Kisah Suami Istri Pemulung Yang Tak Pernah Dapat Bantuan

Aris, telisik indonesia
Rabu, 28 April 2021
0 dilihat
Kisah Suami Istri Pemulung Yang Tak Pernah Dapat Bantuan
Suwardi dan Wati dengan seorang anak mereka. Foto: Aris/Telisik

" Jam sembilan kita sudah mulai jalan mencari kardus atau plastik bekas. "

KENDARI, TELISIK.ID - Suwardi (39) dan Wati (36) sehari-harinya bekerja sebagai pemulung di Kota Kendari. Keduanya tidak memiliki tempat tinggal tetap.

Saat ini mereka tinggal di kamar kos-kosan yang terletak di Kelurahan Alolama, Kecamatan Mandonga, Kendari.

Keduanya memiliki tiga orang anak. Anak sulungnya bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang kedua di Sekolah Dasar (SD), sedangkan si bungsu masih berusia tiga tahun.

Orang tua dari tiga anak itu terpaksa harus memulung bersama demi menghidupi anak-anaknya.

Setiap jam sembilan pagi, keduanya memulai aktivitas berkeliling kota mencari kardus dan plastik bekas menggunakan gerobak yang ditarik pakai motor tua milik mereka. Wati yang ikut menemani suaminya, duduk di gerobak yang ditarik motor tua.

"Jam sembilan kita sudah mulai jalan mencari kardus atau plastik bekas," tutur Suwardi saat diwawancarai Selasa (27/4/2021).

Baca juga: Kabupaten/Kota di Sultra Kini Punya E-Perda

Menurut Suwardi, kardus-kardus dan plastik hasil memulung itu dikumpulkannya selama seminggu, kemudian dijual. Penghasilannya tidak menentu.

Dari hasil penjualan barang bekas itu, Suwardi bisa mendapatkan uang Rp 500 ribu, terkadang juga hanya Rp 200 ribu. Uang itulah yang digunakan untuk makan keluarganya selama seminggu ke depan.

"Ndak menentu, karena ndak hari-hari dijual. Kadang Rp 500 ribu, itu kalau banyak. Kadang cuma Rp 200 ribu saja selama satu minggu kita jual," ungkap Suwardi.

Wati sebagai istri berusaha menggunakan uang hasil memulung dengan sehemat mungkin agar mencukupi untuk makan seminggu dan biaya sekolah anak-anaknya.

Wati mengeluhkan kondisinya saat ini, bukan karena pekerjaannya sebagai pemulung, tetapi karena ia tak pernah sama sekali mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal ia adalah warga tetap di Kelurahan Alolama, Kecamatan Mandonga.

"Saya tinggal sudah lama disini, asli sini saya, bukan pendatang," ungkap Wati.

Menurut Wati, ia pernah mengadu ke kantor Kelurahan Alolama, tetapi tak  kunjung mendapat perhatian.

Wati berharap agar keluarganya bisa mendapat bantuan dari pemerintah seperti warga miskin lainnya.

Baca juga: Garuda Indonesia Perketat Syarat Penerbangan Jelang Lebaran

Nasib yang sama dialami Sri Yusti Ningsih (72), seorang lansia yang hidup seorang diri di Kelurahan Punggolaka, Kecamatan Puuwatu, Kendari. Lansia malang ini memilih bertahan hidup dengan cara memulung sambil berjalan kaki.

 

Sri Yusti Ningsih. Foto: Aris/Telisik

 

"Selama empat bulan saya dapat Rp 500 ribu, itu saya bagi-bagi, sebagian saya pakai, sebagian saya tabung, yang penting sudah ada beras," ungkap Sri Yusti, Selasa (27/4/2021).

Setiap sore ia berkeliling menyusuri Kota Kendari untuk mengumpulkan kardus dan plastik bekas. Menurutnya, pekerjaan yang digelutinya itu adalah pekerjaan yang paling santai.

"Kan saya hanya tiap sore seperti ini," ungkapnya.

Meski usianya sudah lanjut, ia tetap bersyukur menjadi pemulung, karena masih bisa beraktivitas.

"Kita ini Alhamdulillah wa syukurillah," tuturnya

Sri Yusti ditinggal mati suaminya sejak tahun 2009 lalu. Ia tidak memiliki anak, sehingga saat ini hidup sendiri. Ketika umurnya belum setua ini, ia pernah bekerja sebagai tukang masak di beberapa perusahaan.

Dia juga mengaku tak mendapatkan bantuan BLT selama pandemi COVID-19. (A)

Reporter: Aris

Editor: Haerani Hambali

TAG:
Baca Juga