Upaya Mempasang-pasangkan Paket Calon Presiden/Wakil Presiden Cenderung Monoton
Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 12 Februari 2022
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Elite-elite partai cenderung berupaya menaikkan elektabilitas partai politiknya masing-masing "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
SAAT ini publik disuguhi berita elite-elite partai sedang berjuang menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Elite-elite partai cenderung berupaya menaikkan elektabilitas partai politiknya masing-masing.
Kenaikan elektabilitas ini dilakukan dengan beragam cara, seperti Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang melakukan safari politik ke daerah-daerah, Partai Amanat Nasional (PAN) melalui Zulkifli Hasan sebagai ketua umum yang melakukan pidato politik kebangsaan, sedangkan Partai Keadilan Sosial (PKS) melakukan upaya konsolidasi internal anggota-anggotanya dengan melakukan Rapat Kerja Nasional (Rakernas), Partai Nasdem yang sempat menawarkan konvensi rakyat melalui koalisi untuk penentuan calon presiden, ke semua langkah-langkah itu muaranya satu tentang Pilpres 2024 mendatang.
Berbagai hasil survei cenderung menempatkan tiga besar nama pada sosok Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Sayangnya, di tengah keinginan berkecamuk di masyarakat mengharapkan banyaknya wajah-wajah baru di Pilpres 2024 mendatang, ternyata nama-nama lama tetap bersikeras membangun persepsi masih layak maju sebagai calon presiden di Pilpres mendatang.
Figur-figur Ketua Umum trendnya tak lagi laku dijual kepada publik dengan bukti elektabilitas dirinya yang rendah, kecuali Prabowo Subianto, tetapi figur-figur ini masih bersikukuh maju mengusung dirinya sendiri. Menariknya, figur-figur ini yang merasa elektabilitas dirinya rendah malah dengan percaya dirinya memasangkan dirinya dengan calon-calon yang berada di tiga besar.
Upaya mempasang-pasangkan calon presiden/wakil presiden saat ini menjadi langkah yang dianggap baik dalam mendongkrak elektabilitas partai-partai. Namun yang sangat disayangkan, upaya mempasang-pasangkan paket calon presiden/wakil presiden cenderung monoton. Patut diduga, andai nanti Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan presidential threshold, jangan-jangan partai-partai juga enggan berbicara serius mengenai paket pasangan calon presiden/wakil presiden.
Mempasangkan calon presiden/wakil presiden alternatif bagi elite-elite partai saat ini serasa sia-sia, karena target mereka adalah menaikkan elektabilitas secara instan, sehingga akhirnya mereka berlindung kepada sosok yang namanya masuk tiga besar. Meski malah memicu “lelucon politik” dari langkah politik itu, seperti mempasangkan Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar, sebab Prabowo saja belum meyakini dirinya untuk maju sebagai calon presiden.
Pola Monoton Paket Pasangan
Semestinya berbagai hasil survei dapat menjadi pelajaran untuk melakukan pengkajian dan analisis mengenai peluang dirinya sebagai elite partai untuk maju dalam Pilpres 2024 mendatang. Tetapi masih kental dalam benak pikir dan keegoisan hati, beberapa petinggi partai bahwa dirinya berpeluang untuk maju sebagai calon presiden.
Akhirnya, yang terjadi adalah wajah-wajah lama yang tak laku dipasang-pasangkan dengan ketiga wajah yang berada di posisi tiga besar sebagai calon presiden.
Pelajaran berharga yang dilakukan oleh Partai Nasdem pada 2014 tidak dijadikan terobosan baru.
Mendongkrak elektabilitas suara partai tak mesti melulu dilakukan dengan mempasangkan ketua umum partai dengan tiga nama calon potensial. Semestinya pelajaran Pilpres 2014 lalu dapat dilakukan oleh partai-partai politik dengan cara melakukan mengusung figur yang potensial dipilih oleh publik tanpa melakukan langkah monoton.
Nasdem melakukan itu dengan memajukan calon presiden saat itu Joko Widodo (Jokowi), tanpa harus diembel-embelkan dengan memasangkan bersama elite Nasdem. Padahal ketika itu, kans Jokowi amat kecil diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) sebab Ketua Umum Megawati Soekarnoputri masih enggan mengusung Jokowi yang bukan berasal dari elite partainya.
Akhirnya, Nasdem ketika itu bukan saja juga berhasil memperoleh kenaikan perolehan suara signifikan sebagai partai baru tetapi juga sekaligus partai yang loyal terhadap Presiden Jokowi. Periode pertama Presiden Jokowi kekuatan terbesar pemerintahan Jokowi lebih ditopang oleh Nasdem, sebab PDI Perjuangan kala itu benar-benar merasa dongkol karena Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang merupakan pemegang hak prerogatif sebagai pemilih calon presiden dari PDI Perjuangan begitu tertekan oleh keinginan publik dan dari internal partai politik, tanpa disadari kala itu Jokowi berhasil menekan Megawati Soekarnoputri melalui keseriusan Nasdem yang mengusungnya.
Tetapi sekarang ini malah janggal dilakukan oleh mayoritas besar partai politik. Misal saja, Airlangga Hartarto yang perolehan suaranya pada angka nol koma sekian, malah diajukan berpasangan dengan Ganjar Pranowo. Partai-partai saat ini juga tak memanfaatkan peluang melakukan langkah politik yang lebih segar misal dengan mengusung figur perseorangan maupun mempasangkan diri dengan figur perseorangan lainnya.
Padahal figur perseorangan juga memperoleh penerimaan publik yang lebih baik dibandingkan calon-calon yang berasal dari elite-elite partai, seperti Ridwan Kamil, Erick Thohir, Tito Karnavian, Andika Perkasa, Listiyo Sigit Pranowo maupun Susi Pudjiastuti. Elite-elite partai terjebak kepada upaya mendongkrak elektabilitas partai dengan mengusung calon-calon tiga besar semata, akhirnya menjadi monoton paket pasangan calon yang ditawarkan tersebut.
Jebakan untuk Anies Baswedan
Saat ini, Anies Baswedan terkesan memperoleh dukungan kuat dari partai-partai politik yang berada di pemerintahan. Anies merasa dukungan tak sekadar datang dari PKS semata maupun Partai Demokrat, tetapi juga merasakan minat partai lain seperti Nasdem, PAN, PKB, PPP, maupun Partai Golkar. Sayangnya, mereka tidak benar-benar bersungguh hati telah berkhidmat mendukung Anies Baswedan. Popularitas dan elektabilitas Anies Baswedan hanya dipergunakan untuk menaikkan elektabilitas partai-partai itu semata.
PKS yang awalnya juga serius mengusung Anies malah terkesan telah “bermain hati” dengan mencoba mengusung Salim Segaf Al-Jufri yang merupakan elite partainya sendiri. Sedangkan, partai-partai pendukung pemerintahan hanya memainkan isu Anies sekadar mencari popularitas agar partainya tidak ketinggalan untuk dikonsumsi media, dengan harapan akan menaikkan elektabilitas partainya.
Bahkan, yang menarik adalah, Sandiaga Uno malah membeberkan bahwa Anies awalnya tak memperoleh restu Partai Gerindra dan Prabowo Subianto melainkan dirinya yang diajukan sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Tetapi karena masukan dari Sandiaga Uno sendiri sebagai strategi politik dan juga dirinya memilih “mengalah,” maka akhirnya Anies dimajukan sebagai langkah politik menjegal Agus Harimurti Yudhoyono untuk terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, akhirnya terbukti strategi politik ini.
Langkah-langkah politik yang dilakukan oleh berbagai partai dan pesan yang disampaikan oleh Sandiaga Uno, menunjukkan bahwa tingginya elektabilitas Anies Baswedan dari figur perseorangan untuk diusung sebagai calon presiden tak serta-merta ia dapat tinggi hati akan diusung sebagai calon presiden. Sebab, Anies Baswedan bisa saja kembali menunggu hingga menit terakhir diajukan sebagai calon presiden, seperti yang terjadi saat diajukan sebagai calon Gubernur DKI Jakarta.
Prabowo Diusung Tapi Tak Dianggap Serius
Prabowo Subianto saat ini memang menarik dari segi elektabilitasnya. Dari segi elektabilitas Prabowo memeringkati tiga besar bersama Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Tetapi popularitas dan Elektabilitas Prabowo tidak membuat partai-partai lain berjuang serius untuk keempat kalinya mengusung Prabowo. Faktor Prabowo yang cenderung pasif saat ini dengan besar kemungkinan ia akan menjadi ‘king maker’membuat partai-partai lain menahan diri untuk menseriuskan mengkaji potensi Prabowo.
Figur Prabowo yang pasif saat ini juga sedang tidak dalam arus yang tenang, sebab internal Partai Gerindra juga mengharapkan Sandiaga Uno yang akan diajukan oleh Prabowo sebagai ‘king maker.’ Pesan yang disampaikan Sandiaga Uno yang berhasil meyakinkan Prabowo untuk tidak mengajukan dirinya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta melainkan Anies Baswedan yang sebaiknya diusung berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Menunjukkan bahwa Prabowo dapat menjadi ‘king maker’dan siapa yang akan diajukan oleh Partai Gerindra juga dapat berasal dari ‘bisikan’Sandiaga Uno. Singkat kata, figur Anies Baswedan dapat diusung oleh Gerindra juga tergantungnya dirinya, berada didalam ‘tenggorokan’ Sandiaga Uno.
Di sisi lain, kekalahan tiga kali Prabowo dalam Pilpres juga menjadi catatan tersendiri dari partai-partai politik saat ini dalam mengusung Prabowo. Popularitas dan Elektabilitas Prabowo yang tinggi saat ini sebenarnya juga masih bisa diperdebatkan sebab banyak yang menganggap elektabilitas tinggi itu tak lagi setinggi sebelumnya tepatnya pada dua kali Pilpres 2014 dan 2019 lalu.
Potensi tingginya popularitas dan elektabilitas Prabowo sejatinya juga pertarungan “dua rivalitas” antara Prabowo dan Anies Baswedan sesama figur dari Islam Kanan. Potensi suara dari oposan pemerintah yang berada di masyarakat, meski hanya sebesar 25-30 persen, tetapi menunjukkan persaingan antara Prabowo dan Anies Baswedan berbagi persentase suara dari perwakilan Islam Kanan.
Ruang Gerak Terbatas Ganjar Pranowo
Ganjar Pranowo yang juga memiliki popularitas tinggi malah tak serius benar-benar diperhatikan oleh partai-partai politik lain, kecuali Golkar. Partai Golkar tetapi tak seserius Nasdem kala mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Partai Golkar memainkan isu Ganjar Pranowo hanya untuk menganggu upaya koalisi Partai Gerindra dan PDI Perjuangan yakni mencoba memasangkan Prabowo Subianto dengan Puan Maharani.
Ketidakseriusan partai politik mengusung Ganjar disebabkan kondisi perpolitikan saat ini dianggap berbeda dengan Jokowi kala itu. Sebab Ganjar saat ini harus berhadapan dengan trah Soekarno dan juga anak dari personalisasi politik PDI Perjuangan. Ditambah lagi fakta, popularitas Ganjar juga tidak meroket seperti Jokowi kala itu.
Sehingga partai-partai politik pendukung pemerintahan cenderung tak begitu ngotot mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden.
Ganjar hanya dimainkan dalam kutak-kutik pasangan calon presiden/wakil presiden sebagai pelengkap semata oleh partai-partai politik lain, selain karena PDI Perjuangan punya dua sosok calon yang potensial diajukan selain Ganjar adalah Puan Maharani.
Langkah Ganjar Pranowo juga telah “dibatasi” oleh Presiden Jokowi yang turut bermain dalam politik pencapresan sebagai ‘king maker,’ restu Jokowi ini yang mengganggu ruang gerak partai-partai politik pendukung pemerintahan.
Langkah Jokowi yang Kurang Etis
Monotonnya partai-partai politik menggulirkan isu pasangan paket calon presiden juga disumbang oleh langkah tak etis dari Istana.
Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa ‘kemudi’ perahu besar dari Relawan Jokowi akan ditentukan oleh ia sendiri. Komunikasi politik yang disampaikan oleh Presiden Jokowi adalah tindakan tidak etis dilakukan oleh Pemerintah.
Baca Juga: Prediksi Penurunan Perolehan Suara PKS Pemilu 2024
Presiden Jokowi tak begitu serius hanya memikirkan kesejahteraan rakyat dan kebijakan-kebijakan politik yang terbaik dari negara. Presiden Jokowi juga memikirkan, mengharapkan, dan berusaha merancang bahwa kepemimpinannya dilanjutkan oleh calon presiden yang akan dipilihnya, sehingga transisi politik bersifat yang diinginkannya.
Dari sisi dirinya hal itu adalah manusiawi, keinginan wajar dari Jokowi mengharapkan kepemimpinan politik diharapkan sesuai dengan apa yang akan didukung dan dipilih oleh dirinya. Ia mengharapkan kebijakan-kebijakan yang dilakukannya dapat dilanjutkan.
Tetapi dari sisi Demokrasi, keinginan Presiden Jokowi ini telah membuat dirinya melakukan langkah-langkah politik taktis yang kurang elok, seperti pemerintah merepotkan diri dalam pemilihan tim seleksi Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah juga amat ngotot kala itu mengajukan tanggal Pemilu Serentak, sekarang malah pemerintah ngotot ingin durasi kampanye dipersingkat hanya 90 hari.
Sikap-sikap ngotot pemerintah patut diduga adalah upaya melakukan tindakan demokratis tetapi tak etis dalam mempersiapkan Pemilu Serentak 2024 mendatang.
Sikap tak etis pemerintah ini, berbeda dengan sikap berjiwa besar dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu. SBY tak melakukan tindakan-tindakan untuk mengarahkan memilih sosok calon presiden kala itu.
Pemerintahan memberikan ruang demokrasi yang luas kepada siapapun. Bahkan, akhirnya terpilihnya Presiden Jokowi, SBY dengan kebesaran hati menyambut baik calon presiden terpilih Jokowi tersebut. Pemerintahan transisi dijalankan dengan terbuka juga dilakukan pasca keterpilihan Jokowi sebagai presiden. Inisiatifnya pun dari Presiden Jokowi terpilih, pemerintah SBY kala itu lebih cenderung bersifat pasif.
Baca Juga: Hari Pers Nasional untuk Siapa?
Saat ini dengan komunikasi politik yang disampaikan oleh Presiden Jokowi membuat pemerintahan malah tidak berjalan dengan baik dan dinamis, pemerintah malah direpotkan dengan langkah politik beberapa menteri di pemerintahan yang “genit” berpolitik menuju Pilpres tetapi terkesan sembunyi-sembunyi. Disebabkan mereka khawatir tidak akan didukung oleh Presiden Jokowi dan tak mendapatkan dukungan besar dari perahu relawan Jokowi, yang disebut terakhir adalah esensinya.
Dari situasi ini malah pemerintahan direpotkan dengan kerja yang tak serius dari para menteri-menterinya, mereka berpolitik menuju pilpres, tetapi sekaligus berpolitik pencitraan kepada Presiden. Hal yang sama terjadi dengan sosok Presiden Jokowi saat ini, yang harus direpotkan oleh mempersiapkan langkah politik menuju Pilpres. Padahal konsentrasi politik di pemerintahan, semestinya menjelang akhir pemerintahan lebih berkonsentrasi mengurusi masyarakat.
Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Istana diprediksi akan riuh-rendah dalam politik pencapresan dan siapa yang akan didukung oleh Presiden Jokowi sebagai capres, sehingga memengaruhi soliditas para pembantu presiden dan pemerintah juga cenderung akan rapuh dalam mengelola koalisi ke depan. Malah yang dikhawatirkan adalah terjadinya de ja vu, PDI Perjuangan kembali gagal memimpin pemerintahan untuk periode berikutnya, karena terjadi konflik di dalam pemerintahan, seperti di pemerintahan Megawati Soekarnoputri saat itu, mungkin saja terulang kembali. (*)