Komitmen akan Kapasitas Manusia

Indarwati Aminuddin, telisik indonesia
Minggu, 09 Februari 2020
0 dilihat
Komitmen akan Kapasitas Manusia
Indarwati Aminuddin Ombudsman telisik.id

" Dari mereka saya tahu bagaimana jalur perdagangan dibuka dan diturunkan dari generasi mereka dan apa motif di balik semua ini. "

Oleh: Indarwati Aminuddin
Ombudsman telisik.id


Ketika melihat tulisan Asmat, Papua di kertas kontrak kerja tahun 2013, saya langsung mencontreng box “SETUJU” tanpa lagi membaca penjelasan apapun di kertas kontrak kerja ini. Kata Asmat sudah cukup menjelaskan semuanya. Ini seperti menjawab mimpi saya yang meluap luap. Setelah balik dari Belanda, saya merasakan transisi emosional, keinginan kuat untuk bekerja lebih dekat dengan masyarakat traditional. 

Dan saya memulainya, menuju Agats (ibukota Asmat) melalui Timika dengan Pelni -karena penerbangan tak tersedia—. Kapal tiba pada hari berikutnya sekitar pukul 3 dinihari. Tak ada kendaraan yang menjemput. Dengan dua koper besar untuk tinggal setahun, saya dibantu Om Max menyusuri sekilometer jalan kayu yang berdetak detak karena bunyi sepatu dan koper. Agats gelap gulita dan sepanjang jalan, bila tak berpapasan dengan orang yang tergesa menuju Pelni, hanya ada bayang bayang rumah panggung kayu dan suara beragam jenis burung dari pohon. Pemberhentian saya adalah hostel kecil dari kayu yang berbau lembab diantara pohon bakau. Saat memasuki kamar yang remang remang, saya merasakan serangan dingin lembab yang timbul akibat suhu Asmat. Di luar kamar ada seseorang yang berteriak dengan nada pilu.  Ahh, welcome to Asmat. 

Minggu pertama dan hingga berbulan bulan berikutnya di Asmat adalah hari dimana saya belajar dan bolak balik mengunjungi pasar,kampung, kantor pemerintah dan sekolah. Saya bertemu sejumlah pedagang yang berasal dari Wakatobi, yang membuka lapak alat alat rumahtangga. Jalur perdagangan terbuka berkat bantuan Pelni. Warga Wakatobi yang berdagang di Asmat pada umumnya datang karena ajakan keluarga mereka yang terlebih dahulu telah berhasil di Asmat. Hidup di daerah terisolir dan traditional lebih membuka komunikasi percakapan langsung yang intens. Dari mereka saya tahu bagaimana jalur perdagangan dibuka dan diturunkan dari generasi mereka dan apa motif di balik semua ini.

Pedagang A (untuk menghormatinya nama tak akan disebutkan) merupakan warga Tomia, Wakatobi yang telah belasan tahun menetap di Agats. Kunjungan pertamanya hanya berbekal uang Rp 1 juta. Di tahun pertama, ia bekerja pada pedagang Bugis, yang memberinya tempat untuk tidur dan memberinya makan. Di tahun kedua, dengan modal kecil ia mulai memesan barang dari Surabaya—berupa peralatan dapur plastik yang harganya terjangkau. Ia membuka lapak kecil dengan sewa murah perbulan. Bertahun tahun kemudian ia menikmati hasilnya. Lapaknya membesar, ia bahkan telah menikah dengan gadis dari Tomia, dan memboyong dua iparnya untuk membuka lapak lainnya.

Mengapa ia tak berdagang di Wakatobi? Yang dikoar koarkan sebagai surga pariwisata bawah laut? Mengapa ia tak memilih Kendari yang tidak sejauh Asmat Papua? Apa yang dilihatnya di  Asmat?

Pertimbangan yang paling mendasar—dan kemungkinan dimiliki oleh kebanyakan pedagang di Wakatobi adalah menyasar sebuah tempat dengan jumlah pesaing lebih sedikit. Wakatobi dan Kendari telah tumbuh dengan pedagang berbagai suku, mendominasi perdagangan dan atau bahkan ada yang memonopoli mata rantai perdagangan dan jasa—pakaian, makanan, kapal, akomodasi--. Ia mengatakan, monopoli di kota kecil membuat pedagang pedagang yang datang belakangan kesulitan untuk bersaing.

Pemegang modal besar bisa menekan harga serendah mungkin, atau mengintervensi pasar sehingga pedagang kecil atau pedagang pemula tak mampu bergerak dan pada akhirnya mati. Ia juga merasakan bahwa pilihan politik, misalnya mendukung partai A atau mendukung pemimpin dari golongan B, akan membawa konsekuensi sosial. Pilihan ia pada periode sebelumnya—calonnya kalah--- membuatnya dijauhi secara perlahan di Tomia, dan ini menyakitkan. Menurutnya, menjadi dewasa dan tua, ternyata seringkali tidak sejalan dengan berpikir dewasa, yang justru banyak membencinya adalah orang dewasa tua yang tidak sejalan dengan pilihan politiknya.

Lainnya, contoh meski Wakatobi di dengungdengungkan sebagai surga bawah laut, banyak orang seusianya (saat itu ia berusia 22 tahun) tak mampu melihat peluang karena keterbatasan mereka mendapatkan informasi cukup, atau keterbatasan ketrampilan mereka di aspek kepariwisataan. “Saya bisa menyelam gaya bebas, tapi untuk jadi penyelam profesional kan butuh ilmu juga,” katanya. Ia melihat tidak semua warga Wakatobi berkesempatan untuk mendapatkan ilmu menyelam profesional.  Apa yang hendak disampaikannya adalah di luar dari komitmen pemerintah yang membuka infrastuktur di Wakatobi, membuka akses informasi, dibutuhkan juga kesabaran untuk meningkatkan kapasitas warga Wakatobi.

Bicara tentang kapasitas warga berarti berbicara tentang berapa anggaran Pemerintah yang dikeluarkan untuk meningkatkan sumberdaya manusia di daerahnya. Di tahun belakangan ini, setelah lama meninggalkan Asmat, saya sering terlibat dalam mereview program Pemerintah dan terkejut melihat besarnya anggaran untuk pembangunan fisik dan infrastruktur dibanding pembangunan sumberdaya manusia. Alasan pemangku program adalah lebih mudah mengukur capaian dari pembangunan fisik dibanding mengukur capaian dari keberhasilan sumberdaya manusia. Presiden Jokowi mendengungkan tahun ini adalah tahun dimana sumberdaya manusia Indonesia harus ditumbuhkan. Tapi ini jalan yang berliku dan terjal tampaknya.

Saya tinggal setahun lebih di Asmat, mempelajari banyak hal dari mereka yang hidup penuh tantangan di sana dan bertemu lebih dari 50 pedagang yang berasal dari luar Asmat. Kota kecil ini menjadi gula bagi para pedagang yang tak melihat daerahnya sebagai gula. Generasi kedua para pedagang ini saya ketahui mengalami peningkatan kesadaran karena orangtua mereka tak ingin anaknya merasakan kepahitan hidup yang sama.

“Saya kirim anak saya sekolah di Surabaya,” kata pedagang A tersebut pekan lalu melalui whatsapp. “Berharap ia lebih pintar dari saya, dan suatu saat kembali Wakatobi atau daerah lain di Sulawesi Tenggara, membangun daerahnya sendiri.” Harapan ia yang penuh emosional menggugah kesadaran saya bahwa sejauh jauhnya seseorang pergi, ia merindukan tempat dimana ikatan sosial telah mengikatnya. Rasanya disaat seperti ini, bukan lagi tantangan yang dicari, melainkan tempat dimana seseorang merasa menjadi bagian dari ‘rumah’ dan ikut membangun rumahnya. (*)
 

Artikel Terkait
Baca Juga