Lebanon, Sebuah Negeri Damai di Timur Tengah Berkat Perjanjian Thaif

Affan Safani Adham, telisik indonesia
Kamis, 06 Agustus 2020
0 dilihat
Lebanon, Sebuah Negeri Damai di Timur Tengah Berkat Perjanjian Thaif
Dubes RI di Lebanon, Hajriyanto Y Thohari. Foto: google

" Posisi Perjanjian Thaif menguatkan kesepakatan sebelumnya dan disepakati sampai hari ini. "

LEBANON, TELISIK.ID - Di deretan negara-negara Timur Tengah, Lebanon, konon masuk kategori negara paling damai.

Tapi Beirut, kota yang pada Selasa (5/8/2020) lalu, terkena musibah ledakan itu, menyimpan kedamaian yang mungkin mustahil terlihat di negara lain.

"Toleransi di Lebanon tidak hanya di level agama, bahkan di level sekte," kata Dubes RI di Lebanon, Hajriyanto Y Thohari, Kamis (6/8/2020).

Hajriyanto mengaku, pernah melihat dengan mata kepala, ketika sebuah demonstrasi berlangsung pada Jumat di Beirut.

"Maka yang muslim Sunni itu menjalankan salat Jumat di jalan, di antara saf-saf salat tersebut, peserta protes dari Kristen Maronit atau Ortodoks itu berdiri dengan membaca kitab sucinya," jelasnya.

Bahkan, menurut Hajriyanto, masjid terbesar di Beirut yaitu Masjid Al Amin berbagi dinding dengan Gereja Katedral St George di Kota Beirut yang nyaris sama besarnya, sama megahnya dan sama indahnya dua bangunan itu.

"Dua-duanya itu sering menjadi ikon ketika orang mengambil gambar tentang Beirut," katanya.

Bagi Hajriyanto, kondisi semacam itu tidak lepas dari komitmen elite politik Lebanon.

Setelah melalui perang saudara yang begitu panjang sejak 1970-1990, elite politik di Lebanon menyepakati kata damai melalui perjanjian Thaif.

"Uniknya, sesuai artinya, isi perjanjian Thaif  ini kesepakatan pembagian kekuasaan berdasarkan delapan belas sekte yang ada di Lebanon," ungkapnya.

Baca juga: 100 Orang Lebih Tewas Dalam Ledakan di Beirut, Kemenlu Diminta Pastikan Keselamatan WNI

Isi perjanjian seperti itu, sebetulnya sudah ada sejak Lebanon merdeka dari Perancis pada 1943.

"Posisi Perjanjian Thaif menguatkan kesepakatan sebelumnya dan disepakati sampai hari ini," tandasnya.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, Kristen Maronit itu jatahnya menjadi presiden, muslim Sunni itu menjadi perdana menteri atau pemimpin kabinet, kemudian Syiah mendapatkan jabatan sebagai ketua parlemen dan Sekte Druze mendapatkan jabatan kepala staf angkatan bersenjata Lebanon (LAF) dan terus dielaborasi sampai ke bawah.

Pembagian kekuasan itu, kata Hajriyanto bukan hanya di pucuk. Misalnya anggota parlemen itu ada 122 dibagi muslim separuh, Kristen separuh, separuh di Kristen dibagi lagi berdasarkan sekte-sekte, ada Maronit, Ortodoks, ada Protestan dan sebagainya.

"Sementara yang muslim yang separuh tadi dibagi lagi menjadi Sunni, Syiah, Druze yang dihitung sebagai porsinya muslim," katanya.

Hajriyanto menambahkan, kesepakatan seperti itu tetap dipegang teguh.

"Karena elite politik sadar akan pentingnya menjaga itu," tandasnya.

Sebab, kesepakatan itu ada di level elite, maka mereka langsung mensosialisikannya kepada internal (sekte) masing-masing.

"Selain kesadaran elite, masyarakat bawah juga sadar pentingnya perjanjian ini. Setiap kali muncul riak gejolak, mereka langsung teringat pahitnya perang saudara dan itu membuat perdamaian antarsekte di sana terjaga kembali," terang Hajriyanto.

Kalau ditanyakan kepada golongan tua yang mengalami konflik parah tahun 1970-an sampai 1980-an itu, ya satu-satunya solusi adalah menaati Perjanjian Thaif tersebut. Itulah yang menjamin kerukunan dan perdamaian serta kerjasama.

"Sekali ada tanda-tanda kesepakatan dilanggar satu pihak, maka itu akan menimbulkan benih-benih perpecahan," katanya.

Reporter: Affan Safani Adham

Editor: Kardin

TAG:
Baca Juga