Penjaga Moral Bangsa

M. Najib Husain, telisik indonesia
Minggu, 21 Mei 2023
0 dilihat
Penjaga Moral Bangsa
Dr. H.M. Najib Husain, Dosen UHO Kendari. Foto: Ist.

" Politik identitas dianggap sebagai senjata yang kuat oleh elit politik untuk menurunkan popularitas dan keterpilihan rival politik mereka atau upaya untuk mendapatkan dukungan politik dari publik "

Oleh: Dr. H.M. Najib Husain

Dosen UHO Kendari

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Tenggara melaksanakan kegiatan seminar dalam minggu ini dengan tema: Potensi Kerawanan dalam Tahun Politik 2024  dengan sub tema “Merawat Persatuan Indonesia dan Kerukunan antar Umat Beragama dalam Menghadapi Tahun Politik 2024.”  

Ini langkah baru yang dilakukan oleh MUI di era KH. Mursyidin dan Ketua Komisi Prof Nurdin yang mau berpartisipasi dalam urusan politik, dan seharusnya sudah dilakukan sejak dulu karena politik dan Islam sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dan tidak berjalan sendiri.  

Sebagai moderator saya mengawali kegiatan seminar dengan menyampaikan bahwa Pemilu 2019 dari catatan Bawaslu yang dipetakan berdasarkan pemetaan isu ada 5 yaitu: Politik uang, politik identitas, black campaian melalui media sosial, netralitas ASN, dan profesionalisme penyelenggara pemilu.

Forum ini cukup lengkap menurut saya, karena hadir unsur agama Islam dari MUI, dari kepolisian daerah, dari KPU provinsi melalui zoom meeting dan Bawaslu provinsi (ia biasanya jarang hadir) serta peserta yang dominan dari pemilih pemula yang merupakan basis yang rawan dimobilisasi dalam setiap pemilu.

Walaupun saya melemparkan data tentang 5 sumber masalah dalam pemilu tahun 2019, namun dalam diskusi yang lebih dominan adalah masalah politik identitas dan tidak netralnya penyelenggara pemilu dan pejabat yang berkuasa saat ini.

Hal ini wajar karena kejadian menarik dalam minggu ini, adalah kedua hal tersebut mulai dari video yang terkesan mendukung calon presiden tertentu dan memojokan calon presiden lainnya, serta langkah-langkah Presiden Jokowi yang terlalu masuk dalam persoalan dinamika partai hari ini.  

Politik identitas sendiri tidak lain adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.

Baca Juga: Ketidakmungkinan Empat Poros Koalisi di Pilpres 2024

Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.  

Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan.

Atau bahasa politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas.

Politik identitas dianggap sebagai senjata yang kuat oleh elit politik untuk menurunkan popularitas dan keterpilihan rival politik mereka atau upaya untuk mendapatkan dukungan politik dari publik. Isu etnis dan agama adalah dua hal yang selalu masuk dalam agenda politik identitas para elit di Indonesia.

Terutama kondisi masyarakat Indonesia di mana suasana primordialisme dan sektarianisme masih cukup kuat sehingga sangat mudah untuk memenangkan simpati publik, memicu kemarahan dan sentimen massa dengan menyebarkan isu-isu etnis, agama dan kelompok tertentu.

Selain itu, politik identitas juga berkaitan dengan sentimen kedaerahan dengan menggunakan isu “putra daerah” antara penduduk asli dan penduduk pendatang.  

Dalam seminar tersebut juga tidak lepas juga dari posisi penyelenggara pemilu yang sejak awal kelahirannya sudah diragukan kenetralannya, mulai dari seleksi di timsel sampai pada proses akhir di dewan terhormat.

Sehingga salah seoarang panelis sampai mengatakan bahwa sumber dari kerawanan Pemilu 2024 adalah pemerintah dan penyelanggara pemilu (KPU dan Bawaslu), hanya sayang pernyataan ini tidak mendapatkan balasan argumentasi dari ketua Bawaslu Sultra yang mendengarkan langsung pernyataan tersebut.

Baca Juga: Peace Maker

Jika diberikan argumentasi untuk menolak maka sudah pasti para peserta juga akan puas dan yakin akan kinerja penyelenggara pemilu Sultra kedepan, utamanya Bawaslu yang kadang terlalu akrab dengan KPU.    

Apa yang disampaikan oleh panelis yang mewakili MUI tidak lain sebagai pernyataan yang didasarkan akan tugas MUI sebagai penjaga moral   dalam pelaksanaan pemilu tahun 2024. Masyarakat Indonesia hari ini sangat membutuhkan peran MUI sebagai tempat berkumpul semua ulama dibutuhkan saatnya untuk merespon persoalan umat menjaga kesetuaan aqidah serta moral umat.

Kekuatan MUI berada pada kewengan mengeluarkan fatwa dan bukan hanya fatwa rutinitas saja yang kadang fatwa yang dikeluarkan tidak punya legitimasi dan diikuti oleh masyarakat, saat ini diharapkan MUI peka dengan problem bangsa, diantaranya yang berkaitan dengan korupsi dan pemilu. Untuk itu, MUI diharapkan dapat mengeluarkan fatwa tentang korupsi dan juga fatwa tentang potensi kecurangan pemilu.    

Agar MUI jangan hanya dijadikan sebagai pilihan terakhir untuk penentuan wakil presiden saja, tetapi MUI harus berkontribusi sejak awal dalam tahapan pemilu. Sehingga adanya kecurigaan sejak awal kehadiran MUI bahwa MUI lahir dari sebuah rekayasa pemerintah untuk membatasi peran ormas Islam di tengah masyarakat tidak terbukti.  

Ingat kata-kata ketua MUI pertama. ”Jika diam saat agamamu dihina gantilah bajumu dengan kain kafan” (Buya Hamka). (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Artikel Terkait
Baca Juga