Menggantungkan Hidup di Balik Tumpukan Sampah

La Ode Muhlas, telisik indonesia
Selasa, 09 Mei 2023
0 dilihat
Menggantungkan Hidup di Balik Tumpukan Sampah
Seorang ibu berusia kepala empat bernama Asna, kesehariannya menyisir sepanjang jalan di Kota Kendari, memunguti barang bekas lalu dijual untuk menopang hidup ketiga anaknya. Foto: La Ode Muhlas/Telisik

" Kala matahari sejajar di atas kepala, peluh membasahi pakaian lusuhnya, Asna menepi di pinggir jalan sejenak melepas penat. Ibu beranak empat itu saban hari menghabiskan separuh waktunya berjalan berkilo-kilo mencari barang bekas botol air mineral plastik, kaleng, dan kardus untuk diuangkan "

KENDARI, TELISIK.ID - Kala matahari sejajar di atas kepala, peluh membasahi pakaian lusuhnya, Asna menepi di pinggir jalan sejenak melepas penat. Ibu beranak empat itu saban hari menghabiskan separuh waktunya berjalan berkilo-kilo mencari barang bekas botol air mineral plastik, kaleng, dan kardus untuk diuangkan.

Asna biasanya memulai semua kesibukan sedari matahari belum menyingsing. Tidak pernah ketinggalan membawa anak lelaki bontotnya masih balita, Asna bertubuh tinggi semampai dengan wajah sedikit lebar, melangkah menyusuri jalan Kota Kendari sambil menuntun gerobak tempat menampung barang bekas.

"Kalau sudah full gerobakku saya pulang. Tidak sampai malam karena ada anakku," ucapnya seraya melirik anaknya.

Kondisi cuaca hujan menjadikan Asna harus berulang menguras tenaga karena kardus bekas yang diambil dari tumpukan sampah, basah dan perlu dikeringkan terlebih dulu sebelum dijual.

Baca Juga: Pemulung dan Pengemis Keluhkan Beras Mahal dan Kurang Pendapatan dari Sedekah

Mengais barang bekas jadi pencaharian semata wayang Asna untuk menghidupi tiga orang anaknya. Satu anak sulung lanangnya putus sekolah kemudian memilih merantau ke tanah Papua. Sang suami sebelumnya berdagang ikan, tetapi terpaksa berhenti lantaran kerap merugi dan kehabisan modal. Setelah menyetop berdagang ikan, suaminya mengidap penyakit hernia (usus turun) lantas tidak bisa mengerjakan beban berat, karenanya memilih mengumpulkan barang bekas.

Pendapatan yang diterima pun tidak menentu, seringkali sekedar cukup dipakai membayar sewa kos tempat tinggalnya sekeluarga berbiaya Rp250 ribu per bulan. Tapi, tak jarang juga Asna menunggak penuhi kewajiban membayar uang kos. Beruntung, pemilik kos tidak pernah memaksakan harus selalu membayar tepat waktu.

"Kalau belum ada dia tidak (paksa) juga. Pokoknya ada (uang) saya bayar," ucapnya.

Asna dan suami menjual barang bekas yang dikumpulkan setiap bulan kepada seseorang yang dipanggil 'bos' lewat cara ditimbang. Tiap barang bekas dihargai berbeda per kilonya mulai Rp1.000 sampai Rp5.000 sesuai jenisnya.

"Biasa saya jual setiap hari bisa dapat Rp10 ribu. Tapi kalau bos bilang kumpul, saya kumpul dulu," beber Asna.

Selama menjadi pengumpul barang bekas, Asna menghadapi masalah kerap menjadi sasaran penertiban anggota Satpol PP. Ia  tidak bisa berlama-lama duduk beristirahat untuk menghindari razia. Dia pernah menyaksikan gerobak teman-temannya disita petugas.

"Kalau dilarang kasihan bagaimana kita mau makan. Mana anakku tiga orang, mana kita mau bayar kos. Apa yang kita mau hidupkan kalau tidak mencari?" Keluhnya dengan nada sedikit meninggi.

Dalam memenuhi kebutuhan pangan seperti beras, Asna lazim meminta dari bos dengan jaminan barang bekas. Buat konsumsi keseharian, hidangan nasi dan sayur kangkung atau daun ubi rebus sudah cukup mewah bagi keluarga Asna. Sayuran kangkung dan daun ubi biasanya ditemui di tempatnya mencari barang bekas. Sementara lauk lain semacam ikan sangat langka tersaji di piring makan sebab harganya dianggap mahal.

"Anak-anakku tidak pilih-pilih asalkan ada nasi. Saya syukuri saja, yang penting saya sehat-sehat," harapnya.

Perasaan jengah jika keluarga tahu keseharian dirinya hanya memunguti barang bekas, kadang kala membebani derap langkahnya saat berada di jalanan. Asna yang kini berusia kepala empat berstatus warga migran dari Muna, datang mengikuti suami yang sejak lahir hingga tumbuh di Kota Kendari. Selama masih berada di kampung halaman, Asna bekerja bertani. Mulanya waktu berpindah, ia tinggal di rumah mertua di daerah dataran tinggi kota lama, tempat banyak warga sekampungnya bermukim.

Seiring beberapa tahun usai berpindah, mertuanya meninggal dunia serta rumah yang ditinggali jatuh diwarisi adik iparnya. Ukuran bangunan rumah terasa sesak bila menampung dua pasangan keluarga. Keadaan itu mendesaknya bersama suami mesti pindah hingga tinggal di rumah kos.

Sudah dua kali berganti tahun ia melakoni usaha mengumpulkan barang bekas, selepas menyudahi berdagang jagung rebus keliling. Ditengarai harga membeli jagung terbilang mahal ditambah lilitan hutang membuatnya kelabakan mengatur keuangan. Akhirnya, Asna memutuskan berhenti dan menjalani penghidupan sekarang.

"Kalau begini kan tidak pakai modal, cuma keliling saja," ucapnya sambil tersenyum.

Menurut Kepala bidang (Kabid) Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial (Dinsos) Kota Kendari, Husni Mubaraq, pada dasarnya sikap Pemkot Kendari menerima keberadaan pekerja pengumpul barang bekas. Katanya, sasaran tindakan operasi penertiban dilakukan selama ini mengarah kepada orang-orang yang memanfaatkan pekerjaan mengumpulkan barang bekas untuk mencari keuntungan.

"Mereka hanya datang dengan modal gerobak, karung, parkir di pinggir jalan mengharapkan belas kasihan atau sumbangan orang-orang," katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (8/5/2023).

Kata Husni, kelompok orang yang berpura-pura menjadi pengumpul barang bekas biasa ditemukan berasal dari luar Kota Kendari. Dia mengklaim pengumpul barang bekas penduduk Kota Kendari hanya berjumlah kurang lebih sekitar 20 orang, selebihnya warga pendatang.

Dia bilang, Pemkot Kendari memberi keleluasaan terhadap orang yang sungguh menggantungkan hidup bekerja mengumpulkan barang, selama sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berupa, tidak mengganggu pemandangan umum dan tidak boleh beraktivitas di jalan lintas protokol.

Ketentuan itu berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Kendari Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen. Bunyi pasal 15 menyebutkan, anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen dilarang melakukan kegiatan di jalanan dan sarana umum lainnya.

Baca Juga: Hidupi Ayah Juru Parkir di Kendari Harus Banting Tulang Hingga Subuh

"Kalau lagi jalan kita tidak ambil. Kalau nongkrong kita sikat," beber Husni.

Pemkot Kendari sendiri tidak mempunyai program khusus pemberdayaan pengumpul barang bekas, kata Husni. Namun begitu, pemkot memberikan bantuan sosial

meliputi, Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sehat (KIS), juga Kartu Indonesia Pintar (KIP) apabila mempunyai anak yang sedang sekolah.

Berlaku syarat untuk mendapat bantuan sosial tersebut yakni harus terdaftar sebagai penduduk Kota Kendari yang dibuktikan melalui Kartu Tanda Penduduk alias KTP atau Kartu Keluarga (KK). (A)

Penulis: La Ode Muhlas

Editor: Kardin 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga