu biaya keluarga karena saya anak tertua,” ujar Anggi (22) dan mengaku bahwa keluarga hanya tahu dirinya bekerja di warung makan.
Rekan Anggi, Nila, juga mengaku kalau keluarganya tidak tahu dirinya terpaksa terjun ke bisnis prostitusi. Keluarga tahunya dia bekerja di kafe. Tidak punya keterampilan untuk kerja kantoran, dan hanya tamatan SMA, menjadi alasan Nila memilih pekerjaan ini. Ibu dua anak berusia 27 tahun asal Bogor, sudah tiga tahun melakoni pekerjaan ini, sejak berpisah dengan suami.
Kisah berbeda dialami oleh Santi (nama samaran). Wanita 38 tahun ini mengaku baru setahun lebih terjun ke bisnis prostitusi di Tanah Abang. Dia terpaksa menjalani bisnis haram ini karena kondisi suaminya yang sakit sudah dua tahun. Selain itu, kebutuhan biologis juga menjadi alasan bagi Santi untuk memenuhi hasratnya.
“Suami saya lumpuh dari kaki hingga ke pinggang sejak tahun 2021, setelah dia meninggalkan istri sirinya. Dia tidak tahu kalau saya kerja cari uang dengan cara melayani tamu. Dia tahunya saya kerja di rumah makan,” tutur Santi.
Santi juga bercerita bahwa dirinya saat itu kecewa setelah tahu suaminya telah menikah siri. Dia kemudian memilih untuk mencari kerja ke luar negeri. Tapi saat mencari kerja di Malaysia, Santi malah menjadi korban perdagangan orang. Ketika itu bersama teman-temannya, Santi ditempatkan di sebuah bangunan kosong dan diperlakukan secara kasar.
Tidak tahan dengan perlakuan tidak manusiawi di lokasi penampungan, Santi berusaha melarikan diri secara diam-diam pada malam hari. “Malam itu saya mengambil beberapa seprei lalu menyambungnya sebagai alat untuk turun dari lantai empat bangunan lewat jendela. Setelah berhasil keluar, saya ditemukan oleh warga Malaysia yang kemudian membawa saya ke kedutaan (Kedutaan Besar RI, red) di Kuala Lumpur,” cerita Santi.
Setelah berhasil kabur, Santi lalu melaporkan tentang rekan-rekannya yang disekap. Teman-temannya akhirnya dibebaskan dan saat itu Santi sempat diperbantukan di kedutaan untuk mengatur jadwal orang-orang yang akan bertugas memasak, membersihkan ruangan, dan urusan lain yang ringan.
Wanita asal Sumatera ini mengaku, meski menjalani bisnis haram tanpa sepengetahuan keluarganya, dia tidak setiap hari mangkal di Tanah Abang. “Saya ke sini kalau lagi butuh duit dan pengen aja. Saya tidak mau munafik karena kebutuhan biologis juga masih ada,” sambungnya.
Anggi, Nila, dan Santi hanya sebagian kecil dari mereka yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjadi PSK di sekitar pasar dan Stasiun Tanah Abang. (A)