Demokrasi yang Memilukan
Nuhruddin, telisik indonesia
Sabtu, 19 Desember 2020
0 dilihat
Nuhruddin, Ketua Umum Pimpinan Komisariat (PK) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Hukum dan Ilmu Administrasi (FHIA) Universitas Halu Oleo (UHO) 2019-2020. Foto: Ist.
" Tentu saja demokrasi bukanlah sebuah istilah yang tunggal. Ia merupakan istilah yang ambigu. Pemaknaan istilah demokrasi akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang epistemi dan ideologi. "
Oleh: Nuhruddin
Ketua Umum PK IMM FHIA UHO 2019-2020
TULISAN ini tentu akan sangat subyektif. Hanya sebuah hipotesis tanpa data yang dapat divalidasi kebenarannya dengan sebuah metode ilmiah. Hanya sebuah refleksi atas pengamatan dan pengalaman yang coba penulis gambarkan.
Pembicaraan tentang kekuasaan memang sangat menarik banyak pihak. Barangkali keinginan untuk menguasai adalah bagian dari tabiat manusia. Terminologi ini dapat dipahami dalam berbagai bidang, mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Orang-orang berlomba-lomba untuk meraih kemenangan dan kekuasaan yang dapat meliputi kesenangan dan kemewahan baik materil maupun immateril.
Dalam Islam hakikat kekuasaan tidaklah tercela. Penggunaan kekuasaanlah yang dapat dicela. Dalam konteks ini, kekuasaan dalam ajaran Islam adalah amanah dalam rangka penegakan keadilan dan mewujudkan kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Karena itu, kekuasaan tidak boleh berhenti pada kekuasaan. Begitu juga Politik tidak boleh berhenti pada kekuasaan.
Baca juga: Muhammadiyah, FPI dan Human Right
Di abad ini, banyak Intelektual terutama intelektual Eropa dan Amerika yang mengganggap bahwa demokrasi sebagai sistem terbaik dalam memanajemeni organisasi kekuasaan. Indonesia sejak awal berdirinya, telah memilih dan menetapkan demokrasi sebagai sistem politik dan kekuasaan.
Tentu saja demokrasi bukanlah sebuah istilah yang tunggal. Ia merupakan istilah yang ambigu. Pemaknaan istilah demokrasi akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang epistemi dan ideologi.
Realitas menunjukkan bahwa demokrasi kita belum dewasa. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa perbedaan sikap dan perilaku politik dalam perhelatan pemilihan umum tidak menuntun dan menuntut kita dalam persatuan tetapi justru menumbuh mekarkan benih-benih perpecahan, kebencian, ketidakjujuran dan bahkan sampai pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Padahal yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan (Gus Dur).
Realitas ini tentu sangat memilukan dan membuat polusi bagi atmosfer demokrasi kita. Apa yang salah? Apakah sistem ini memang tidak cocok untuk diterapkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang dalam sejarah sistem politiknya adalah kerajaan? Masih ada banyak segudang pertanyaan tentang demokrasi kita.
Tapi yang pasti, kita telah memilih sistem demokrasi sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Artinya baik atau buruknya, sudah sepantasnya kita terima sembari terus berbenah demi kebaikan bersama.
Baca juga: Pilkada Wakatobi 2020: Menjaring Suara Langit
Walau realitas menunjukkan bahwa demokrasi semakin mahal, tetapi tidak juga berimbas dan berbuah kesejahteraan bagi banyak orang. Bahkan yang memilukan, daulat rakyat hanya sampai pada saat perhelatan pemilihan umum untuk menentukan pemegang tampuk pimpinan dan kekuasaan negara dan daerah selama lima tahun.
Dalam sebuah pertarungan, menang atau kalah bukan hanya sebuah kewajaran, tetapi juga merupakan sebuah keniscayaan. Artinya menang atau kalah adalah kepastian. Sehingga setiap petarung harus siap menerima segala konsekuensi yang ada dan mungkin ada.
Tentu saja dalam pertarungan yang adil dan beradab. Selain itu, orientasi politik harus sebagai usaha untuk mencapai kebaikan bersama dengan cara-cara yang tentu saja baik dan benar.
Selain itu, dalam berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, sosial dan budaya, sikap keberbedaan merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, diperlukan sikap kerelaan dan kerendahan hati untuk menerima setiap perbedaan.
Barangkali bangsa ini harus mengingat bahwa terbentuknya Bangsa dan Negara Indonesia adalah formulasi atau sintesis dari beragam jenis budaya, paham, agama, dan orientasi politik yang diikat oleh Pancasila sebagai dasar pemersatu dan cita-cita bersama.
Maka perlu ada redefinisi, pemaknaan kembali, rekonstrukti dan revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bangsa, kita masih sangat harus banyak belajar. (*)