Pajak Meningkat, Negara Kian Memeras Rakyat?
Yuni Damayanti, telisik indonesia
Minggu, 17 Oktober 2021
0 dilihat
Yuni Damayanti, Pemerhati Sosial. Foto: Ist.
" Kenaikan tarif PPN ini dikhawatirkan justru akan menimbulkan masalah baru bagi perekonomian "
Oleh: Yuni Damayanti
Pemerhati Sosial
PEMERINTAH bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen pada April tahun 2022 mendatang. Hal ini seiring dengan disahkanya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, tarif PPN akan kembali naik mencapai 12 persen pada tahun 2025, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata rata dunia sebesar 15,4 persen dan juga lebih rendah dari Filipina 12 persen, China 13 persen, Arab Saudi 15 persen, Pakistan 17 persen, India 18 persen. Hal itu disampailan oleh Yasonna dalam sidang paripurna, Kamis (7/10/2021).
Selain menaikkan tarif pemerintah batal mengenakan PPN untuk beberapa barang/jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini sejalan dengan usulan seluruh Fraksi di DPR RI dan aspirasi masyarakat. Barang-barang yang tidak dikenakan PPN yakni barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainya (Kompas.com, 07/10/2021).
Bukan hanya menaikkan tarif PPN, Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP).
Berdasarkan Draf UU HPP, setiap WP OP yang telah memenuhi persyaratan Subjektif dan Objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan (Kemenkeu).
Sebagai informasi UU HPP dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, serta mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera (Kompas.com, 10/10/2021).
Kenaikan tarif PPN ini dikhawatirkan justru akan menimbulkan masalah baru bagi perekonomian, sebab untuk kalangan menengah misalnya, hal ini akan memberatkan jika setiap pembelian dikenakan pajak 11 persen. Ini sangat beresiko menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah, apalagi dalam kondisi pendemi.
Kebijakan ini mengesankan bahwa pemerintah terus mencari cara agar tidak ada individu atau obyek harta/kepemilikan yang lepas dari pajak. Kebijakan-kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak nyatanya berbanding terbalik dengan kebijakan merevisi pengelolaan harta publik berupa sumber daya alam (SDA).
Pertanyaan besar pun muncul di benak masyarakat, mengapa pemerintah sibuk mengejar pajak yang makin membebani rakyat hingga ke lubang jarum? Sementara meloloskan SDA berlimpah dinikmati segelintir orang karena pengelolaan kapitalistik.
Seperti itulah tabiat sistem demokrasi dalam mengurus rakyat. Kemaslahatan umat tidak menjadi prioritas karena negara hanya berperan sebagai wasit yang melindungi kepentingan individu pemilik modal. Dengan demikian tidak heran jika kebijakan yang dihasilkan tak berpihak pada kepentingan rakyat.
Pemerintah sibuk mengumpulkan uang recehan dari kantong rakyat yang hidupnya menderita, sementara SDA yang melimpah diberikan kepada pihak swasta atau asing. Namun apa mau dikata demikianlah watak ideologi kapitalisme, pemilik modal adalah penguasa yang sesungguhnya.
Padahal, jika SDA dikelola oleh negara dengan benar ini sangat berpotensi besar guna terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum.
Sementara jika menengok tata cara Islam dalam mengelola keuangan negara. APBN dalam sistem pemerintahan Islam disebut baitulmal, sebuah pos yang mengatur semua pemasukan dan pengeluaran negara yang jauh berbeda dengan APBN dalam sistem demokrasi saat ini.
Setidaknya ada tiga hal yang membuat baitulmal stabil dan kuat. Pertama, sumber baitulmal banyak dan tidak sama sekali membebankan pada pajak dan utang. Kedua, pengaturan alokasi pengeluaran pun sudah jelas. Setiap jenis pengeluaran memiliki alokasi sumber pendanaannya.
Ketiga, penyusunannya tidak dilakukan tahunan, melainkan dilakukan sepanjang waktu sesuai alokasi yang diatur syariat. Sehingga, menghabiskan anggaran di akhir tahun tidak akan terjadi dalam sistem keuangan baitulmal.
Dalam kitab Al Amwal, karya Abdul Qadim Zallum, baitulmal terdiri dari dua bagian pokok. Pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke baitulmal dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Kedua, berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan.
Baca juga: Puluhan Tahun Mengabdi, Nasib Honorer di Ujung Seleksi
Baca juga: Mendorong Digitalisasi Desa
Selain itu, sumber pendapatan negara dalam Islam terbagi menjadi tiga pos sesuai dengan jenis hartanya. Pertama, bagian fa’i dan kharaj. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan dan pengaturan arsip-arsip pendapatan negara.
Meliputi harta yang tergolong fa’i bagi seluruh kaum muslim dan pemasukan dari sektor pajak (dharibah) yang diwajibkan bagi kaum muslim tatkala sumber-sumber pemasukan baitulmal tidak mencukupi.
Bagian fa’i dan kharaj tersusun dari beberapa seksi sesuai dengan harta yang masuk dan jenis harta tersebut, yaitu: Pertama, seksi ghanimah mencakup ghanimah, anfal, fa’i, dan khumus. Kedua, seksi kharaj. Ketiga, seksi status tanah. Keempat, seksi jizyah. Kelima, seksi fa’i. Keenam, pajak (dharibah).
Perlu diketahui, dharibah atau pajak dalam Islam berbeda jauh dengan pajak dalam sistem demokrasi. Selain menjadi tumpuan APBN dan pajak, dalam sistem ini dibebankan pada seluruh warganya.
Sedangkan pajak dalam Islam hanya diberlakukan pada kaum muslim yang kaya saja. Pengambilannya bersifat temporal. Jika kondisi baitulmal telah stabil, pemungutan pajak pun dihentikan.
Kedua, bagian pemilikan umum. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan dan pencatatan harta milik umum. Juga berfungsi sebagai pengkaji, pencari, pengambil, pemasaran, pemasukan dan yang membelanjakan dan menerima harta-harta milik umum. Tidak boleh bercampur dengan harta lain, karena harta tersebut milik seluruh kaum muslim.
Adapun bagian pemilikan umum dibagi menjadi beberapa seksi berdasarkan jenis harta pemilikan umum, yaitu; seksi minyak dan gas, seksi listrik, seksi pertambangan, seksi laut, sungai, perairan dan mata air, seksi hutan, dan padang (rumput) gembalaan. Dan seksi aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.
Negara tidak boleh memberikannya pada swasta apalagi asing. Negara hanya berhak mengelola dan hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat sepenuhnya. Bisa dalam bentuk biaya kesehatan, biaya pendidikan, dan lain-lain.
Ketiga, bagian sedekah. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing. Pos ini hanya didistribusikan pada delapan asnaf tidak boleh untuk selainnya, sesuai firman Allah Swt. dalam surah at-Taubah ayat 60.
Dengan demikian, Islam hanya akan menarik pajak jika kondisi keuangan negara sedang mengalami kesulitan dan sifatnya temporal. Hal ini sangat berbeda jauh dengan sistem demokrasi kapitalis yang menetapkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan terbesar negara. (*)