Hilangnya Esensi Demokrasi
Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 26 Desember 2020
0 dilihat
Efriza, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP). Foto: Ist.
" Memaknai politik an sich sekadar merebut dan mempertahankan kekuasan, tentu saja ini adalah penilaian yang salah. Politik akhirnya bersifat pragmatis. Politik tidak lagi bersifat pendistribusian atas nilai-nilai yang dilakukan oleh lembaga yang memiliki otoritas. "
Oleh: Efriza
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)
RESHUFFLE kabinet yang telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo tidak menimbulkan gejolak di masyarakat dalam sisi waktu. Tetapi reshuffle kali ini menunjukkan kehilangan esensi demokrasi itu sendiri.
Asumsi yang menganggap demokrasi hanya sekadar dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, acap digambarkan sempit dengan indikasi dari terselenggaranya pemilihan umum semata dengan tanpa adanya kekerasan serta berlangsung dalam suasana luber dan jurdil.
Memaknai politik an sich sekadar merebut dan mempertahankan kekuasan, tentu saja ini adalah penilaian yang salah. Politik akhirnya bersifat pragmatis. Politik tidak lagi bersifat pendistribusian atas nilai-nilai yang dilakukan oleh lembaga yang memiliki otoritas.
Nilai-nilai ini adalah komoditas utama yang berusaha didistribusikan oleh lembaga-lembaga negara yang memiliki otoritas dalam bentuk antara lain: pendidikan, penerangan kesehatan, kasih sayang, kejujuran dan keadilan, keagamaan, dan sebagainya.
Nilai yang didistribusikan untuk menjawab ketimpangan, ketidakadilan, ketidakmerataan, meski begitu nilai yang didistribusikan ini adalah pengaturan yang boleh dan tidak boleh. Untuk menghasilkan nilai ini tentunya dibutuhkan perencanaan, perdebatan, konklusi, hingga kesepakatan berupa pemungutan suara sekalipun.
Pemaknaan ini terilustrasikan dalam perdebatan untuk merumuskan kebijakan, keputusan, dan/atau pembuatan perundang-undangan.
Dari perumusan hingga ditetapkannya sebuah keputusan, tentu saja diharapkan munculnya diskusi, perdebatan, perbedaan pendapat hingga pemungutan suara sekalipun.
Makna perumusan nilai ini dikenal dengan proses pembuatan keputusan, proses pembuatan kebijakan, maupun proses pembuatan undang-undang.
Perumusan ini di Indonesia diberikan kepada lembaga legislatif dan eksekutif, secara bersama-sama. Meski DPR memiliki hak membentuk undang-undang, tetapi pembuatan ini membutuhkan keputusan bersama antara legislatif dan eksekutif.
Pemaknaan politik akhirnya tidak lagi, sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Melainkan politik adalah sebuah upaya untuk merumuskan suatu output, hal mana output ini adalah keputusan, kebijakan, dan undang-undang. Dalam proses nilai ini memerlukan lembaga yang memiliki otoritas.
Baca juga: Kejutan Kecil tapi Bermakna di Pemilihan Serentak 2020
Lembaga yang memiliki otoritas tidak sekadar dimaknai adanya lembaga trias politika, melainkan juga menyentuh aspek demokrasi yakni memerlukan orang-orang yang memiliki legitimasi dari rakyat. Legitimasi ini dihasilkan dari pemilihan umum.
Orang-orang yang berkompetisi di ranah demokrasi itu dihasilkan dari partai politik, oleh sebab itu partai politik dianggap sebagai bagian terpenting dari demokrasi. Melalui demokrasi ini terciptalah iklim kompetisi.
Kompetisi ini harus ada di dalam demokrasi, kompetisi ini tak melulu dipersepsikan negatif, tetapi kompetisi ini yang mengisi bagian kosong demokrasi berupa hadirnya pengawasan. Pengawasan ini dilakukan terhadap lembaga eksekutif, sebab eksekutif ini dimaknai sebagai gambaran negara itu sendiri.
Eksekutif ini digambarkan sebagai pemegang kekuasaan politik layaknya dewa janus (Maswadi Rauf, 2001) yang bermuka dua, dua wajah kekuasaan ini digambarkan yakni penindas dan pelindung, penyalahgunaan dan pencipta ketertiban, oleh sebab itu eksekutif perlu diawasi.
Pengawasan terhadap eksekutif ini dilakukan oleh legislatif. Pengawasan ini acap digambarkan sebagai hasil dari kompetisi demokrasi, inilah makna kehadiran dari oposisi. Oposisi ini tentu saja barisan dari partai maupun koalisi partai dari yang kalah di pemilihan umum.
Indonesia dengan pilihan sistem pemerintahan berupa sistem presidensial dan sistem kepartaian yang dipilih adalah sistem multipartai. Tentu saja membutuhkan partai-partai yang akan mengkritisi pemerintah, membutuhkan orang-orang yang akan mengawasi pemerintahan.
Ini umumnya dilakukan oleh barisan orang-orang yang tidak terpilih di pemerintahan, pasangan calon yang tidak memperoleh legitimasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden, partai politik dan/atau koalisi dari pasangan calon yang tidak terpilih untuk memerintah di periode tersebut.
Esensi demokrasi akhirnya hilang. Ketika kritis dianggap sebagai penyakit demokrasi. Ketika suara sumbang, perbedaan, dianggap ancaman bagi jalannya pemerintahan. Inilah yang terjadi dalam benak-benak para pemimpin utamanya di era reformasi.
Mereka membentuk koalisi “gemuk” untuk memerintah, bahkan koalisi semua partai dalam pemerintahan. Akhirnya pemaknaan demokrasi kehilangan maknanya, pilpres tak lagi tergambarkan sebagai pemilihan presiden, melainkan dapat diganti dengan istilah baru, pilprem.
Baca juga: Jangan Jadi Calon Pemimpin Pembohong
Sebuah kata kritik yang kasar tetapi menjelaskan situasi Indonesia di era pemerintah kedua Presiden Jokowi, yakni Pilprem sebuah arti pemilihan presiden beserta menteri, (Hadar N. Gumay, 2020).
Indonesia memang telah mengalami penyakit yang kronis menggerogoti demokrasi itu sendiri, sistem kepartaian yang bersifat multipartai, disederhanakan dengan munculnya koalisi besar hingga dianggap bahwa pemilihan presiden dengan dua pasangan calon adalah baik.
Namun, ketika kompetisi dianggap pengejawantahan sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan, akhirnya yang tersisa adalah perasaan minder, perasaan tak berharga, kehilangan semangat dan terpuruk.
Semestinya mereka yang kalah menyadari bahwa menjadi oposisi, pengawas eksekutif yang bisa menghadirkan tawaran lain yang lebih baik, bukanlah posisi yang buruk, posisi yang tak berharga, posisi yang najis, tetapi sebuah sikap menghargai suara rakyat, memaknai esensi demokrasi.
Reshuffle pertama di periode kedua ini, dengan lengkapnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kalah bergabung dalam kabinet, dapat dikatakan, kita perlu menyampaikan selamat tinggal demokrasi.
Kita memasuki era yang baru, berkompetisi untuk dua pasangan calon, yang akhirnya pasangan yang menang memperoleh legitimasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang kalah adalah pembantu presiden, menteri-menteri yang dipilih langsung oleh rakyat, bukan menteri yang dipilih dari hak prerogatif presiden.
Akhirnya, kita memasuki era di mana proses pembuatan kebijakan, memasuki lorong yang sunyi tanpa perdebatan, semua hanya mengenal lagu setuju dari barisan partai-partai di parlemen.
Akhir kata, apakah kita memasuki era baru, demokrasi tanpa esensi, ya. Tetapi yang pasti, selamat memasuki era baru demokrasi, reshuffle telah menghasilkan nilai budaya baru dari demokrasi di Indonesia.
Persepsi kekhawatiran, persepsi kecemasan, ketakutan, perbedaan akan mengganggu jalannya pemerintahan, telah melegitimasi keputusan presiden untuk menghilangkan esensi demokrasi, dengan asumsi bahwa keputusan ini dianggap benar, terbaik, untuk suatu kata persatuan dan kesatuan di masyarakat, padahal konyol. Akhir kata, selamat datang, demokrasi kekeluargaan! (*)