MK Resmi Revisi UU ITE, Kritik dan Pencemaran Nama Baik Pemerintah hingga Badan Usaha Tak Masuk Delik Pidana

Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Rabu, 30 April 2025
333 dilihat
MK Resmi Revisi UU ITE, Kritik dan Pencemaran Nama Baik Pemerintah hingga Badan Usaha Tak Masuk Delik Pidana
MK tegaskan pencemaran nama baik melalui ruang digital, tak berlaku bagi badan usaha dan pemerintah. Foto: Repro Kompas.

" Putusan Mahkamah Konstitusi yang diumumkan pada 29 April 2025 menjadi tonggak penting dalam perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia "

JAKARTA, TELISIK.ID - Putusan Mahkamah Konstitusi yang diumumkan pada 29 April 2025 menjadi tonggak penting dalam perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE tidak lagi dapat dikenakan terhadap institusi pemerintah, badan usaha, atau kelompok tertentu.

Langkah ini diambil untuk mencegah penafsiran yang keliru dan penyalahgunaan hukum oleh aparat penegak hukum.

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak berlaku terhadap institusi pemerintah, kelompok masyarakat, maupun badan usaha.

Keputusan tersebut diumumkan dalam sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa, 29 April 2025.

Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa Pasal 27A UU ITE harus dimaknai secara sempit. Pasal ini mengatur tentang serangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang melalui sistem elektronik. Mahkamah menyatakan bahwa pasal tersebut hanya dapat diterapkan terhadap individu atau orang perseorangan.

“Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa ‘orang lain’ tidak dimaknai ‘kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan’,” jelas Hakim Konstitusi Arief Hidayat, seperti dikutip dari Hukum Online, Rabu (30/4/2025).

Baca Juga: Pembuat Stiker Meme dari Wajah Seseorang Bisa Kena UU ITE, Dipidana Rp 2 Miliar

MK menegaskan bahwa kritik terhadap lembaga atau instansi merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, penerapan pasal ini tidak boleh digunakan untuk membungkam suara publik yang menyampaikan kritik terhadap institusi negara atau badan usaha.

Menurut Mahkamah, interpretasi yang terlalu luas terhadap frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Penegak hukum dapat memanfaatkannya untuk memproses laporan hukum dari institusi yang merasa tersinggung atas kritik yang diberikan masyarakat.

Mahkamah juga menyoroti frasa “suatu hal” dalam pasal yang sama. MK menilai bahwa istilah ini terlalu umum dan bisa memicu multitafsir. Akibatnya, batas antara pencemaran nama baik dan penghinaan biasa menjadi kabur. Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa frasa tersebut harus ditafsirkan secara ketat sebagai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”.

Dalam sidang yang sama, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa meskipun pemaknaan Mahkamah tidak sepenuhnya sama dengan yang diminta pemohon, permohonan tersebut tetap dikabulkan sebagian.

“Mahkamah menilai permohonan tersebut beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ujar Enny dalam putusan.

Selain itu, Mahkamah juga memberikan penegasan mengenai frasa “tanpa hak” dalam Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024. MK menilai bahwa unsur ini tetap penting untuk melindungi profesi yang sah seperti wartawan, peneliti, dan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.

“Unsur ‘tanpa hak’ berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang merugikan hak orang lain. Oleh karena itu, unsur ini tetap dibutuhkan untuk memberikan perlindungan terhadap kehormatan atau martabat seseorang sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” terang Enny Nurbaningsih.

MK juga menyatakan bahwa penghapusan unsur “tanpa hak” justru bisa menyebabkan kriminalisasi terhadap profesi yang bekerja secara sah. Tanpa kejelasan unsur ini, hukum bisa digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi secara tidak proporsional, bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.

Putusan Mahkamah juga membahas Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dinilai berpotensi menjerat ekspresi yang sebenarnya netral. MK menekankan bahwa penegakan hukum terhadap ujaran kebencian harus dibatasi hanya pada informasi atau dokumen elektronik yang memuat ajakan kebencian secara jelas, berdasarkan identitas tertentu, dan disebarkan dengan sengaja serta terbuka.

“Frasa ‘mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu’ harus dimaknai hanya sebagai informasi yang secara substantif memuat tindakan penyebaran kebencian yang nyata, berdasarkan identitas tertentu,” tegas Enny.

Putusan ini bertujuan agar penerapan UU ITE menjadi lebih adil, tidak multitafsir, dan tidak digunakan untuk membatasi kritik terhadap institusi atau kelompok.

Mahkamah menegaskan bahwa perlindungan hukum dalam konteks penghinaan dan pencemaran nama baik harus difokuskan pada individu, bukan lembaga atau institusi.

Baca Juga: Viral: Ibu-Ibu Naik Mobil Mercy Kepergok Curi Cokleat di Alfamart, Karyawan Diancam UU ITE

Adapun permohonan uji materiil terhadap pasal-pasal dalam UU ITE ini diajukan oleh seorang warga Karimunjawa, Kabupaten Jepara, bernama Daniel Frits Maurits.

Dalam petitumnya, Daniel menggugat beberapa ketentuan dalam UU ITE, yaitu Pasal 27A, Pasal 45 ayat (4), Pasal 28 ayat (2), hingga Pasal 45A ayat (2).

Daniel beralasan bahwa pasal-pasal tersebut belum memberikan kepastian hukum yang memadai dalam penanganan perkara pencemaran nama baik melalui media elektronik. Ia meminta agar Mahkamah memberikan penafsiran yang lebih tegas agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.

Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Dalam amar putusannya, MK menetapkan bahwa ketentuan Pasal 27A, Pasal 45 ayat (4), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE harus dimaknai secara ketat agar tidak melanggar hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan ekspresi dan kritik. (C)

Penulis: Ahmad Jaelani

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga