Kisah Pilu Pengamen Cilik, Kardus Bekas Jadi Tempat Tidur
Tim Telisik, telisik indonesia
Selasa, 01 Maret 2022
0 dilihat
Slamat anak pengamen yang sedang tidur di dalam kardus bekas. Foto: Anggun Nurdillah/Telisik
" Guna memenuhi kebutuhannya, terpaksa ia harus mengamen di perapatan lampu merah sejak usia lima tahun "
KENDARI, TELISIK.ID - Karena tidak memiliki biaya hidup, seorang anak berusia 10 tahun terpaksa harus jadi pengamen dan tidur dalam sebuah kardus bekas di pinggiran jalan Kota Kendari.
Guna memenuhi kebutuhannya, terpaksa ia harus mengamen di perapatan lampu merah sejak usia lima tahun.
Anak-anak pada usia dini seharusnya menikmati masa bermain dan mengenyam dunia pendidkan yang layak, namun berbeda yang dialami oleh Slamat, earga Lorong Melati Kelurahan Baruga, yang hidup hanya ditemani oleh sang Nenek yang telah berusia lanjut. Ibunya telah lama meninggal dunia, sementara sang Ayah pergi untuk bekerja di daerah lain.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ia mengambil inisisatif untuk menjadi seorang pengamen cilik di lampu merah perapatan Ranomeeto, hal ini ia lakukan sejak ia berusia 5 tahun. Hasil mengamen ia dapat mencapau Rp 80 ribu per hari.
Slamat mulai mengamen sejak pukul 06.00 Wita hingga 01.00 Wita dini hari. Dalam menjalankan profesinya sebagai pengamen, terkadang ia harus istirahat dan tidak pulang ke kamar kontrakan hingga kardus bekas pun ia jadikan sebagai tempat naungan dan tidur di pinggiran jalan.
"Karena saya tidak memiliki ponsel dan tidak tahu membaca, jadi saya minta tolong dengan orang untuk dipesankan ojek untuk pergi mengamen," ujar Slamat saat ditemui, Selasa (1/3/2022).
Baca Juga: Demi Keluarga, Bapak Ini Rela Puluhan Tahun Merantau Jualan Kerajinan
Slamat mengaku, uang hasil ngamen disimpannya untuk beli beras dan sisanya diberikan ke Nenek untuk membayar kontrakan.
"Kalau saya capek terpaksa saya istirahat dan tidur dalam dos, kalau sudah jam satu malam baru saya pulang,” ucapnya.
Baca Juga: Dari Sampah, Ibu Ini Hidupi Suami dan 9 Anak
Karena tidak medapatkan pengasuhan yang layak sejak meniggalnya sang Ibu, dalam mengenal dunia pendidikan ia pun menjadi tuna aksara (tidak tahu membaca).
Selama berkecimpung dalam dunia pengamen, Slamat tak pernah putus dengan tergiurnya ia akan suasana persekolahan yang hangat diliputi anak-anak sebaya serta para guru yang siap mendidiknya.
Begitupun dengan Slamat hingga saat cita-citanya tak pernah padam untuk mengeyam dunia pendidikan sama seperti anak seusianya. (A)
Reporter: Anggun Nurdillah
Editor: Kardin