Nasionalisme Terpinggirkan di Atas Panggung Kemenangan
Usmar, telisik indonesia
Minggu, 13 Februari 2022
0 dilihat
Dr. Usmar, SE, MM, Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional. Foto: Ist.
" Secara esensi maupun filosofi tentu saja makna nasionalisme tetap abadi pada persoalan menegakkan tiga bingkai persoalan utama kebangsaan tersebut "
Oleh: Dr. Usmar, SE, MM
Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional
SECARA book thinking, kita dapat memaknai nasionalisme mengandung tiga makna dasar secara esensi, dimana nasionalisme atau komitmen mencintai bangsa dan negara itu, merujuk pada kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian budaya.
Dan secara esensi maupun filosofi tentu saja makna nasionalisme tetap abadi pada persoalan menegakkan tiga bingkai persoalan utama kebangsaan tersebut.
Hanya saja, ketika pemahaman tentang penyatuan komitmen nila-nilai nasionalisme yang masih merujuk pada tantangan pemuda era 1920-an hingga 1950-an, sebagai penjelasan basis literasi pada generasi milenial dan genZ, apalagi nanti generasi genalfa, tentu itu dapat dipastikan adalah cerminan stagnasinya kreatifitas bahkan dapat kita katakan gagalnya transformasi pembaruan dalam merumuskan tantangan bagi nasionalisme itu sendiri.
Tak mungkin dapat kita pungkiri, bahwasannya setiap generasi punya tantangan dan jawabannya sendiri.
Dulu keberhasilan menyatukan komitmen kebangsaan dari berbagai identitas kolektif baik suku, agama dan sebagainya itu, karena kita berhasil menemukan musuh bersama secara fisik dari luar yaitu penjajah.
Namun ketika kita kini telah menjadi negara merdeka, apalagi di era revolusi industry 4.0 dan community 5.0, tentu perlu ada adjustment common enemy dalam kontek kekinian sebagai perekatnya.
Nasionalisme yang harus digaungkan sekarang ini adalah bagaimana nasionalisme itu dapat merealisasikan cita-cita kemerdekaan dan tujuan nasionalisme awal saat sepakat menyatukan kehendak bersama dalam tiga bingkai besar di atas.
Jadi nasionalisme yang di gerakkan harus merujuk pada persoalan bagaimana kita berjuang membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, menegakkan hukum yang berkeadilan, dan membangun ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Tentu sangat berbahaya apabila nasionalisme gagal merealisasikan janji-janji tersebut, karena anasir-anasir etno nasionalistik dan religi nasionalistik akan menguat Kembali, membuat bangsa Indonesia Kembali terfragmentasi.
Fragmentasi Etnik dan Religi
Ruang yang dapat membuat bangunan fragmentasi itu terwujud saat ini dapat masuk melalui empat instrumen, yaitu Brain Drain, Proxy War, Neocortical Warfare dan Cyber Warfare.
Brain drain atau human capital flight adalah sebuah konsep untuk melemahkan lawan dengan mengambil Sumber Daya Manusia mereka yang unggul.
Proxy War, yaitu adalah perang terselubung di mana salah satu pihak menggunakan orang lain atau pihak ketiga untuk menyerang musuh. Adapun pihak ketiga (proxy) yang digunakan, bisa orang yang memang dari negara ketiga diluar negara yang berseteru, tapi bisa juga menggunakan berbagai instrumen organisasi baik itu berupa Ormas, Parpol, dan lain sebagainya, atau masyarakat perorangan yang semuanya adalah warga negara dari lawan itu sendiri.
Sedangkan Neocortical Warfare adalah perang tanpa menggunakan kekerasan langsung, tapi melemahkan lawan dengan menggunakan IPTEK. Hal ini dipicu oleh kemajuan Iptek, khususnya dalam biologi dan psikologi.
Dan instrumen ke-empat adalah Cyber Warfare yaitu perang yang dilakukan didunia maya (cyber Space) dengan menggunakan teknologi canggih dan jaringan nircabel/wifi yang bertujuan untuk menguasai potensi aset di dunia maya yang sekarang ini disebut era Metaverse.
Demokratisasi Berbasis Etis
Idealnya, dalam konsepsi berpolitik demokrasi etis, pemenang kontestasi politik dapat ruang lebih luas dalam menjalankan program kerja yang dapat memberikan nilai tambah politik dan ekonomi bagi pemenangnya dalam konteks memajukan bangsa dan negara.
Baca Juga: Membangun Ekonomi dari Kekuatan UKM
Namun dalam konteks Indonesia saat ini, meski pemenang politik demokrasi itu adalah elemen yang mengusung semangat nasionalisme dalam rencana program kerja politiknya, tetapi yang dapat peran signifikan adalah elemen yang justru program kerja politik dan ekonomi tersegmentasi pada kelompok elitnya semata, bukan untuk masyarakat Indonesia keseluruhannya.
Tentu ini sebuah ironi yang tak sehat dalam sebuah negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila.
Makna Nasionalisme
Esensi pemikiran Bung Karno dalam seluruh gerak nafas perjuangannya berdiri atas tiga hal secara substansi, yaitu Merdeka, Memerdekakan dan Kemerdekaan (Eros Djarot).
Karena itu, jika dalam Indonesia merdeka ini, ketiga hal tersebut, belum merata dapat dinikmati dan dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia, maka tagline bahwa “revolusi belum selesai” menemukan tugas yang harus dilakukan oleh para nasionalis.
Adapun upaya awal yang harus dilakukan oleh kaum nasionalis adalah merevitalisasi makna “nasionalisme” dalam konteks kekinian, namun tetap pada basis perjuangan pada tiga hal yang kita sebutkan di atas.
Nasionalisme yang harus kita pahami Bersama, tetap seperti apa yang pernah dipikirkan oleh Bung Karno, dalam tafsir penulis, bahwa nasionalisme Indonesia itu adalah nasionalisme yang berfondasikan Ketuhanan dan Kemanusiaan untuk tegaknya eksistensi peradaban dan kebudayaan Indonesia dalam dialektika dunia global.
Jadi kata nasionalisme tidak dapat disempitkan oleh ungkapan “nasionalisme religius” misalnya, ataupun nasionalisme sektoral lainnya.
Yang disebut kaum “nasionalis sejati” itu pada hakekatnya adalah seluruh elemen anak bangsa yang komitmen berpikir dan tindakannya jelas bertumpu pada perjuangan untuk kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara, serta keadilan dan kesejahteraan yang dapat dirasakan seluruh anak bangsa.
Baca Juga: Membangun Ekosistem Kemitraan UMKM
Kaum Nasionalis Terpinggirkan
Realitas kini dalam elit politik di Indonesia, elemen nasionalis tak terbantahkan mayoritas dalam kuantitas, namun minoritas dalam kualitas dalam struktur panggung kekuasaan politik yang dimenanginya.
Banyaknya elemen nasionalis yang cukup merasa puas sebagai pemenang hanya dengan mengumbar pernyataan atau idiom yang heroik dalam ungkapan politiknya, tapi sejatinya berjarak dengan ruang yang di perolehnya sebagai pemenang politik.
Jadi manakala nuansa yang terbangun dari sisi kedaulatan politik belum terpenuhi, dari sisi kemandirian ekonomi belum terealisasi, bahkan dari sisi budaya belum jadi primadona di negeri sendiri, maka kita perlu sampaikan ini sebagai sebuah peringatan bahwa kaum nasionalis itu terpinggirkan di panggung kemenangannya sendiri. (*)