Pulau Bokori, Suku Bajo dan Sekelumit Persoalannya
Kardin, telisik indonesia
Minggu, 30 Januari 2022
0 dilihat
Pulau Bokori dari ketinggian. Foto: celebes.co
" Pulau cantik yang tak habis puas dipandang dan diselimuti pasir putih serta air laut berwarna hijau kebiruan itu selalu menjadi tujuan wisatawan "
KENDARI, TELISIK.ID - Sabtu pagi, sekira pukul 09.30 Wita, saat air laut di Pulau Bokori Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) masih tenang-tenangnya, tetiba seorang kakek datang menghampiri rombongan kami, ia sering disapa Om Kende.
Dengan berpakaian seadanya, Om Kende memberikan senyuman, seolah mengucap selamat datang ke rombongan kami yang tengah mengadakan gatering di pulau indah tersebut.
Meski nampak tua, Om Kende masih terlihat kuat, pertanda ia adalah seorang pekerja tangguh. Usianya sudah mencapai 80 tahun, itu terlihat dari kerutan di wajah serta banyaknya uban di kepala serta kumis dan janggut yang cukup panjang.
Rupanya Om Kende adalah penghuni asli Pulau Bokori yang telah direlokasi pemerintah provinsi pada tahun 1991 silam, termasuk seluruh kuburan yang ada, tujuannya untuk mewujudkan pulau wisata. Saat ini, ia dan seluruh warga Pulau Bokori tinggal di perkampungan Bajo Indah di Kecamatan Soropia.
Sambil duduk bersila di atas pasir putih, Om Kende bercerita, jika dirinya merupakan lapisan ketiga keturunan Suku Bajo yang menghuni Pulau Bokori sampai di tahun 1991. Masyarakat Suku Bajo kata dia, telah menghuni pulau itu sejak jaman penjajahan Jepang di Nusantara. Ia berkisah, Pulau Bokori awalnya sebagai tempat pelarian masyarakat dari penjajah kala itu.
Pulau cantik yang tak habis puas dipandang dan diselimuti pasir putih serta air laut berwarna hijau kebiruan itu selalu menjadi tujuan wisatawan. Para pelancong akan dimajakan dengan ketenangan dan angin sepoi, deretan pohon kelapa akan menjadi pemandangan pertama saat sampai di pulau itu. Untuk menunjang pariwisata, dibangunlah vila atau cottage oleh Pemprov Sultra. Namun, semua keindahan itu rupanya menyimpan kisah yang jarang diketahui khalayak umum.
Kata Om Kende, Pulau Bokori awalnya hanyalah hutan mangrove, tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Sampai orang-orang Suku Bajo mulai menetap dan tinggal beranak pinak, lama-kelamaan pulau itu menjadi perkampungan kecil para nelayan Suku Bajo. Banyak rumah-rumah panggung dibangun berderet di sepanjang bibir pantai, ada pula dermaga rakyat untuk para nelayan.
Hingga puncaknya, perkampungan itu pernah dihuni mencapai 280 kepala keluarga (KK), sedangkan di tahun 1991 hanya tersisa 125 KK yang bertahan dan menjadi penghuni terakhir yang terpaksa menyetujui program relokasi Pemprov Sultra.
Warga Pulau Bokori sebenarnya enggan meninggalkan tanah leluhur mereka, namun karena adanya program pariwisata Pemprov Sultra saat itu, serta berhembusnya isu abrasi yang akan menenggelamkan Pulau Bokori, terpaksa warga harus pergi juga, bahkan kuburan leluhur pun tak luput dipindahkan dari tanah Bokori.
Parahnya, tidak semua warga Suku Bajo diberi kompensasi atau ganti rugi lahan, termaduk Om Kende sendiri. Hanya sebagian warga saja yang diberi kompensasi untuk pindah ke seberang.
"Kita, namanya orang Bajo, mau tidak mau harus bilang iye. Apa lagi kita bukan orang berpendidikan. Takut juga sama pemerintah saat itu," ujar Om Kende sembari tersenyum.
Sebagai suku laut, tentu dirasa berat oleh orang-orang Bajo untuk meninggalkan lautan yang harus tinggal di daratan. Kebiasaan bercengkarama dengan laut seolah hilang begitu saja.
Belum lagi rumah proyek pemberian pemerintah tidak sekuat yang diharapkan, belum pulih kenangan di Pulau Bokori, rumah pemberian sudah rusak dan harus diganti baru. Nasib yang malang bagi mereka.
"Namanya juga rumah proyek, 1 sampe 2 tahun sudah rusak. Apa boleh buat, harus ganti lagi," ucapnya.
Bokori, dalam bahasa Suku Bajo disebut Bokoi, jika diartikan ke Indonesia berarti "Di Belakang". Memang, pulau yang selalu menjadi tujuan wisatawan itu seakan memunggungi daratan, seperti Kota Kendari dan Kabupaten Konawe.
Tidak sulit untuk mencapai Pulau Bokori, dari Kota Kendari, kamu dapat menggunakan kendaraan roda dua atau empat, hanya kurang lebih sejam, kamu sudah sampai di berbagai penyeberangan menuju Pulau Bokori. Sedangkan naik kapal bodi badang (katinting) hanya menempuh waktu sekira 15 menit saja.
Hanya saja, sejak dulu kala, persoalan air bersih atau air tawar selalu menjadi masalah klasik. Tak ada air tawar di pulau seluas 2,5 hektar itu. Kata Om Kende, sudah tak terhitung masyarakat setempat mencoba menggali sumur untuk mendapat air tawar, namun tak kunjung didapatinya.
Hingga saat ini, pemenuhan air tawar di pulau itu hanya bisa didapat dari daratan. Setiap harinya, ada kapal pengangkut air tawar menggunakan katinting dengan membawa dua tandon masing-masing berisikan 500 liter.
"Sudah sering digali untuk cari air tawar, tapi tidak ada. Karena di bawah pasir ini batu yang menyatu, jadi tidak ada tanah di bawah," ungkap Om Kende.
Kini kata dia, Pulau Bokori tak seluas dulu lagi, bukan karena abrasi, tetapi banyaknya orang yang datang mengambil batu laut dan pasir di sepanjang pulau itu untuk dibawa ke luar pulau sebagai pembangunan jalan dan gedung-gedung.
Bahkan, kata dia, Pulau Bokori saat ini sudah menjadi dua pulau yang dihubungkan oleh jembatan. Padahal dulu, semua hanyalah satu pulau yang tak terpisahkan. Ia pun hanya bisa meratapi tanah leluhurnya itu. Lagian dia sudah tidak tinggal di pulau cantik itu lagi.
Kini, Om Kende tidak kuat melaut lagi seperti waktu muda dulu. Namun sebagai Suku Laut, ia selalu bercengkrama dengan lautan, seluruh aktivitasnya selalu berhubungan dengan laut, seperti saat ini, Om Kende mengolah kulit kerang untuk soufenir para pelancong di tanah leluhurnya.
Dia memantau tanah kelahirannya itu setiap Sabtu dan Minggu, saat para pelancong sedang ramai-ramainya. Tujuannya hanya satu, mengharapkan wisatawan dapat membeli hasil kerajinan kulit kerangnya sebagai buah tangan dari tanahnya. Sembari berharap, agar wisatawan yang datang tidak merusak tanah kelahirannya. (A)