Masyarakat Tolak TKA China di Sultra, Pengamat Sosial: Pemerintah Harus Sensitif

Rahmat Tunny, telisik indonesia
Selasa, 23 Juni 2020
0 dilihat
Masyarakat Tolak TKA China di Sultra, Pengamat Sosial: Pemerintah Harus Sensitif
Pengamat Sosial, Yayat R Cipasang. Foto: Ist.

" Kenapa kalau proyek Jepang, Amerika, Korea Selatan atau Eropa tidak melibatkan pekerja kasarnya. Pemerintah berkilah lagi karena terkait perjanjian investasi dengan China memang klausulnya begitu. "

JAKARTA, TELISIK.ID - Gelombang protes terhadap keputusan Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) Sulawesi Tenggara (Sultra), untuk mengijinkan ratusan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China ke Konawe, Sultra terus meluas ke berbagai titik.

Aksi protes dan pemblokiran jalan dilakukan oleh elemen masyarakat dan mahasiswa terjadi di perbatasan Konawe Selatan-Kota Kendari dan juga terjadi di Bandara Haluoleo. Aksi protes tersebut dilakukan akibat sikap acuh pemerintah atas permintaan masyarakat.

Pengamat Sosial Yayat R Cipasang menuturkan, aksi protes masyarakat berupa unjuk rasa adalah hal yang biasa dan itu sah-sah saja ketika tidak ada respon dari pemangku kekuasaan di bangsa ini.

Saat ini, kata Yayat Cipasang, jutaan masyarakat Indonesia kehilangan pekerjaan akibat mewabahnya pandemi COVID-19, dan pemerintah dengan gampang memasukan pekerja kasar dari negara luar.

"Unjuk rasa tak bisa dihindari dan itu sah-sah saja. Saya kira pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus sensitif, karena ini soal masyarakat Indonesia yang terluka. Ketika begitu banyak pengangguran di dalam negeri yang tidak terserap dunia kerja terutama setelah Corona, masyarakat terluka," kata Yayat Cipasang kepada Telisik.id saat dihubungi di Jakarta, Selasa (23/6/2020).

Baca juga: Sebut Jokowi Presiden Terbaik, Baim Wong Banjir Hujatan

Dalam kasus ini, pemerintah sering memberikan alasan bahwa pekerja asal China yang masuk bekerja di Indonesia adalah tenaga ahli khusus, dan sudah disepakati dalam perjanjian investasi. Padahal, lanjut Yayat, kerja sama Indonesia dengan negara lain tidak ada penyertaan membawa pekerja kasar dalam investasi mereka di Indonesia.

"Tentu pemerintah punya alasan misalnya soal proyek strategis nasional yang begitu banyak mendapat afirmasi dari pemerintah. Tapi masalahnya masyarakat dan juga publik bisa membandingkan," ucapnya.

"Kenapa kalau proyek Jepang, Amerika, Korea Selatan atau Eropa tidak melibatkan pekerja kasarnya. Pemerintah berkilah lagi karena terkait perjanjian investasi dengan China memang klausulnya begitu," tambah penulis buku 'DPR Salah Gaul' itu.

Olehnya itu, Yayat Cipasang menyarankan agar pemerintah membuat proyek baru atau padat karya, untuk menyerap tenaga kerja dari Indonesia. Hal ini, kata Yayat mampu meredam protes masyarakat Indonesia, khususnya di Sultra.

"Masyarakat atau publik tidak tahu salah satu cara agar tidak resisten. Serap pengangguran di dalam negeri. Kalau tidak masuk ke industri nikel atau smelter bikin proyek baru atau proyek padat karya. Industri tidak cuma nikel bukan? Kenapa hanya nikel dan smelter. Industri tidak cuma itu," sarannya.

Reporter: Rahmat Tunny

Editor: Sumarlin

Baca Juga