Oposisi atau Gotong Royong dan Membangun Negeri

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 03 Maret 2024
0 dilihat
Oposisi atau Gotong Royong dan Membangun Negeri
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus & Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Jika Prabowo-Gibran terpilih maka kubu pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjadi oposisi "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus & Owner Penerbitan

DALAM politik pemerintahan pasca pemilihan umum (Pemilu), umum didengungkan bahwa dibutuhkan adanya kubu pemerintahan dan juga kubu oposisi. Semestinya, jika Prabowo-Gibran terpilih maka kubu pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjadi oposisi.

Hal ini juga pernah disinggung oleh Anies menceritakan dirinya kecewa, diungkapkan dalam Panggung Debat Capres, karena Prabowo dan Gerindra ketika kalah pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 lalu, malah memilih bergabung dengan pemerintahan bukan sebaliknya menjadi oposisi pemerintahan.

Hanya saja ini Indonesia, konteksnya selalu dianggap berbeda. Selalu ada dua perdebatan antara kebutuhan akan oposisi dan dengan tidak dikenalnya oposisi. Kemudian, ada yang menyatakan oposisi atau membangun bersama untuk negeri. Tulisan ini ingin coba menguraikan dari pandangan para politisi dan konteks dinamika proses dan peristiwa, sebagai berikut.

Penolakan Oposisi

Oposisi di Indonesia acap ditolak, oleh berbagai realitas, pertama, oposisi hanya sekadar berbeda dengan pemerintah. Oposisi tidak ditempatkan sebagai perilaku partai politik yang mengkritisi pemerintah dengan acuan jika kebijakan/keputusan yang diajukan pemerintah itu baik untuk masyarakat maka akan didukung dan yang buruk akan ditentang.

Kedua, oposisi ditolak karena sikap pragmatis partai. Kebutuhan membangun institusi partai acap dijadikan pijakan partai-partai memilih bergabung di pemerintahan dan enggan memilih sebagai oposisi.

Sikap Pragmatis ini juga menunjukkan partai satu sisi juga tidak siap berlama-lama di luar pemerintahan karena alasan kebutuhan operasional untuk membangun institusi  pemerintahan.

Ketiga, sistem kepartaian multipartai ekstrem juga mendukung tidak dikenalnya oposisi.

Maksud dari pernyataan itu bahwa partai-partai yang lolos di parlemen hanya berkategori memperoleh suara menengah tidak ada yang meraih suara mutlak. Contoh saja, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) sebagai partai peringkat pertama berdasarkan hasil real count hari ini suaranya kurang lebih sekitar 16 persenan semata.

Berbagai fakta ini malah menunjukkan bahwa menjadikan negeri kita lebih mengedepankan dalam berpolitik adalah politik gotong-royong. Ramai-ramai partai-partai politik bergabung di pemerintahan dengan narasi membangun bersama untuk negeri.  

Ketidakjelasan Partai Politik Berperan sebagai Oposisi

Koalisi pra dan pasca Pilpres memungkinkan memang akan mengalami perubahan ke depannya. Sebab ada dua pola gambaran umum perilaku partai-partai politik di Indonesia. Pra Pemilu acap dianggap yang menjadi dasar utama kekuatannya adalah electoral support, berupa dukungan suara pemilih untuk terpilihnya pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Sedangkan Pasca Pemilu yang menjadi dasar utama kekuatan adalah political support, dukungan dari partai-partai politik pendukung pemerintahan dalam menjamin stabilitas pemerintahan dan memudahkan proses pembuatan keputusan/kebijakan.  

Baca Juga: Dinamika Koalisi Pasca Pemilu

Mengapa Political Support penting? Sebab partai-partai politik memang dapat dikategorikan partai menengah saja dari perolehan suara. Tidak ada lagi seperti mantan Presiden Soeharto ketika memerintah mendapatkan dukungan penuh dari Partai Golkar, sebagai partai peraih suara terbanyak dan partai peringkat pertama. Pernyataan di atas, harus dilepaskan, dari fakta Pemilu di era Orde Baru tidak sepenuhnya demokratis.

Pemerintah memang akan kesulitan dalam proses pembuatan keputusan, jika kekuatan partai-partai politik sebagai oposisi lebih besar besar, dengan perilaku partai politik dalam oposisi yang penting selalu berbeda dengan pemerintah. Ini tentu saja, negeri kita akan lebih banyak diwarnai kehebohan yang malah turut menghadirkan upaya membangun negeri ini sedikit terabaikan.

Bahkan, malah yang terjadi adalah keterbelahan masyarakat yang terus menerus karena oposisi dan pemerintah selalu berseberangan, ini tentu saja bukan pendidikan politik tetapi turut memberikan efek negatif bagi upaya merealisasikan visi-misi dan program kerja pemerintah.

Oposisi atau Partai Politik Pendukung Pemerintahan (P4)

Pasangan Prabowo-Gibran jika ditetapkan sebagai pasangan yang terpilih dan dilantik nantinya. Jika kita lihat dengan perbandingan kubu pemerintah berdasarkan real count KPU dari 4 partai pendukung pemerintah (Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerindra, dan Partai Demokrat) berjumlah hanya sebesar 42,86 persen.

Apa yang akan terjadi? Diyakini Pemerintahan Prabowo nantinya akan kesulitan bekerja dalam memproses pembuatan perundang-undangan, maupun tak menutup kemungkinan akan ramai-ramai partai-partai politik yang menyatakan oposisi akan sering meminta digulirkan hak interpelasi atau hak angket.

Ini konsekuensi dari sistem kepartaian multipartai ekstrem dengan perolehan suara partai politiknya pemerintah tidak pernah mendapatkan perolehan suara mutlak. Konsekuensi ini juga terjadi karena kenyataan miris, partai-partai politik hanya mendapatkan suara menengah saja, partai-partai politik yang lolos di parlemen hanya mendapatkan suara tidak kurang dari 20 persen.

Konsekuensi logis memang pemerintah membutuhkan tambahan kekuatan partai-partai politik lainnya, dengan cara mengajak dan menarik masuk beberapa partai untuk bergabung di pemerintahan.

Bergabung dengan pemerintahan bisa terjadi berkelindan dengan pola pragmatis partai-partai politik, dengan sikap pemerintah yang butuh dukungan banyak partai politik di parlemen dalam memudahkan proses pembuatan keputusan.

Titik temu keduanya adalah narasi membangun negeri, dengan konsekuensi logis adalah memperoleh jabatan berupa jabatan menteri, wakil menteri, duta besar, komisaris, dan staf kepresidenan.

Baca Juga: Tinggal Kenangan: 'Cawapres Rasa Presiden,' Jika Ganjar-Mahfud Terpilih

Titik temu dengan narasi membangun negeri dan adanya konsekuensi bagi-bagi jabatan yang dianggap lumrah ditenggarai akan menjadi jalan dari perluasan dukungan partai-partai politik lainnya bergabung ke kubu pemerintah. Sehingga oposisi memang tak akan pernah dikenal di Indonesia, yang ada dan dikenal adalah istilah gotong royong, membangun negeri, dan persatuan dan kesatuan.

Gotong royong, membangun negeri, dan persatuan dan kesatuan hal mana ketiganya akan menjadi dasar dari terjadinya upaya memperbesar dan memperluas kekuatan pemerintahan, sehingga dikenalnya nama baru Partai Politik Pendukung Pemerintahan (P4).  

Akhirnya atas nama stabilitas pemerintahan, sikap pragmatis pemerintah dalam mengelola pemerintahan bertemu dengan perilaku politik pragmatis partai-partai politik. Meski begitu, diyakini upaya memperluas dukungan pemerintahan ini membutuhkan waktu sekiranya 1,5 tahun.

Ditenggarai perubahan keputusan dan sikap partai politik memungkinkan diambil saat akan terjadi pemilihan ketua umum dari partai-partai politik yang sekarang masih mendukung pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Dan, satu hal yang pasti ketika mereka berbalik arah, akan terjadi pola narasi untuk persatuan dan kesatuan, membangun bangsa dan negeri, maupun kita mengenal dengan istilah gotong royong.  

Singkat kata, perubahan sikap partai-partai politik yang berada di luar pemerintah kemudian bergabung di pemerintahan adalah hal biasa saja bukan memalukan. Pragmatis partai politik dan kebutuhan pemerintahan dukungan political support dianggap hal lumrah untuk proses pembuatan keputusan lebih cepat. Semuanya demi tujuan membangun negeri dan persatuan dan kesatuan bangsa. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga