Dinamika Koalisi Pasca Pemilu

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 25 Februari 2024
0 dilihat
Dinamika Koalisi Pasca Pemilu
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Koalisi pra dan pasca Pilpres memang akan mengalami perubahan ke depannya, sebab ada dua pola gambaran umum perilaku partai-partai politik di Indonesia "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

JIKA melihat perkembangan politik pemerintahan dua periode Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya, ditenggarai 1,5 tahun, akan terjadinya koalisi pendukung pemerintah semakin membesar. Upaya memperbesar koalisi ini acap dianggap sebagai konsolidasi pemerintahan maupun penguatan pemerintahan.

Koalisi pra dan pasca Pilpres memang akan mengalami perubahan ke depannya, sebab ada dua pola gambaran umum perilaku partai-partai politik di Indonesia. Pra Pemilu acap dianggap yang menjadi dasar utama kekuatannya adalah elektoral support, berupa dukungan suara pemilih untuk terpilihnya pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Pasca Pemilu yang menjadi dasar utama kekuatan adalah political support, dukungan dari partai-partai politik pendukung pemerintahan dalam menjamin stabilitas pemerintahan dan memudahkan proses pembuatan keputusan/kebijakan.

Kemungkinan memperbesar koalisi memang akan terjadi. Meski begitu, Koalisi dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 diyakini bahwa peta koalisi pendukung pasangan Prabowo-Gibran jika terpilih dan dilantik belum akan cepat berubah dari kekuatan partai-partai pendukungnya. Untuk memahami dinamika koalisi pasca pemilu, berikut uraiannya.

PPP Memungkinkan Pindah Lebih Cepat

Partai politik yang bisa didekati kemungkinan besar oleh pemerintahan terpilih nanti memungkinkan adalah Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketiga partai ini tak bisa diabaikan hingga hari ini masih berada di pemerintahan. Sehingga wajar ditenggarai akan menjadi target memperbesar koalisi oleh pemerintahan ke depan.

PPP diyakini lolos parlemen, PPP tercatat memperoleh 4,05 persen jika mencermati hasil real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 23 Februari 2024. Kabar ini menjadi kabar positif, sebab PPP ditenggarai yang amat mudah untuk diajak bergabung dalam pemerintahan.  

Sebab, PPP butuh konsolidasi internalnya untuk menguatkan organisasi kepartaiannya ke depan.

Ini menunjukkan PPP akan lebih terbuka dan lebih berpeluang untuk bergabung di pemerintahan.  

PPP diprediksi juga tak akan malu jika harus mengirim sinyal ataupun kode lebih dulu dalam upaya untuk digoda dan mengajak PPP bergabung pada pemerintahan. PPP harus diakui juga jelas-jelas "berhutang budi" kepada Jokowi, karena langsung dan tak langsung membantu proses pergantian kepemimpinan dari Suharso Manoarfa kepada Muhammad Mardiono.  

Oleh sebab itu, jika ada ajakan dari Prabowo Subianto diyakini akan dipertimbangkan PPP. Faktanya PPP banyak ruginya berkoalisi dengan PDIP, seperti menjadi pendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengajukan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres), ternyata Sandiaga Uno sebagai kader PPP yang diajukan tidak dipilih, malah Mahfud MD sosok profesional non-partai yang dipilih oleh PDIP.  

Sayangnya, Mahfud MD yang bernuansa Nahdlatul Ulama (NU) tidak dieksplore oleh PDIP, bahkan PPP juga cenderung tidak ditonjolkan oleh PDIP. Sehingga koalisi PDIP dan PPP bersama tetapi tak hangat.

PPP juga merasakan bersama PDIP tidaklah membawa dampak membesarnya perolehan suara PPP.

Baca Juga: Persaingan Cawapres dengan Capres, Jika Prabowo-Gibran Terpilih

Malah PPP sempat terancam tak lolos ambang batas parlemen. Saat ini, meski PPP berdasarkan real count sementara KPU lolos, tetapi angka 4 persen semata bukan patut dibanggakan dengan suka cita, sebab tak lebih baik daripada Pemilu Serentak 2019 lalu.  

Diyakini Prabowo juga tak terlalu sulit mengajak PPP. PPP dibahasakan saat ini sedang dalam kondisi lemah secara organisasi. Bergabung di pemerintahan dinilai hal positif bagi PPP. PPP juga menyadari partai ini tak punya pengalaman sebagai oposisi. PPP juga diyakini membutuhkan jaringan di kementerian dan logistik untuk membiayai konsolidasi partai politik pasca pemilu.

Nasdem Berpikir Cermat

Nasdem diyakini jadi target penting untuk digoda, hanya saja Nasdem tidak akan mudah berpindah haluan. Prabowo ditenggarai membutuhkan Nasdem, didasari dari pembelajaran Presiden Jokowi bahwa loyalitas Nasdem begitu kuat dalam mendukung pemerintahan.  

Hubungan yang tak harmonis Nasdem dengan Tim Sukses Anies serta Anies yang tidak sepenuh hati mau mengikuti arahan Nasdem, menjadi penilaian untuk perubahan sikap Nasdem ke depannya. Nasdem juga memungkinkan menggunakan narasi atas nama persatuan dan kesatuan, dan membangun negeri, maka Nasdem akan mau bergabung di pemerintahan.

Hubungan baik antara Prabowo Subianto sebagai capres terpilih, Surya Paloh selaku ketua umum Nasdem, dan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar menjadi perekat dari kemungkinan bergabungnya Nasdem. Hubungan baik ketiganya menjadi modal dasar dari tidak terjadinya gejolak partai-partai koalisi pemerintahan yang telah tergabung sejak awal, ketika harus menerima bergabungnya Nasdem.

Meski begitu, ditenggarai Nasdem butuh waktu agak lama untuk menerima ajak bergabung dalam koalisi pemerintahan. Narasi maupun alasan yang terbaik juga mesti dipersiapkan oleh Prabowo agar Nasdem menerima tawaran bergabung di pemerintahan. Hal ini penting karena Nasdem tak ingin dianggap sebagai partai pragmatis.

NU dan PKB Dibutuhkan

Pemerintahan yang akan terpilih nanti diyakini PKB juga begitu diperhitungkan. PKB memiliki basis massa terbesar yakni Nahdlatul Ulama (NU), dan harus diakui Pemilu 2024 ini bahwa perolehan suara PKB sedang amat baik sebab hampir menyeluruh di berbagai daerah PKB memperoleh kursi. Kelincahan berpolitik Cak Imin juga memang diperlukan oleh pemerintah. Bahkan, ceplas-ceplos Cak Imin rasanya amat dirindukan pemerintah untuk menghangatkan internal koalisi pemerintahan.

Basis Massa NU adalah juga penilaian yang lebih dikedepankan oleh pemerintahan ke depannya. Pemerintahan di Indonesia tentu saja membutuhkan dukungan NU selain Muhammadiyah. Sehingga PKB akan digoda dengan serius, kemungkinan PKB bergabung juga amat tinggi.  

Hanya saja sifat pragmatis dan ceplas-ceplos Cak Imin akan menghangatkan publik terlebih dahulu.

PKB tentu akan rajin menyentil Pemerintahan ke depan, inilah tantangannya, oleh karena itu pendekatan Prabowo kepada PKB dan Muhaimin Iskandar harus ekstra sabar, bahkan komunikasi politik harus hati-hati jangan sampai blunder.

Meski begitu, diyakini Prabowo dan Muhaimin yang pernah bersama tetapi gagal melanjutkan hubungan harmonisnya di Pilpres, dengan pernah terbentuknya Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).

Ditenggarai menjadi awal dari komunikasi politik yang renyah antar keduanya. Ditenggarai pula sikap Muhaimin dan Prabowo yang saling menghormati akan turut menjadi pertimbangan masing-masing membangun kebersamaan.

Oposisi Tetap Ada

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) diyakini coba didekati oleh Prabowo jika terpilih dan dilantik tetapi memungkinkan tak amat diseriusi.

Prabowo pasca Pemilu Serentak 2019 akibat politik identitas bersama dengan PKS mengalami sentimen negatif dari masyarakat. Menyadari kesalahannya menggunakan narasi politik identitas padahal berideologi partai nasionalis telah membuat Prabowo dan Gerindra mulai mengambil jarak dengan PKS.  

PKS juga diyakini akan menolak tawaran bergabung di pemerintahan, untuk tujuan merebut simpatik masyarakat. PKS juga ingin dicitrakan sebagai partai politik yang konsisten dan tidak pragmatis dalam berpolitik, juga demi Anies Baswedan. Jadi, patut diduga Anies dan PKS akan sama-sama mengkritisi pemerintah.  

Faktor terakhir, PKS juga diyakini enggan menerima tawaran bergabung di pemerintahan, karena adanya Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia. Partai Gelora Indonesia adalah partai yang lahir dari “Rahim” PKS, pasca terjadinya konflik di internal PKS.  

Jadi PKS adalah partai yang coba didekati tetapi enggan diseriusi, sebab PKS yang kurang membuka diri. Kita juga bisa mengacu kepada ketika Koalisi Indonesia Maju (KIM) menerima bergabungnya Partai Demokrat (PD), tetapi KIM tidak berusaha menarik PKS yang pada saat itu juga tidak cocok dengan Nasdem dan sebenarnya juga ingin mengikuti jejak PD.

PDIP tentu akan menolak bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran jika terpilih dan dilantik. PDIP sudah menyatakan akan memilih menjadi oposisi pemerintahan. Oposisi PDIP soal harga diri, dampak dari persaingan sengit antara Presiden Jokowi yang telah mempermalukan satu organisasi PDIP, ketika terlempar dari Istana. Ditenggarai kekuatan oposisi akan disisakan dua partai saja yakni PKS dan PDIP.

Sebenarnya PKS masih bisa diajak. Hanya diyakini Prabowo enggan mengajak PKS. Juga Prabowo mempelajari, sekarang saja oposisi pemerintahan Jokowi hanya menyisakan PKS. Meski PKS sebagai oposisi, pemerintah bisa tetap tenang sebab tidak berisik.

Baca Juga: Tinggal Kenangan: 'Cawapres Rasa Presiden,' Jika Ganjar-Mahfud Terpilih

Oposisinya hanya sekadar cari sensasi seperti memberikan sikap tak setuju tanpa disertai kejelasan argumentasinya, bahkan acap memilih aksi walk out ketimbang menyampaikan gagasan yang benar-benar berisi. Jadi PKS meski diluar pemerintahan, tetapi tidak akan terlalu mengganggu, seperti sekarang ini.

Apalagi jika PKS dibiarkan dengan PDIP sebagai oposisi. Sebab, oposisi kedua partai ini tidak akan pernah solid. Oposisi keduanya cenderung mudah berbeda pemikiran, sebab memang PDIP punya rekam jejak enggan untuk bersama PKS. Juga ada kekhawatiran di PDIP, jika oposisi PKS dan PDIP bisa bersatu, suara PDIP ditenggarai elektabilitasnya akan menurun.

Harapan PKS dengan memilih beroposisi, ditenggarai agar PDIP mendekat kemudian ceruk pemilihnya dapat dipengaruhi oleh PKS secara perlahan dan halus. PKS juga bisa membangun branding baru layaknya partai nasionalis, bukan “Islam kanan” semata.

Dengan meninggalkan PKS bersama PDIP sebagai oposisi, ini menguntungkan bagi pemerintahan Prabowo ke depannya. Karena kedua partai ini dalam beroposisi akan mengalami dilemma yakni: bersatu salah, dan berbeda tidak akan kuat pengaruh oposisi. Inilah dilema oposisi PDIP dan PKS, tetapi menguntungkan Pemerintahan dengan membiarkan kedua partai politik itu berada di luar.

Diperkirakan nantinya oposisi hanya akan menyisakan dua partai yakni PDIP dan PKS. Jadi, oposisi tetap ada di parlemen, tetapi kekuatannya tidak dominan, hanya 24,37 persen berdasarkan real count KPU saat ini. Meski begitu, parlemen akan amat berisik karena Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nya dari PDIP. Oleh sebab itu, diyakini koalisi pemerintahan akan diperluas, tapi prosesnya tidak cepat, butuh waktu sekitar 1,5 tahun.

Meskipun memungkinkan ketiga partai seperti Nasdem, PKB, dan PPP dari kubu pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud akan berbalik arah mendukung pemerintahan, dengan hanya menyisakan PDIP dan PKS sebagai oposisi, tetapi diprediksi oposisi tetap dapat dianggap cukup baik.

Diyakini pula proses pengambilan keputusan akan lebih baik, karena ada riak-riak suara penolakan di Senayan, strategi menguatkan dan melemahkan akan menarik disimak dari perjalanan pemerintahan ke depannya. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga