Kaesang dan PSI yang Telah Layu
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 25 Juni 2023
0 dilihat
Efriza, dosen Ilmu politik di beberapa kampus dan owner penerbitan. Foto: Ist.
" PSI tak malu lagi menampilkan politik pragmatis yang “kotor,” ia mendompleng popularitas seseorang tanpa adanya pertanggungjawaban kepada publik "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
PUBLIK langsung tersentak atas video Kaesang Pangarep yang diwacanakan akan maju sebagai calon wali kota Depok dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 ini. Kaesang dalam video itu menyatakan, “Sudah mendapat ijin dan restu dari keluarga, dengan ini saya siap untuk hadir menjadi Depok pertama, mohon dukungannya. Merdeka!”
Kaesang saat ini masih bukan kader partai. Ia sedang diwacanakan maju sebagai wali kota Depok. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mencoba mengambil kesempatan itu untuk mendongkrak perolehan suara dan kursi di Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 nanti, utamanya untuk Pemilihan Umum Legislatif (Pileg). PSI mencoba melakukan komunikasi sekaligus sosialisasi dalam kampanye politiknya yakni PSI Menang Wali Kota Kaesang.
Sisi lain, tentu saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mulai memperlihatkan kegeramannya terhadap PSI. Reaksi bukan saja hadir dari PDIP di Kota Depok tetapi juga diikuti oleh beberapa pejabat teras partai dari tingkat pusat.
Reaksi PDIP juga mulai ditampakkan ketika kemarin dalam acara Gelar Puncak Bulan Bung Karno. Saat itu, berbagai partai di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di sapa oleh Puan Maharani selaku Ketua DPP Partai, tetapi tidak dengan PSI, entah khilaf atau kesengajaan untuk menunjukkan ketidaksukaan PDIP terhadap PSI.
PSI Sekadar Klaim Tanpa Kepastian
PSI saat ini amat serius mendompleng popularitas dari Kaesang. Sebab, Kaesang adalah Anak Presiden Jokowi, kemudian pengusaha sukses, sehingga PSI berharap dengan mengajukan Kaesang diharapkan akan dapat membantu meningkatkan kursi PSI.
Bukan hanya Kaesang, tetapi PSI juga “menjual” kembali Presiden Jokowi dalam komunikasi dan sosialisasi politiknya, PSI melakukan ini tentunya hanya untuk kepentingan politik Pemilu Serentak 2024 ini semata. Kedua perilaku itu yang disinyalir membuat PDIP mulai tidak nyaman dengan PSI.
PSI dengan melakukan strategi politik seperti ini malah menunjukkan partai ini tidak lagi terlihat kemampuan berpolitiknya. Padahal, PSI awal keikutsertaan dalam pemilihan umum (Pemilu) terkenal akan inovatif dan kreatifnya sebagai partai baru.
PSI juga tidak lagi terlihat gembar-gembor sebagai partainya anak muda, partai yang punya banyak ide, partai yang menghadirkan pendidikan politik kepada masyarakat. PSI malah mengesankan mereka sudah mulai lelah, mereka sudah mengakui dirinya adalah partai gurem semata.
PSI mencoba mendompleng popularitas Kaesang dengan mengemas jargon “PSI Menang Wali Kota Kaesang.” Permasalahannya adalah Kaesang bukan kader partainya. PSI juga tidak bisa memberikan jaminan apapun, misalnya jika memang PSI menang, Kaesang akan maju di Pilkada Depok.
Sebab, Kaesang meski non-parpol diyakini akan maju lewat PDIP, Kaesang akan menjadi Kader PDIP. Keluarga Jokowi berideologi nasionalisme “wong cilik”, keluarga Jokowi amat melekat sebagai bagian keluarga Banteng Moncong Putih.
Jokowi yang punya pengalaman sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD PDIP) Jawa Tengah tentu saja memahami ia beserta keluarga meraih kemenangan sebanyak 7 kali semuanya karena PDIP.
Jadi diyakini Kaesang akan memilih bergabung ke PDIP ketimbang PSI, karena PSI tidak akan memberikan kepastian menang dan juga identitas diri dan keluarganya adalah keluarga besar PDIP.
Partai “Seumur Jagung” Krisis Kader
Strategi politik PSI pada dasarnya tidak memberikan pendidikan politik. Partai yang mengaku mengusung kebaruan dalam berpolitik, ternyata ide-ide segarnya hanya seumur jagung semata, bahkan partai ini sudah krisis kader.
PSI dengan mendompleng Kaesang, menunjukkan PSI sudah “kurang darah” dalam berorganisasi. Akhirnya, PSI tak malu lagi menampilkan politik pragmatis yang “kotor,” ia mendompleng popularitas seseorang tanpa adanya pertanggungjawaban kepada publik.
Baca Juga: Ketidakmungkinan Empat Poros Koalisi di Pilpres 2024
PSI semestinya menyadari sebagai partai politik, PSI tidak semestinya memberikan harapan palsu kepada masyarakat, kecuali misalnya, PSI telah menjadikan Kaesang sebagai kadernya tentunya disertai memberikan jabatan politik yang potensial.
PSI bisa mencontoh perilaku yang positif dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang telah menjadikan Sandiaga Uno sebagai Kader PPP untuk ditawarkan sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Ganjar Pranowo. PSI yang ada saat ini, semenjak di pegang oleh Giring Ganesha, tak ada lagi ide segar, partai ini malah banyak kehilangan kader-kadernya yang potensial.
Semestinya, PSI percaya diri saja misalnya dengan mengajukan Ketua Umumnya Giring Ganesha maupun mantan Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie. Namun PSI sepertinya telah menyadari Ketua Umumnya tak laku “dijual” untuk sekadar strategi politik, maka yang didorong kepada publik adalah pendomplengan terhadap popularitas Kaesang.
Bahkan, untuk sekadar dipampang foto Ketua Umumnya Giring Ganesha, tampaknya kader-kader PSI mungkin sudah merasa malu bukan sekadar tidak lagi percaya.
Strategi politik yang dilakukan oleh PSI menunjukkan partai ini tidak punya visi-misi, pengaturan yang ketat dalam berorganisasi, maupun nilai-nilai perjuangan kepartaian. PSI sekadar berusaha menjual sosok figur semata, tetapi tanpa disertai komitmen yang akan dibangun, sebab tak disertai wacana visi-misi yang ditawarkannya untuk Kota Depok.
Andai saja, PSI mendapatkan tambahan kursi. Penulis menyakini PSI belum tentu akan menjadi pemain penting dalam poros koalisi. PSI disinyalir jika naik jumlah kursinya tidak akan banyak, sebab sekarang ini saja hanya memperoleh 1 kursi, apalagi sampai naik peringkat tiga besar rasanya hal mustahil, sebab Kota Depok sudah dicengkram erat oleh PKS menuju dua dekade. Artinya PSI diyakini sekadar partai gurem yang meramaikan Kota Depok saja.
Pengakuan Tidak Langsung Sebagai Partai Gurem
Lagi-lagi politik pragmatis yang dilakukan PSI, sudah jauh dari semangat awal partai ini berdiri bahwa PSI ingin menunjukkan memiliki banyak pemikiran yang inovatif dalam berpolitik. PSI bukan sekadar berpolitik pragmatis, namun juga menawarkan ide-ide segarnya.
Namun, tahun kedua PSI menuju Pemilu, partai ini berperilaku layaknya Partai Nasdem, PSI ingin meniru cara Partai Nasdem mendongkrak perolehan kursi sekaligus peringkat, hanya saja PSI lebih buruk dari Nasdem.
Partai Nasdem masih mengerti kesantunan berpolitik. Partai Nasdem saat mendorong Jokowi sebagai Presiden telah membangun komunikasi dengan PDIP, mengupayakan PDIP turut mendorong Jokowi sebagai Presiden.
Hal yang sama dilakukan Nasdem ketika ingin mendorong Ganjar Pranowo, bahkan Nasdem yang mendorong Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) meski non-partai tetap melakukan komunikasi politik disertai pendidikan politik untuk masyarakat, jadi tidak sekadar klaim.
Ini menunjukkan Nasdem tidak menjual tokoh yang populer dengan klaim-klaim semata, partai Nasdem tetap memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Begitu juga dengan PPP, saat “menggoda” Sandiaga Uno untuk berlabuh ke partai tersebut disertai dengan upaya mendorong sebagai cawapres masih melakukan kesantunan berpolitik. PPP menyadari Sandiaga Uno masih kader Partai Gerindra, jadi tidak diwacanakan sebagai cawapres.
Ketika Sandiaga Uno keluar dari Partai Gerindra, PPP juga masih memberikan waktu Sandiaga Uno untuk berpikir dan menentukan pilihannya. Ketika, Sandiaga Uno bergabung dengan PPP, maka Sandiaga Uno diberikan tugas penting memenangkan PPP dengan dihadiahi jabatan Ketua Badan Pemenangan Pemilu(Bappilu) PPP, serta didorong sebagai cawapres Ganjar Pranowo.
Sedangkan, strategi Politik yang dilakukan PSI yang dapat kita pelajari adalah PSI malah menunjukkan partai ini sudah kehilangan tentang pemikiran akan strategi politik yang bernas. Padahal kehadiran PSI diterima oleh Publik, karena sebagai partai baru menawarkan ide-ide segar.
Sekarang nyatanya, PSI membutuhkan Kaesang, ingin mendompleng namanya, dengan harapan mereka dapat tambahan kursi, namun PSI tak menyertakan sebuah kepastian.
PSI saat ini yang tidak punya kekuatan sebagai pemain di perpolitikan kota Depok, malah memberikan kekonyolan politik dengan mengambil cara instan dengan mendompleng Kaesang. PSI seperti sedang memberikan lelucon publik, agar publik dapat memberikan tawanya kepada partai ini.
Jika melihat realitas tersebut, maka dapat dikatakan tak ada yang bisa diharapkan dari PSI sekarang ini. PSI sekadar menawarkan jargon semata bahwa “PSI Menang Kaesang Walikota,” tetapi dari jargon itu tak ada ide-ide yang ditawarkan untuk Kota Depok, maupun perilaku politik yang menunjukkan bahwa Kaesang akan maju di Kota Depok itu saja tidak bisa dijadikan jaminan.
Kaesang Mencoba Menaikkan Daya Tarik
Kaesang memang punya kekuatan dengan daya tarik tersendiri. Hanya saja, nasib Kaesang, akan ditentukan oleh Megawati dan PDIP, sebagai bagian dari Keluarga Banteng Moncong Putih. Megawati selaku Ketua Umum tentu saja akan mengukur kans Kaesang, seperti sudah siapkah PDIP masuk pertarungan di Kota Depok yang telah dikuasai oleh PKS selama 17 tahun ini.
Baca Juga: Strategi Politik 'Prank' Ala Jokowi
Sedangkan, jelas-jelas saat ini beberapa wilayah juga sedang kosong, seperti kosongnya kursi Gubernur Jawa Tengah, Gubernur DKI Jakarta, dan Gubernur Banten, yang sebelumnya sempat dikuasai oleh PDIP. Jadi nasibnya Kaesang berada di tangan PDIP, bukan oleh partai gurem seperti PSI saat ini.
PSI dengan menggunakan strategi politik mendompleng Kaesang, sedang menunjukkan PSI adalah Partai Gurem yang membutuhkan bantuan Kaesang untuk mendongkrak perolehan kursinya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok.
Kaesang memang akan turut dibantu oleh Presiden Jokowi, namun tidak lagi sekuat dulu peran Jokowi membantu Kaesang. Sebab, Jokowi akan segera mengakhiri jabatannya selama dua periode sebagai presiden.
Sehingga yang ada adalah Presiden Jokowi mencoba mendorong kembali anaknya ke PDIP, dengan kejelasan bahwa tujuh kemenangan telah diberikan oleh PDIP terhadap Jokowi beserta keluarga seperti di antaranya Gibran sebagai Wali Kota Solo dan Bobby Nasution menantu kedua Jokowi sebagai Wali Kota Medan.
Saat ini antara Kaesang dan PSI dapat dikatakan bahwa Kaesang dapat saja sedang memainkan Gimmick Politik. Gimmick ini untuk melihat keefektifan dalam menaikkan popularitas dirinya, sehingga Kaesang diperhitungkan dalam kancah politik untuk diusung sebagai calon kepala daerah.
Tetapi figur Kaesang sendiri sampai saat ini belum memikat masyarakat Kota Depok secara keseluruhan, Kaesang masih diragukan oleh warga Kota Depok. Keraguan bukan saja, ia akan maju sebagai wali kota depok, tetapi juga keraguan Kaesang akan menang, dan yang terbesar adalah Kaesang akan menawarkan perubahan seperti apa untuk Kota Depok lebih baik.
Kaesang saat ini telah menghadirkan blunder, sebab PDIP sudah mulai geram. Kaesang seperti mengabaikan identitas dirinya dan keluarga besarnya adalah bagian Banteng Moncong Putih. Meski begitu, penulis meyakini Kaesang diyakini saat ini juga tidak sedang membesarkan partai lain.
Kaesang sekadar mencoba melihat sejauhmana kepopuleran dirinya, Kaesang menyadari PSI hanya satu kursi saja, tidak mungkin tiba-tiba mereka jadi pemain penting di Kota Depok.
Jadi, Kaesang hanya sedang berusaha menaikkan posisi tawar dirinya kepada PDIP di Depok maupun di Jawa Barat, utamanya juga ditujukan kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP. Kaesang melakukan ini, agar PDIP benar-benar melirik dirinya dan tidak meragukan dirinya untuk terjun ke kancah politik.
Sebab, Kaesang dalam persepsi publik tidak seperti Gibran yang merupakan sang Kakak telah terlihat menonjol dalam berpolitik. Inilah alasan Kaesang membiarkan dirinya dan kepopulerannya di dompleng oleh PSI. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS