Berebut Kursi Ketua DPR Periode 2024-2029
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 17 Maret 2024
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Golkar berhasil memenangi perolehan suara 15 dari 28 Provinsi meski berada diperingkat kedua, sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) yang berada di peringkat teratas hanya berhasil menang pada 9 Provinsi dari 38 Provinsi "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
PARTAI Golkar telah melemparkan psywar mengenai peluangnya menduduki kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Periode 2024-2029. Argumentasi ini dibangun dalam narasi berdasarkan sebaran suara Partai Golkar yang lebih merata terutama tak hanya terkonsentrasi di luar Jawa.
Golkar juga lebih tinggi persebaran suaranya, meski suara itu belum dikonversi menjadi kursi. Golkar berhasil memenangi perolehan suara 15 dari 28 Provinsi meski berada diperingkat kedua, sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) yang berada di peringkat teratas hanya berhasil menang pada 9 Provinsi dari 38 Provinsi.
Sebaran suara Golkar ini dianggap lebih baik daripada PDI Perjuangan. Meski, PDIP yang memperoleh suara tertinggi sebagai peringkat pertama 16,39 persen sedangkan Golkar membayangi di posisi kedua dengan persentase 15,05 persen. Tulisan ini ingin melihat realitas perebutan kursi Ketua DPR.
Psywar Partai Golkar
Komunikasi politik dari elite Partai Golkar yang melemparkan psywar tentang kursi Ketua DPR, berusaha diredakan oleh Ketua Umum Airlangga Hartarto dengan menyatakan tak ada scenario Partai Golkar merebut kursi Ketua DPR. Memang penting disadari oleh Golkar bahwa memang partai ini harus sadar dengan mengikuti mekanisme yang ada.
Jika melihat fakta dari mekanisme penentuan kursi Pimpinan DPR bahwa partai pemenang pemilu yang akan memperoleh jabatan Ketua DPR, dan urutan kedua sampai dengan lima itu selanjutnya akan menjadi wakil ketua. Sehingga, semestinya Ketua DPR adalah jatahnya PDI Perjuangan, baru wakil ketua dari Partai Golkar, Gerindra, PKB, dan Nasdem.
Meskipun, perolehan suara PDI Perjuangan memang amat tipis dengan Golkar, PDI Perjuangan meraih 16,39 persen suara, sedangkan Golkar meraih 15,05 persen, ini menunjukkan selisihnya sekitar 1,34 persen. Meski begitu, semestinya peringkat pertama tetap masih dipegang oleh PDI Perjuangan.
Trik Lama Mungkin Saja Dilakukan
Langkah Partai Golkar menggeser PDI Perjuangan dari kursi Ketua DPR masih memungkinkan terjadi. Sebab melihat fakta pada Pemilu 2014 lalu, revisi Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) sempat dilakukan pada sehari sebelum penyelenggaraan Pilpres 2014 lalu.
Akibatnya, saat itu Koalisi Merah Putih (KMP) yang merupakan koalisi gendut pendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dapat mengganti mekanisme pemilihan Ketua DPR dengan paket yang terdiri dari Golkar sebagai Ketua DPR-nya.
Inilah tragedi pertama di era reformasi tentang ‘parlemen terbelah,’ kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pengusung Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) yang semestinya milik PDI Perjuangan kursi Ketua DPR malah direbut oleh Partai Golkar dari KMP.
Meski begitu, saat ini tampaknya kubu Gerindra sebagai partainya calon presiden (capres) terpilih Prabowo Subianto belum meng-iya-kan menggunakan kembali strategi ini. Mereka ingin konsisten menjalankan apa yang ada dalam rumusan UU MD3 saat ini. Tetapi, kemenangan agenda di menjelang Pemilu 2014 lalu, dapat saja menjadi pembelajaran kembali.
Baca Juga: Oposisi atau Gotong Royong dan Membangun Negeri
Memungkinkan kembali revisi UU MD3 dilakukan, apalagi sudah jelas bahwa kekuatan partai politik Pasangan Prabowo-Gibran lebih banyak dan kuat dari pasangan Ganjar-Mahfud, seperti terlihat dari perhitungan suara sementara pada 5 Maret 2024 (sebesar 65,89 persen) bahwa Partai Gerindra 13,3 persen, Golkar 15,05 persen, Partai Amanat Nasional (PAN) 6,95 persen, dan Partai Demokrat (PD) 7,41 persen.
Artinya keempat partai ini memiliki total persentase suara sebesar 42,71 persen, bandingkan dengan kubu PDIP-PPP yakni PDI Perjuangan 16,39 dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4,01 total jumlah sebesar 20,4 persen. Hanya saja, langkah Koalisi Indonesia Maju (KIM) meski kompak sekalipun, juga berat. Jika mencoba melakukan revisi dan merumuskan kembali paket yang Ketua DPR-nya dari Golkar.
Sebab pasangan dari kubu Ganjar-Mahfud telah lebih intens bersama dengan kubu Anies-Imin yang kekuatan dari tiga Partai yaitu Nasdem 9,43 persen, PKB 11,53 persen, dan PKS 7,5 persen atau sekitar 28,46 persen. Artinya bila kubu Anies dan Ganjar berkoalisi di Parlemen kekuatannya adalah sebesar 48,86 persen lebih kuat dari kubu pemerintah yang hanya 42,71 persen.
Ini artinya jika ingin mensukseskan kembali seperti Pemilu 2014 lalu, maka KIM harus menggoda barisan partai-partai lain dari dua koalisi yang ada. Kemungkinkan untuk kembali seperti 2014 adalah PPP, sebab PPP saat ini juga sudah mendeklarasikan diri juga bersedia memilih pindah haluan kepada kubu pemerintah, sehingga mereka bisa dapat kompensasi kursi dari Presiden Prabowo nantinya. Jika seperti ini maka kekuatan dari Kubu 01 dan 03 menjadi hanya sebesar 44,85 persen, sementara kubu 02 yakni Prabowo-Gibran menguat menjadi sebesar 46,72 setelah bergabungnya PPP.
Upaya untuk mengajak PPP lebih memungkinkan ketimbang dengan beredarnya isu negatif yang menyatakan bahwa 18 kursi DPR dari PPP dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) saat ini sedang diincar oleh Golkar. Kursi tersebut ditenggarai “dipindahkan” kepada Golkar, agar Golkar mendapatkan kursi paling banyak di DPR, dengan harapan Golkar bisa jadi Ketua DPR.
Isu yang beredar tersebut, sepertinya hanya sekadar kekhawatiran berupa gossip semata yang sulit dipercaya kebenarannya. Sebab untuk melakukan itu resikonya besar bagi Penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebab masuk dalam ranah pidana. Ini dapat dinilai berdasarkan Undang-Undang Pemilu Pasal 532 bahwa, setiap orang yang dengan sengaja mengurangi atau menambahkan suara salah satu peserta Pemilu dapat dikenakan pidana.
Apalagi jelas saat ini adalah eranya keterbukaan informasi, tak bisa diabaikan bahwa semua orang punya gadget untuk dijadikan bukti, ini adalah bukti terjadinya proses transparansi dalam demokrasi. Sehingga, diyakini kecurangan pemilu tak akan seberani dan seberutal tersebut, meski kecurangan pemilu memungkinkan masih ada, tetapi dengan isu bahwa 18 kursi digeser dari dua partai yakni PPP dan PSI rasanya tak mungkin. Malah yang memungkinkan PPP misalnya, jika lolos yang akan digoda untuk bergabung dengan Koalisi Prabowo-Gibran ketika terpilih dan dilantik resmi.
Menerka Motivasi Merebut Ketua DPR
Motivasi merebut Ketua DPR adalah tentu saja masih sama untuk menguasai pemerintahan. Jika pada 2014 lalu, untuk menganggu pemerintah, maka kubu Prabowo-Hatta Rajasa menguasai Parlemen. Sedangkan sekarang ini, motivasinya berbeda, sebaliknya adalah untuk mengamankan pemerintahan agar kebijakan dan keputusan Presiden dapat dengan mudah disetujui oleh parlemen.
Baca Juga: Polemik Parliamentary Threshold
Motivasi dari penguatan kekuatan kubu pemerintah agar kebijakan dan keputusannya lebih mudah diproses di DPR, memungkinkan menjadi penilaian positif dengan argumentasi masuk akal untuk menggoda dan menarik partai-partai lain. Tetapi untuk memulainya tentu saja harus menggoda salah satu partai dari kubu oposisi yang saat ini besar, agar kekuatan oposisi menjadi lemah, syarat menggodanya adalah bagi-bagi kursi, di kabinet, maupun di posisi alat kelengkapan dewan (AKD). Sebab, ada persepsi politik hits bahwa ‘ dalam politik, tak ada makan siang gratis.’
Jika ini kembali terulang, artinya dua kali Golkar menjadi aktor atau yang menginisiasi terjadinya parlemen terbelah, dengan merebut posisi Ketua DPR dengan mendorong terjadinya revisi UU MD3 kembali.
Ini mirip pengulangan seperti pada saat Pemilu 2014 lalu, politik melakukan revisi UU MD3 adalah sekadar kepentingan dari koalisi besar saja. Namun mewujudkan itu, Partai Golkar diyakini akan membujuk dengan narasi agar pemerintahan Prabowo-Gibran dapat stabil karena jika tanpa revisi UU MD3, jika tidak maka memungkinkan PDIP sebagai oposisi akan merecoki pemerintahan.
Syarat merealisasikan merevisi UU MD3 tersebut adalah bagi-bagi kursi di kabinet dan kemungkinan juga untuk jabatan pimpinan alat kelengkapan dewan nantinya, ini adalah konsekuensi tak bisa dikesampingkan. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS