Pendidikan Anak Era Digital, Butuh Sinergi Semua Pihak

Endartini Kusumastuti, telisik indonesia
Sabtu, 21 Oktober 2023
0 dilihat
Pendidikan Anak Era Digital, Butuh Sinergi Semua Pihak
drg. Endartini Kusumastuti, Pengamat Sosial. Foto: Ist.

" Masalah yang seringkali didapatkan dalam pola pengasuhan orang tua di era digital, seperti tidak maksimal mendampingi anak, serta komunikasi yang menyimpang "

Oleh: drg. Endartini Kusumastuti Pengamat Sosial

BARU-BARU ini telah digelar Seminar Nasional Gender dengan tema "Digital Parenting", menghadirkan pembicara Maulidya Ulfah, dosen Pendidikan Islam Anak Usia Dini di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, sekaligus Wakil Ketua Asosiasi PPIAUD dan PPJ Indonesia. (telisik.id, 2/10/2023).

Maulidya Ulfah menjelaskan masalah yang seringkali didapatkan dalam pola pengasuhan orang tua di era digital, seperti tidak maksimal mendampingi anak, serta komunikasi yang menyimpang. Kepala Pusat Studi Gender dan Anak IAIN Kendari, La Ode Anhusadar mengatakan, dasar kegiatan ini adalah selama ini kita hanya mengenal pola asuh parental control yaitu bagaimana orang tua mengontrol, membimbing, dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya menuju pada proses pendewasaan.

Kondisi perkembangan generasi saat ini butuh upaya ekstra dan kerjasama dengan berbagai pihak. Tak ayal, makin banyak kasus kekerasan pada anak, pelecehan anak, hingga perilaku bullying yang dilakukan anak terhadap temannya. Semuanya terpicu dengan perkembangan teknologi yang tidak terkontrol saat ini.

Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), per 2022, dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia, lebih dari 210 juta di antaranya merupakan pengguna internet. Dengan kata lain, tingkat penetrasi internet di Indonesia adalah sebesar 77,02%. APJII memerinci bahwa 99,16% pengguna internet berasal dari kelompok usia 13-18 tahun; 98,64% usia 19-34 tahun, dan 87,30% usia 35-54 tahun. (apjii.or.id, Juni 2022).

Sebagaimana kita ketahui, Indonesia tengah memasuki era bonus demografi (penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan usia tidak produktif). Terdapat 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk terkategori usia produktif (15-64 tahun). Lebih terperinci lagi, 87,54 juta jiwa masuk kategori usia 15-34 tahun. Dengan besarnya angka tersebut, wajar jika kelompok pemuda disasar sebagai pelaku utama yang akan mendorong sekaligus mendongkrak nilai ekonomi digital pada era digitalisasi.

Meski demikian, ada satu hal yang tidak boleh kita abaikan terkait literasi digital ini, terlebih jika soal capaian cuan. Ketika literasi digital dibarengi dengan tujuan mencari cuan dalam konteks kapitalisme, ini hanya akan menjadikan generasi muda menjadi generasi instan.

Mereka tidak lagi merasa penting menjadi generasi terdidik, alih-alih berpendidikan dan bergelar/titel ketika merasa mampu memperoleh penghasilan tanpa harus bersusah payah mengenyam pendidikan formal. Jika kondisi ini menjadi fenomena, jelas sekali sistem pendidikan akan tergerus dan negara kita akan kehilangan generasi intelektual/pakar.

Solusi Pendidikan Generasi Era Digital

Paradigma sistem pendidikan selama ini juga sudah salah kaprah, yakni mengenyam pendidikan adalah untuk bekerja dan meraih nafkah. Akibatnya, generasi terdidik juga selalu meniatkan untuk memperoleh pekerjaan layak. Gelar strata pendidikan ini sendiri pun disyaratkan untuk menjadi ASN.Dengan  adanya tantangan biaya hidup yang meningkat, tiap orang (laki-laki dan perempuan) akan sibuk berpikir cara memperoleh nominal gaji sebesar-besarnya melalui pekerjaannya. Tidak heran jika sebagian mereka sampai rela terperosok ke dalam lembah haram, seperti terlibat transaksi riba, bahkan korupsi di instansinya.

Baca Juga: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual pada Anak

Digitalisasi dalam paradigma kapitalisme sangat rentan menyibukkan para pemuda untuk sekadar mengejar kepentingan materi hingga melupakan potensi hakiki mereka, yakni potensi intelektual sebagai generasi. Tata kelola yang serba kapitalistik hanya akan membajak potensi berharga pada diri pemuda. Pengarusan ide-ide sekuler dan liberal melalui digitalisasi pun sangat berpotensi mengikis—bahkan menghilangkan—identitas para pemuda muslim. Promosi ide-ide kebebasan dan gaya hidup hedonis begitu mudah kita dapati melalui arus digitalisasi.

Kondisi ini harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh agar memberikan dampak yang signifikan. Karena selama ini, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru menjadi boomerang bagi pendidikan generasi itu sendiri. Kerjasama dari orang tua selaku pendidikan pertama di rumah harus semakin dikuatkan dengan pondasi agama. Pihak sekolah juga wajib memberikan penjagaan terhadap digitalisasi anak didiknya. Dan yang paling utama, negara wajib memberikan tayangan yang mendidik, memfilter berbagai tayangan porno dan kekerasan yang beredar di dunia maya.

Selain membangun pemahaman orang tua  terhadap aspek teknis pendampingan anak di era digital, hal yang paling mendasar pula adalah membentuk kesadaran orang tua agar mendidik anak dengan landasan aqidah agama yang kuat dan kewajiban terikat pada hukum syariat. Sebab perkembangan teknologi adalah sesuatu yang harus dihadapi oleh keluarga saat ini, sehingga butuh ketahanan yang kokoh untuk membentengi keluarga dari berbagai dampak yang ditimbulkan.

Perkembangan teknologi yang berdampak pada keluarga saat ini juga tidak lepas dari kurangnya perhatian negara. Penggunaan gadget pada anak sepenuhnya diberikan pada keputusan orang tua. Padahal negara seharusnya wajib mengatur tentang hal tersebut, sebab dampak negatif yang ditimbulkan meluas pada sejumlah aspek seperti psikologi/mental, komunikasi, kesehatan, budaya, kebiasaan, sampai pada penyimpangan perilaku, kriminalitas, pornografi, kekerasan, dan lain-lain. Seharusnya para intelektual berpikir komprehensif, memandang isu gadget bukan lagi pada ranah personal namun telah menjadi persoalan sosial yang dampaknya semakin memprihatinkan.

Baca Juga: Liberalisasi Pergaulan Akibatkan Penyakit Sifilis Meningkat

Sesungguhnya, digitalisasi adalah produk peradaban yang bersifat universal sebagaimana sebuah alat yang pengaruhnya tergantung dari motif penggunanya. Pengaruh arus digitalisasi sangat ditentukan oleh sistem yang diterapkan oleh negara. Ini karena berbagai kebijakan dan prosedur dalam arus digitalisasi saat ini tidak terlepas dari kebijakan negara.

Dalam tatanan kehidupan kapitalistik yang menempatkan materi sebagai tujuan hidup, digitalisasi akan dipandang sebagai alat untuk mengejar materi semata. Dalam penggunaannya pun diterapkan prinsip kebebasan. Tidak heran jika berbagai perangkat digital hanya digunakan untuk mencari keuntungan dan kesenangan tanpa ada unsur keimanan.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa segala sesuatu harus dipergunakan dengan menghadirkan kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta. Walhasil, digitalisasi juga akan dipandang sebagai karunia Allah Taala untuk mengumpulkan pundi-pundi amal demi meraih rida-Nya. Pemanfaatannya pun akan senantiasa terikat dengan syariat-Nya.

Oleh karenanya, butuh peran negara dengan sistem sahih untuk memastikan arus digitalisasi berjalan tanpa merusak fitrah dan identitas generasi. Sudah saatnya generasi pemuda muslim menyadari hal ini dan segera melepaskan diri dari jebakan digitalisasi yang membajak potensi dan merusak identitas diri mereka, serta terlibat dalam perjuangan menghadirkan sistem Islam kafah. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga