Kasus COVID-19 Melonjak, DPR Nilai Pemerintah Gagal Menahan Laju Pandemi
Marwan Azis, telisik indonesia
Kamis, 10 September 2020
0 dilihat
Anggota Komisi IX DPRRI yang membidangi masalah kesehatan, Netty Prasetiyani. Foto: Ist.
" Jangan menganakemaskan ekonomi tapi meninggalkan kesehatan. Jangan lagi ada pengabaian terhadap pendapat sains yang positif. Karena pandemi COVID-19 adalah bencana kesehatan, sudah seharusnya kembali pada kebijakan berbasis kesehatan. "
JAKARTA, TELISIK.ID - Laju kasus COVID-19 di Indonesia terus melonjak. Pemerintah dinilai gagal menahan laju pandemi.
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani menuturkan, sejak awal pemerintah lebih prioritas pada pemulihan ekonomi dibanding menangani akar pandemi.
"Pemerintah gagal menahan laju pandemi akibat salah strategi," kata Netty Prasetiyani di Jakarta, Kamis (10/9/2020).
Dikatakan, akibat kegagalan tersebut, imbas pandemi sudah ke mana-mana dan sulit terkendali. Angka kasus makin tinggi, klaster penularan baru bermunculan, ekonomi makin terpuruk, rakyat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Saat ini sudah 59 negara menutup akses bagi kedatangan WNI. Indonesia menjadi negara yang ditakuti," paparnya.
"Sebagaimana dilansir dari beberapa media online nasional, sejumlah negara tersebut, di antaranya, Jerman, Swiss, Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat, Turki, menutup pintunya untuk warga negara Indonesia karena khawatir menjadi transmiter COVID-19," tambahnya menerangkan.
Menurutnya, pemerintah harus segera mengambil sikap dan menata ulang format kebijakannya.
Baca juga: Jakarta Darurat COVID-19, Anies Kembali Tetapkan PSBB
"Jangan menganakemaskan ekonomi tapi meninggalkan kesehatan. Jangan lagi ada pengabaian terhadap pendapat sains yang positif. Karena pandemi COVID-19 adalah bencana kesehatan, sudah seharusnya kembali pada kebijakan berbasis kesehatan," tuturnya.
Netty menuturkan, saat ini perkantoran, keluarga, bahkan tahapan Pilkada serentak 2020 telah menjadi klaster penularan COVID-19.
"Jika ini tidak ditangani secara serius dengan kebijakan yang tepat dan ketat, maka akan muncul klaster-klaster lainnya. Jangan sampai Indonesia menjadi negara yang paling ditakuti dan kemudian diisolasi karena COVID-19," tambahnya.
Terkait penghapusan kewajiban melakukan rapid test untuk pelaku perjalanan oleh Kemenkes RI, menurut Netty, kebijakan yang berubah-ubah seperti itu membuat rakyat bingung.
"Jika rapid test tidak lagi diwajibkan karena dianggap kurang akurat, lalu bagaimana cara mendeteksi bahwa pelaku perjalanan antar kota atau antar provinsi itu aman dan bebas dari COVID-19? Sudahkah dipikirkan cara lain? Jika dianggap cukup dengan pengecekan suhu tubuh di pintu masuk kota, bagaimana dengan orang yang terinfeksi namun tidak ada gejala?," paparnya.
Seharusnya kata Netty, testing terhadap masyarakat terus menerus dilakukan secara masif dengan alat yang akurat. Jika yang dianggap akurat itu adalah Swab dan polymerase chain reaction (PCR), maka buatlah itu sebagai strategi testing yang menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan dibebankan pada rakyat.
"Lakukan secara berkala terutama di tempat-tempat yang potensial menjadi klaster. Dan di luar testing, buatlah masyarakat disiplin mencegah penularan dengan melakukan 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak). 3M harus menjadi budaya, bukan cuma slogan dan imbauan," imbuhnya.
Reporter: Marwan Azis
Editor: Kardin