Bukan Desa 'Proyek' KPU

M. Najib Husain, telisik indonesia
Sabtu, 13 November 2021
0 dilihat
Bukan Desa 'Proyek' KPU
Dr. M. Najib Husain, Dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

" FOUNDING fathers sudah memberi teladan, membangun Indonesia dengan mimpi dan diperjuangkan tanpa lelah untuk masa depan generasi berikutnya yang lebih baik "

Oleh: Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO

FOUNDING fathers sudah memberi teladan, membangun Indonesia dengan mimpi dan diperjuangkan tanpa lelah untuk masa depan generasi berikutnya yang lebih baik (Viryan Azis, 2021).

Kita masih ingat ulasan yang  ditayangkan MetroTV (program berita Metro Siang) pada 5 November 2019  dengan ulasan berita “Ada Dana Desa Siluman Penyedot Dana Desa”. Informasi terkait juga tayang di media elektronik nasional lainnya, yakni INews yang mengangkat isu “Aliran Dana Desa Hantu” (6 November 2019).

Rekam jejak pemberitaan tidak akan hilang, berita diungkapkan oleh  media massa seperti MetroTV dan iNews tidak lain untuk memberikan  kontribusi dalam pengawasan pengelolaan dana desa di salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara.  

Adanya istilah desa fiktif atau siluman, terjadi karena desa sekarang bukan lagi model desa seperti dulu, yang dikenal karena semangat gotong royong dan menjujung tinggi nilai-nilai kejujuran serta toleransi sesama warga desa/keluraham.  

Padahal, desa adalah awal dari demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia, dimana pemilihan secara langsung tanpa adanya money politik ataupun praktek politik kotor lainnya.

Desa telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam teritori negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, desa di Buton dan sebagainya.

Baca Juga: Menyoal Kans Prabowo Bakal Calon Presiden 2024

Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self governing community).

Sejak dulu desa sudah memiliki hak otonom, Ndraha (1991: 7-8) menjelaskan bahwa desa yang otonom adalah desa yang merupakan subyek hukum, artinya dapat melakukan tindakan-tindakan hukum.

Tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan antara lain: (a) Mengambil keputusan atau membuat peraturan yang dapat mengikat segenap warga desa atau pihak tertentu sepanjang menyangkut rumah tangganya; (b) Menjalankan pemerintah desa; (c) Memilih kepala desa; (d) Memiliki harta benda dari kekayaan  sendiri;

(e) Memilik tanah sendiri; (f) Menggali dan menetapkan sumber- sumber keuangan sendiri; (g) Menyusun APPKD (Anggaran  Pendapatan dan Pengeluaran Keuangan Desa); (h) Menyelenggarakan gotong-royong; (i) Menyelenggarakan peradilan desa; Menyelenggarakan usaha lain demi kesejahteraan masyarakat desa.

Mandat Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Hak Dan Kewajiban Desa pada Pasal 67, dinyatakan desa berkewajiban: mengembangkan kehidupan demokrasi. Hal ini sejalan dengan prgram nasional KPU, yaitu Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3), dimana  pada tahun 2021 Prov. Sulawesi Tenggara mendapatkan jatah satu kelurahan yaitu Kel. Wundubatu Kec. Poasia, Kota Kendari.

Program Desa/Kelurahan Peduli Pemilu dan Pemilihan adalah program jangka panjang yang digagas KPU RI untuk proses demokrasi elektoral yang berkualitas. Program ini bertujuan, pertama, membangun kesadaran politik masyarakat agar menjadi pemilih yang berdaulat, kedua, mengedukasi masyarakat dalam memfilter informasi, sehingga masyarakat tidak mudah termakan isu hoaks terkait kepemiluan.

Ketiga, menghindarkan masyarakat pada praktik politik uang yang sering terjadi pada saat Pemilu dan pemilihan, keempat, meningkatkan kuantitas dan kualitas pemilih, dan kelima, membentuk kader yang mampu menjadi penggerak dan penggugah kesadaran politik masyarakat.

Program ini tentu merupakan langkah positif bukti keseriusan semua pihak untuk menciptakan Pemilu yang demokratis dan berintegritas  sebagai konsekuensi dari pilihan sistem demokrasi yang diwujudkan melalui partisipasi politik masyarakat melalui Pemilu.

Karena partisipasi politik bukan hanya diukur secara kuantitas berupa tingginya partisipasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya namun yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat berpartisipasi pada setiap tahapan agar permasalahan dalam Pemilu yang setiap hajatan pasti hadir dapat dihindarkan.

Mulai dari akurasi daftar pemilih tetap, distribusi logistik, lemahnya kapasitas badan ad hoc Pemilu, politik uang, Intimidasi dan kekerasan, black campaign, saling serang melalui media massa dan media sosial, pemanfaatan birokrasi, serta penggunaan fasilitas negara oleh calon tertentu dalam kampanye.

Sehingga hadirnya Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) merupakan sebuah pilihan tepat, saya berkesempatan menghadiri pelatihan bagi kader desa/kelurahan peduli Pemilu & pemilihan yang berjumlah 25 orang dari Kelurahan Wundubatu Kec. Poasia, Kota Kendari.

Pernyataan awal saya saat memberikan materi saya sampaikan semoga ini bukan hanya sekadar menjalankan program dan setelah ini tidak ada tindak lanjutnya, karena sudah banyak dilahirkan desa-desa atau kelurahan-kelurahan yang dapat membantu penyelenggara Pemilu tapi hanya sebatas launching dan setelah itu tidak ada lagi kepedulian dari kawan-kawan penyelenggara Pemilu jadi hanya sebatas seremoni dan menjual nama.

Jika program ini dijalankan dengan baik akan tumbuh dengan mandiri partisipasi politik dari masyarakat, misalnya dengan Kelurahan Peduli Pemilu dan Pemilihan (KP3) diberikan pelatihan bagi para kader agar mereka paham dan bisa mewujudkan kelurahan digital dengan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Dengan pelatihan tersebut akan ada  pengembangan, pengelolaan dan pengintegrasian sistem informasi desa yang berbasis aplikasi digital, sehingga kedepan KPU akan mudah untuk mendapatkan data-data pemilih. Setelah mengikuti pembekalan maka para kader ini akan menjadi pelopor mewujudkan pemilihan yang cerdas, rasional, mandiri, dan bertanggung jawab dalam setiap Pemilu yang berbasis digital.

Baca Juga: Mata Kebijaksanaan

Jika sumber daya manusia sudah siap maka kedepan dibutukan pengadaan sarana/prasarana teknologi informasi dan komunikasi berbasis aplikasi digital meliputi: tower untuk jaringan internet; pengadaan komputer; smartphone; dan langganan internet.

Sehingga langkah awal dalam memilih 25 kader apakah dia kader KP3 atau DP3 harus benar-benar melalui proses rekruitmen yang profesional dan transpran karena kader ini yang nanti dapat melanjutkan ide dari “proyek KPU”  jadi tanpa kehadiran para komisioner maka para kader dapat berbuat.

Kedepan di sulawesi Tenggara akan ada desa-desa yang melaksanakan pemilihan kepala desa dengan cara E-voting, seperti desa-desa yang sudah melaksanakan E-voting di Indonesia, seperti Desa Bendosari di Saeit Mojosongo Boyolali pada Pilkades, Desa Latta dan Desa Galala di Ambon pada Pilkades.

Desa Babakan Wetan, Ciseeng, Bogor, Jabar pada Pilkades, dan desa di Kabupaten Sleman serta Desa Cijengkol Kec. Caringin Kab. Sukabumi pada saat pemilihan BPD

jadi proyek KPU RI jangan hanya  sekadar menetapkan desa atau kelurahan yang di jadikan sampel pembukaan, tetapi yang lebih penting bagaimana merancang program  jangka panjang pada desa atau kelurahan yang terpilih.

Supaya kedepan kader di Kelurahan  Wundubatu Kec. Poasia Kel. Kambu (Kec. Kambu), serta Kel. Punggaloba (Kec. Kendari Barat), dapat mewujudkan Pemilu berkualitas dan berintegritas sebagai wujud dari pelaksanaan daulat rakyat akan benar-beanr terwujud karena Pemilu  dan pemilihan bukan hanya sekadar pesta demokrasi belaka, tapi merupakan investasi demokrasi untuk generasi yang akan datang. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga