Minimnya Narasi Kebangsaan
M. Najib Husain, telisik indonesia
Sabtu, 26 Februari 2022
0 dilihat
Dr. M. Najib Husain, Dosen FISIP UHO. Foto: Ist.
" Pilihan diksi yang diucapkan sangat memilukan yang diperlihatkan oleh para pembantu Jokowi "
Oleh: Dr. M. Najib Husain
Dosen FISIP UHO
DALAM komunikasi publik, salah satu titik keberhasilannya terletak pada bagaimana komunikator di dalam menyampaikan pesan agar dapat dimengerti dan dipahami dengan baik oleh komunikan, dalam hal ini audiens.
Salah satu potret pemerintahan Jokowi Widodo-Ma’ruf Amin saat ini adalah minimnya narasi kebangsaan. Ini disuguhkan oleh para menteri di kabinet dalam melakukan komunikasi publik di media massa. Pilihan diksi yang diucapkan sangat memilukan yang diperlihatkan oleh para pembantu Jokowi.
Rakyat tidak disuguhi kemampuan berkomunikasi yang baik oleh para pembantu Jokowi dalam mengelola bangsa, yang saat ini masih terpuruk dan bukan lebih banyak menimbulkan blunder politik.
Masyarakat saat ini hanya disuguhi akrobat politik yang memuakkan. Salah satunya yang dilakukan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kembali menjadi sorotan setelah menjelaskan terkait aturan pengeras suara di masjid. Menag Yaqut mengumpamakan pengeras suara masjid dengan gonggongan anjing.
Padahal, banyak pilihan dalam memberikan analogi tanpa harus memilih menggunakan istilah tersebut. Sebagai seorang pembatu presiden dan apalagi dengan posisi sebagai menteri agama sangat disayangkan sering mengeluarkan pernyataan yang kontraproduktif dan brutal, yang akan ditafsirkan secara liar di wilayah publik.
Dalam tindak tanduk dan ucapan, harusnya Pa Menteri Agama menyampaikan ucapan yang meneduhkan dan menenangkan semua kelompok-kelompok yang ada dalam merespon surat edaran tersebut.
Ucapan yang baik akan membawa pada suasana kebajikan yang mengarah pada penghormatan terhadap pilihan yang berbeda untuk mendukung atau menolak surat edaran tersebut. Sikap dan tindakan pemimpin adalah teladan bagi rakyat. Saat pemimpin bersikap dan bertindak atas nama kemanusiaan dan keadaban maka kehidupan penuh harmoni.
Sebelumnya, Yaqut menyebut dalam pertemuan internal bahwa Kementerian Agama merupakan hadiah dari negara kepada Nahdatul Ulama (NU). Walaupun, konteks disampaikan dalam pertemuaan tertutup tapi Yaqut saat ini adalah berposisi sebagai menteri agama di republik ini. Sebagai publik figur yang segala ucapan dan tindakannya akan menjadi evaluasi publik.
Presiden Joko Widodo pernah menegur jajaran menterinya karena komunikasi publik yang sangat jelek saat menjelaskan soal RUU cipta kerja. Tujuan dari komunikasi publik atau public speaking ini adalah membentuk pemahaman dan mengingatkan para audiens.
Di dalam public speaking, pembicara harus merencanakan percakapan dengan hati-hati, karena berhubungan dengan membentuk pemahaman dan ingatan dari para audiens. Pembicara sebagai komunikator hendaknya lebih menekankan penjelasan yang rasional dan logis.
Artinya, ide, informasi yang akan disampaikan haruslah disertai dengan alasan dan penjelasan yang logis. Seorang pembicara yang memberi informasi harus berusaha mendapatkan umpan balik dan memberikan sesuatu yang dapat dipahami dengan cara menjawab pertanyaan selengkap-lengkapnya dan dengan cara yang terbuka, bahasa pembicara juga harus jelas.
Sehingga seharusnya menteri agama lebih berhati-hati dalam menjelaskan Surat Edaran bernomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Suara di Masjid dan Mushala yang dikeluarkan Kementerian Agama.
Baca Juga: Upaya Mempasang-pasangkan Paket Calon Presiden/Wakil Presiden Cenderung Monoton
Surat ini diteken Menag Yaqut Cholil Qoumas pada 18 Februari 2022 lalu dengan tujuan meningkatkan ketentraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga. SE Menag Nomor 05 Tahun 2022 ini berisi lima pasal yang kesemuanya mengatur pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala. Karena surat edaran ini sangat sensitif, terutama bagi ummat mayoritas di negeri ini.
Semoga semua yang terjadi saat ini bukan dampak dari kampanye saat tahapan pemilihan presiden 2019 antara Jokowi dan Prabowo yang penuh akrobat politik, saling sindir dengan kata-kata tidak produktif menjadi tontonan sehari-hari saat kampanye.
Saling serang di media massa berujung pada baku hantam dan “saling bunuh” menjadi bukti terjadinya krisis komunikasi. Krisis komunikasi inilah yang menyebabkan manusia kehilangan akal warasnya.
Mereka seakan lupa bahwa Pemilu merupakan peristiwa biasa lima tahunan. Mereka seakan lupa bahwa bangsa Indonesia telah lama bersaudara. Krisis komunikasi mendorong seseorang kehilangan identitas diri dan keindonesiaan.
Baca Juga: Hari Pers Nasional untuk Siapa?
Semua proses tersebut tidak sedang mendewasakan bangsa ini, namun sedang mempertontonkan kekanak-kanakan. Padahal mereka akan memimpin bangsa ini.
Apakah emosi dan sentiment pertarungan Jokowi-Prabowo yang kemudian menjalar melalui ruang publik saat ini. Seharusnya ruang publik sebagai medium mewujudkan tatanan masyarakat beradab --meminjam istilah Habermas (1991)—hanya menjadi teori di bangku kuliah.
Harusnya pemimpin dan para pembantunya menjadikan ruang publik sebagai sarana komunikasi (humanisasi). Bukan kemudian ruang publik malah dipenuhi rasa curiga dan kebencian.
Karena insan unggul adalah mereka yang mampu menerima perbedaan dan berdialog dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita membutuhkan komunikasi publik yang lebih baik dari Jokowi dan pembantunya saat ini, komunikasi yang bernarasi kebangsaan, adalah apa yang ditawarkan dan diperbuat oleh pemimpin membawa kapal bangsa ini.
Sehingga yang ditawarkan adalah program-program besar, bukan recehan memupuk citra. Oleh karena itu, memimpin bukan hanya selama lima tahun. Namun, lima tahun itu memupuk dan mengelola politik beradab. Dengan meletakkan, membangun, dan membangkitkan, serta menawarkan gagasan/tindakan untuk kedaualtan bangsa/negara. Tapi bukan untuk menawarkan Pemilu ditunda dan ujung-ujungnya presiden 3 periode. (*)