Perjuangan (Bosan) Prabowo Subianto
Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 20 Agustus 2022
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik & Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Gerindra sepakat mengusung Prabowo sebagai Ketua Umum juga Dewan Pembina sekaligus mengusungnya menjadi capres di tahun 2024 "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik & Owner Penerbitan
AKHIRNYA, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Gerindra mengesahkan Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres). Prabowo juga menyatakan menerima permintaan dari kader-kader Partai Gerindra tersebut.
Tak ada yang istimewa dari peristiwa itu, sejak Kongres Luar Biasa (KLB) pada Agustus dua tahun lalu, Gerindra sepakat mengusung Prabowo sebagai Ketua Umum juga Dewan Pembina sekaligus mengusungnya menjadi capres di tahun 2024.
Rapimnas hanya menunggu jawaban Prabowo saja, yang indikasinya menerima dan siap maju kembali sebagai capres 2024. Prabowo menggambarkan dirinya sebagai Pejuang, sederhananya, tak ada kata kalah dan/atau kegagalan, ia akan bangkit kembali dan maju kembali sebagai capres.
Gerindra dan PKB juga resmi mendeklarasikan berkoalisi menuju Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Pasangan koalisi ini hanya tinggal menunggu nama Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang diserahkan kepada Ketua Umum Gerindra dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Pasangan koalisi Gerindra-PKB, penalaran sederhana mudah menerkanya, kemungkinan besar akan mengusung masing-masing Ketua Umum partai tersebut sebagai pasangan capres-cawapres. Jika benar, tidak ada yang istimewa dari paket pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung oleh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya ini.
Pejuang yang Kalah Tiga Kali
Partai-partai politik di Indonesia kecenderungan terbesar terperangkap pada situasi personalisasi. Personalisasi partai ini mengindikasikan kondisi dengan aktor individu politik menjadi lebih utama dibandingkan partai politik atau identitas kolektif lainnya. Ini menunjukkan adanya proses individualisasi yang memengaruhi seluruh proses kerja di dalam partai politik.
Apa dampak dari personalisasi partai? Ketika personalisasi partai terjadi, keadaan yang dihadirkan bahwa pemimpin yang kuat menghasilkan partai yang lemah, sekaligus kondisi yang mengintai adalah memperlemah negara sebagai dampak personalisasi pada partai politik. Kedua dampak ini dalam berbagai riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terjadi di Indonesia.
Namun juga ada catatan lainnya, karena kepemimpinan yang kuat dan figur yang kuat dalam partai, di satu sisi merugikan tetapi disisi lain menguntungkan bagi partai.
Baca Juga: Koalisi Indonesia Bersatu, Koalisi Setengah Hati
Langkah Prabowo menerima keempat kali mandat dari Partai Gerindra hal yang lumrah. Prabowo adalah ikon Gerindra dan juga ditenggarai yang membidani Partai Gerindra.
Prabowo sebelum membidani Partai Gerindra, adalah figur penting pada Partai Golkar. Ia sempat mengikuti konvensi calon presiden tetapi tersingkir dari permainan. Dalam rasionya, ia tak mungkin meraih posisi sentral di Partai Golkar sebagai Ketua Umum. Prabowo memilih keluar dari Golkar, kemudian bergabung ke Partai Gerindra.
Prabowo sudah mengalami tiga kali kekalahan dalam Pilpres. Pilpres 2009, Prabowo sebagai cawapres Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun, pasangan ini kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono.
Kalah sebagai wakil presiden, Prabowo kembali mencoba peruntungan bersama Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional (PAN), namun ia kalah dari pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Tak patah semangat, Prabowo melakukan rematch dengan Jokowi.
Prabowo berpasangan dengan Sandiaga Uno sesama dari Partai Gerindra, yang turut didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PAN, dan Partai Demokrat. Lagi, lagi, lagi, dan lagi, Prabowo kalah. Jokowi dan KH Ma’ruf Amin kembali menang. Hingga pada akhirnya, Prabowo bergabung dalam pemerintahan dan menerima tawaran Jokowi menjadi Menteri Pertahanan (nasional.tempo.co, 9 Agustus 2020).
Prabowo memang sosok pejuang. Langkah ia tak pernah terhenti mencoba memperoleh kekuasaan sebagai presiden. Meski kalah berkali-kali, sebagai pejuang, ia harus terus melakukan perjuangan.
Prabowo boleh membusungkan dada, sebab elektabilitas Prabowo masih dalam kategori tiga besar. Tetapi, elektabilitas ketiga besar saat ini tak ada yang masuk kategori carpes premium sebesar minimal 25 persen. Malah, elektabilitas Prabowo juga menurun jika dibandingkan sebelum Pilpres 2019 lalu.
Prabowo juga merasa tak perlu terlalu risau. Ia sekarang menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Diharapkan dapat mematahkan keraguan banyak orang terhadap sosok dirinya yang tak pernah menjabat dalam bagian eksekutif pemerintahan.
Tetapi, Prabowo melupakan potensi kebosanan dan “jengah”-nya pemilih, bisa saja elektabilitas Prabowo tinggi terdongkrak popularitasnya, tetapi kejengahan pemilih dengan figur 4L (Loe Lagi, Loe Lagi) dan/atau 6L (Lagi-lagi Loe, Loe Lagi-lagi), dapat menghantarkan kembali realitas kegagalan sekian kalinya.
Sosok Prabowo tak bisa diabaikan memberikan dampak elektoral dan efek “ekor jas” yang tinggi bagi Partai Gerindra. Personalisasi partai yang menghasilkan sosok Prabowo sebagai identitas dan/atau image dari partai itu, telah membuat Gerindra mengalami peningkatan perolehan suara dan peringkat, sejak awal berdiri hingga saat ini.
Awal mengikuti Pemilu Legislatif pada tahun 2009, Gerindra dalam posisi kedua dari belakang. Kemudian, melesat tiga besar pada Pemilu Legislatif 2014, selanjutnya Partai Gerindra menempati posisi kedua sebagai peraih suara terbanyak.
Jangan lupakan pula, Partai Gerindra melalui Prabowo telah menempatkan partai baru ini dalam tiga kali Pilpres terlibat sebagai pasangan calon yakni sebagai cawapres meningkat menjadi capres. Bahkan, pada Pemilu Serentak 2019 kemarin, penantang Jokowi sebagai petahana, yang dianggap layak hanya Prabowo Subianto, sehingga terjadilah Pilpres serasa “ring tinju” adanya rematch.
Wajar akhirnya, bentangan sejarah dan penalaran sederhana, Partai Gerindra mengusung kembali Prabowo sebagai capres. Berdasarkan perhitungan elektabilitas, dampak elektoral dan/atau efek “ekor jas,” inilah yang diharapkan diraih dengan lebih besar dan/atau minimal tetap sebagai partai peraih suara kedua.
Soal menang dalam Pilpres, bagi Gerindra, serasa bukan menjadi faktor dominan hitung-hitungan, apalagi dengan menggunakan analogi pejuang. Toh, sejak 2019 Partai Gerindra sudah menerima “legowo” sebuah sindirian. Partai Gerindra akan terus mengusung Prabowo, meski sampai melawan cucu pertama Jokowi yakni Jan Ethes sekalipun.
Personalisasi Partai Menyumbat Fungsi Rekrutmen Politik
Personalisasi yang terjadi pada partai politik utamanya Partai Gerindra telah menghambaat proses regenerasi maupun rekrutmen politik bagi kader partai tersebut. Sebenarnya suara berseberangan telah disuarakan langsung oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra (Fery Joko Yulianto) dengan mengajukan uji materi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 mengenai ambang batas pencalonan presiden.
Ia mengungkapkan presidential threshold telah mengurangi atau membatasi hak konstitusional Pemohon untuk memilih (right to vote) dan untuk dipilih (right to be a candidat) dalam Pilpres.
Pemohon mengajukan dirinya sebagai perseorangan, meski menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Secara tidak langsung, ia juga berharap akan mendapatkan calon alternatif presiden dan wakil presiden, seperti terungkap dipersidangan berdasarkan analisis penulis.
Akhirnya, yang disinyalir akibat personalisasi partai, posisi ketidakjelasan Pemohon sebagai perseorangan dan/atau mewakili partai, maka keputusan itu ditolak dalam Putusan Nomor 66/PUU-XIX-2021.
Mahkamah Konstitusi (MK) melihat realitasnya Pemohon tidak pula menjelaskan sebagai pihak yang mendapat dukungan atau dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden dari Partai Gerindra atau gabungan partai lainnya serta tidak terdapat bukti yang berkenaan dengan syarat pencalonan (Majalah Mahkamah Konstitusi, No. 181 – Maret 2022: 11).
Sebenarnya, “gelombang kecil” upaya penyadaran atas keputusan Partai Gerindra mengusung Prabowo Subianto untuk keempat kali sebagai calon presiden sempat terjadi. Banyak yang berharap secara tidak langsung, sehingga mengapung wacana kepada publik, diskusi Prabowo sebagai “king maker” paket pasangan calon presiden dan wakil presiden dari Gerindra dan Koalisi.
Begitu juga dengan keinginan mengusung calon presiden alternatif Partai Gerindra yakni Sandiaga Uno sempat menguat. Tetapi yang terjadi adalah, Sandiaga Uno malah ramai-ramai diingatkan, “disadarkan,” untuk tak “ngeyel” oleh rekan-rekan elite Partai Gerindra.
Baca Juga: Selamatkan Hak Konstitusional Lewat Data Pemilih
Keputusan Kongres cuma satu Prabowo Subianto sebagai calon presiden, begitu nada-nada mengingatkan rekan Sandiaga Uno. Hal yang juga terungkap Fadli Zon, elite Partai Gerindra ini juga disinyalir berharap Anies Baswedan, sosok Gubernur DKI Jakarta yang diusung oleh partainya sebagai capres.
Berbagai peristiwa ini, turut menimbulkan diskusi public ketika kedua sosok Sandiaga Uno dan Fadli Zon yang tak hadir dengan kedisplinan waktu dalam Rapimnas Partai Gerindra, ditenggarai adanya kekecewaan di internal Partai Gerindra, meski ketidakhadiran keduanya karena tugas negara.
Prabowo Subianto tidaklah salah diajukan kembali sebagai capres. Melihat elektabilitas dirinya yang masih tiga besar. Tetapi yang sangat disayangkan, kerja partai dalam melakukan fungsi rekrutmen politik tetap dibiarkan tersumbat. Memilih kembali Prabowo Subianto sebagai capres, semakin meneguhkan Partai Gerindra sebagai partai personal. Partai bergantung hanya pada seorang individu.
Akhirnya ditenggarai, kehadiran Partai Gerindra hanya untuk memberikan keuntungan bagi individu, pemimpin seorang.
Partai terjebak kepada ambisi, yang dibungkus oleh kharisma pemimpin itu. Sehingga, partai tidak mendasarkan pada ideologi dan program.
Kharisma ini juga yang mendorong partai mengawetkan model kultur patronase dalam tubuh partai, maka terjadinya hubungan patron-klien (Aisyah Putri Budiatri, 2018).
Akibatnya, dianggap lumrah segala keputusan partai diupayakan hanya untuk kepentingan sosok patron semata, yang sebenarnya nyeleneh, partai sebagai institusi tempat lahirnya sosok pemimpin di negara ini, hadir hanya untuk kepentingan seorang. (*)