Tema Kesehatan dalam Pusaran Debat Pilpres 2024
Zaenal Abidin, telisik indonesia
Sabtu, 30 Desember 2023
0 dilihat
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015. Foto: Ist.
" Sesuai jadwal KPU debat kelima (pamungkas) Pilpres 2024 akan berlangsung, Ahad, 4 Februari 2024, dengan menampilkan tiga calon presiden, yaitu: Anies Rasyid Baswedan (01), Prabowo Subianto (2), dan Ganjar Pranowo (03). Salah satu tema yang akan diangkat adalah kesehatan "

Oleh: Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015
SESUAI jadwal KPU debat kelima (pamungkas) Pilpres 2024 akan berlangsung, Ahad, 4 Februari 2024, dengan menampilkan tiga calon presiden, yaitu: Anies Rasyid Baswedan (01), Prabowo Subianto (2), dan Ganjar Pranowo (03). Salah satu tema yang akan diangkat adalah kesehatan.
Sehat dan kesehatan seringkali baru diingat dan dibutuhkan ketika kita sakit atau terjadi wabah penyakit yang melanda suatu negeri. Begitu pula tentang gizi, lebih mudah diingat bila banyak warga yang kurang gizi dan malagizi lain.
Karena itu, jangan heran bila sehat sering dipersepsikan sebagai keadaan sakit. Begitu pula dengan gizi yang sering dipersepsikan dengan kondisi malagizi.
Sehat dan Sakit
World Health Organization (WHO) merumuskan bahwa sehat sebagai keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat. Beberapa ahli pun menambahkan sehat spiritual yang merupakan bentuk penghambaan makhluk kepada penciptanya ke dalam ruang lingkup sehat.
Sehat spiritual diimplementasikan dalam bentuk praktik keberagamaan yang taat. Secara sederhana sehat spiritual adalah harmonisnya relasi makhluk dengan Tuhannya, sehingga sifat-sifat ketuhanan diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-harinya.
Sedangkan sakit adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh bermacam-macam keadaan, bisa suatu kelainan, kejadian yang dapat menimbulkan gangguan terhadap susunan jaringan tubuh manusia, fungsi jaringan, maupun fungsi keseluruhan dari anggota tubuh manusia.
Hingga akhir 2022 sektor kesehatan Indonesia mengalami “beban tiga kali lipat” penyakit dan malagizi. Beban tiga kali lipat masalah penyakit dikenal dengan sebutan triple burden disease, meliputi: adanya penyakit Infeksi New Emerging, Re-Emerging seperti Covid 19, penyakit tidak menular (PTM) yang cenderung meningkat setiap tahunnya.
Sedang beban “tiga kali lipat malagizi” yang dikenal dengan sebutan triple burden of malnutrition, meliputi: kekurangan gizi, kelebihan berat badan, dan kekurangan zat gizi mikro.
Selain dua triple burden di atas sebenarnya masih ada triple burden lain, yang bisa merupakan dampak dari dua triple burden di atas, namun dapat juga merupakan penyebabnya. Triple burden yang ketiga ini adalah Kesakitan, Kemiskinan, dan Kebodohan. Jadi sebetulnya Indonesia bukan hanya mengalami dua masalah beban tiga kali lipat, melainkan “tiga beban tiga kali lipat.”
Dan saat juga ini Indonesia masih merupakan negara dengan: Peringkat pertama dunia untuk penyakit Skabies; peringkat kedua dunia untuk penyakit Kusta; peringkat ketiga dunia untuk penyakit TB (tuberkulose).
Tema kesakitan dan malagizi (malnurisi) di atas adalah sektor hilir dari beberapa tema-tema sektor hulu kesehatan yang menjadi tema debat dalam Pilpres 2024 ini. Sektor hulu tersebut seperti: hukum dan HAM, ketahanan nasional, kesejahteraan sosial, ekonomi kerakyatan, pengelolaan keuangan, investasi, kedaulatan pangan, udara dan air bersih, sandang dan papan, penyediaan lapangan kerja, lingkungan hidup dan keberlanjutan ekologis, ruang terbuka hijau tak berbayar, kota dan desa sehat, olahraga, transportasi, pelayanan publik, promotif dan preventif kesehatan, dan sebagainya.
Karena itu kesakitan dan malagizi merupakan sektor hilir atau dampak dari kegagalan pembangunan kesehatan. Sakit dan malagizi merupakan dampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar kesehatan dan tidak adekuatnya pelayanan dasar kesehatan di sektor hulu. Karena itu mestinya yang menjadi prioritas utama pembangunan kesehatan adalah memenuhi kebutuhan dasar kesehatan dan pelayanan dasar kesehatan.
RPJMN Kesehatan
RPJMN 2020-2024 berfungsi sebagai pedoman bagi kementerian/ lembaga dalam menyusun rencana strategis kementerian/lembaga; bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah dengan memperhatikan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam mencapai sasaran nasional yang termuat dalam RPJM Nasional; pedoman Pemerintah dalam menyusun rencana kerja pemerintah; acuan dasar dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan RPJM Nasional. RPJM Nasional juga menjadi acuan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Baca Juga: Sambut Rakernas IDI di Kendari: Satu Sehat untuk Seluruh Rakyat Indonesia
RPJMN Kesehatan 2020-2024 merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program presiden hasil Pemilu 2019-2024 di bidang kesehatan. RPJMN Kesehatan 2020-2024 menjadi semakin urgen diperdebatkan karena adanya pernyataan Menteri Bappenas bahwa, “Sembilan dari sepuluh target pembangunan kesehatan pada era Jokowi terancam gagal”. Hanya satu target pembangunan di bidang kesehatan yang sudah tercapai yakni tingkat obesitas penduduk dewasa yang sudah turun hingga 21,8%. (www.katadata.co.id, 5 Juni 2023).
Dari 10 indikator kesehatan yang dipaparkan Menteri Bappenas: “sembilan di antaranya masih jauh dari target yang harus tercapai pada tahun depan (2024)”. Berikut daftarnya: Pertama, imunisasi dasar lengkap bayi, pada tahun lalu tercapai 63,17?ri target tahun depan sebesar 90%; Kedua, Presentasi stunting balita atau bertubuh pendek sudah tercapai 21,6?ri target bisa turun hingga 14%. Untuk mencapai angka itu, Suharso menyebut setidaknya perlu menurunkan rata-rata 3,8% pada tahun ini dan tahun depan;
Ketiga, persentase wasting balita atau yang bertubuh kurus pada tahun lalu sebesar 7,7?ri target bisa turun hingga 7% tahun depan; Keempat, insiden tuberkulosis sudah turun mencapai 354 per 100 ribu penduduk, tetapi masih jauh dari target tahun depan 297 per 100 ribu; Kelima, eliminasi malaria sudah mencakup 372 kota, tetapi masih belum mencapai target 405 kabupaten atau kota.
Keenam, eliminasi kusta mencakup 403 kabupaten atau kota, dari target di 514 kabupaten atau kota; Ketujuh, angka merokok pada anak tercapai 9,1?ri target turun hingga 8,7%; Kedelapan, fasilitas kesehatan tingkat pertama atau FKTP terakreditasi sudah mencapai 56,4% tetapi masih jauh dari target 100%.
Kesembilan, sebanyak 56,07% puskesmas sudah memiliki tenaga kesehatan sesuai standar, tetapi masih jauh dari target 83% puskesmas; Kesepuluh, tingkat obesitas penduduk dewasa yang sudah turun hingga 21,8%.
Bila apa yang dipaparkan oleh Menteri Bappenas dan dikutip www.katadata.co.id di atas benar adanya dan sampai akhir periode pemerintahan tetap tidak tercapai maka dapat dikatakan bahwa pemerintah gagal mencapai program kesehatan yang telah dicanangkannya. Sebab, hingga paparan Menteri Bappenas disampaikan baru indikator kesepuluh yang tercapai.
Karena itu, target RPJMN Kesehatan perlu diperdebatkan guna mendapatkan jawaban atas pertanyaan berikut: Mengapa program kesehatan Presiden terancam gagal?
Apakah terkait dengan empat hal berikut? (i) pengorganisasian pelayanan kesehatan yang tidak berbasis target RPJMN Kesehatan, (ii) pengorganisasian dan pengalokasian pembiayaan yang tidak tepat sasaran, (iii) mutu pelayanan dan pembiayaan kesehatan yang tidak adekuat, (iv) ataukah terkait dengan penanganan faktor hulu dari kesehatan yang tidak adekuat.
Selanjutnya, apakah RPJMN Kesehatan yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program presiden hasil Pemilu 2019-2024 tersebut masih ingin dilanjutkan pada pemerintahan lima tahun berikutnya? Bila ingin dilanjutkan, strategi apa yang akan ditempuh untuk menyukseskan program kesehatan tersebut?
UU Omnibus Kesehatan
Dokter Mahesa Paranadipa Maikel, M.H, Ketua Koordinasi Judicial Review (JR) Lima Organisasi Profesi Kesehatan dalam diskusi lepasnya dengan penulis menuturkan bahwa, “ketika penyusunan masih dilakukan di Badan Legislatif (BALEG) DPR, publik masih mendapat informasi tentang perjalanan pembahasan RUU yang diakses melalui laman resmi DPR, namun ketika beralih ke pembahasan di Panja Komisi IX, pembahasan menjadi sangat tertutup dan tidak ada informasi apapun terkait pembahasan RUU di laman DPR RI, hingga diputuskan di dalam Rapat Paripurna DPR RI, 11 Juli 2023.”
Lebih lanjut dr. Mahesa mengatakan, “proses lahirnya UU kesehatan ini tidak memenuhi syarat-syarat formil, maka Lima Organisasi Profesi Kesehatan (IDI-PDGI-PPNI-IBI-IAI) mengajukan Uji Formil di Mahkamah Konstitusi. Harapan besarnya tentu MK akan melihat secara nyata cacat formil lahirnya UU ini, meski saat ini MK didera isu-isu yang hangat di tengah masyarakat.”
Di lain pihak, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan sepertinya memaksakan semua pihak untuk menghilangkan eksistensi organisasi profesi dan merubah beberapa sistem kesehatan yang telah matang hanya melalui surat edaran. Padahal secara teori hukum, surat edaran adalah kebijaksanaan yang menggunakan fries ermesson atau diskresi yang menabrak norma-norma pembentukan kebijakan. Kesan politisasi kebijakan di tingkat kementerian sangat kental, dan aura memecah belah profesi kesehatan juga kasat mata. Ungkap dr. Mahesa.
Baca Juga: Urgensi Penilaian Kesehatan Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024
Ke depannya memang dibutuhkan pemimpin negara (Presiden dan Wakil Presiden) yang benar-benar mau dan mampu menjaga nilai-nilai demokrasi dan menghormati nilai-nilai profesionalitas profesi kesehatan. Bukan sebaliknya, melakukan politisasi dunia kesehatan untuk kepentingan pihak-pihak yang akan mencari keuntungan secara materi dari kesehatan. Kapitalisasi dan liberalisasi dunia kesehatan jika tidak dikendalikan oleh pemimpin negara hanya akan merusak keluhuran nilai-nilai kesehatan itu sendiri.
Catatan Akhir
Bila memperhatikan beban tiga kali lipat penyakit dan malagizi di atas maka tampaknya masalah kesehatan negeri ini lebih banyak dibanding yang apa yang tercantum di dalam RPJMN 2020-2024. Namun, kita tetap perlu fokus kepada RPJMN Kesehatan sebab itulah program yang dicanangkan oleh presiden.
Bila sampai pada akhir periode, program tersebut dinyatakan tercapai maka dapat dikatakan bahwa pemerintah sukses mencapai visi, misi dan programnya. Namun, bila target tidak tercapai maka dapat dikatakan bahwa pemerintah gagal melaksanakan visi, misi dan programnya di bidang kesehatan.
Karena itu, kita tentu perlu mengetahui mengapa visi, misi dan programnya tersebut tidak berhasil dicapai. Terlepas dari itu, tentu kita menginginkan ke depannya agar bangsa Indonesia memiliki presiden dan wakil presiden yang memiliki visi kesehatan yang utuh.
Presiden dan wakil presiden yang tidak hanya memahami kesehatan sebagai kesakitan dan malagizi. Melainkan yang memiliki pemahaman bahwa kesehatan adalah suatu sistem kehidupan umat manusia, yang tak terpisahkan dengan sektor kehidupan lain yang boleh jadi merupakan sektor hulu dari kesehatan itu sendiri.
KIta pun membutuhkan presiden dan wakil presiden yang serius melaksanakan visi dan misi kesehatan yang dicanangkannya, sehingga mampu mencegah terjadinya kesakitan dan malagizi bagi rakyat. Presiden dan Wakil Presiden yang dapat membangun asah masyarakat Indonesia untuk hidup sehat.
Dalam membangun asah masyarakat Indonesia tentu saja presiden dan wakil presiden memiliki berbagai keterbatasan dari segi pengetahuan, keterampilan teknis terkait kesehatan, sekalipun telah dibantu oleh menteri dengan sistem birokrasinya. Namun, presiden dan wakil presiden tidak perlu khawatir, sebab bukankan negeri ini telah memiliki banyak kelompok profesional kesehatan.
Kelompok profesional kesehatan ini memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis serta pengalaman praktis yang mumpuni. Dan juga masing-masing kelompok profesional tersebut memiliki organisasi profesi sebagai representasi mereka secara nasional dan internasional, yang usianya boleh jadi usianya seumur dengan negeri ini. Mereka juga selalu memikirkan kesehatan dan cita-cita masa depan bangsanya, Indonesia adil dan makmur.
Karena itu, penulis sangat berharap agar presiden dan wakil presiden mendatang dapat menjadikan para profesional kesehatan ini sebagai mereka mitra kerja dan mitra dialog. Sebagai mitra tentu pandangan keduanya tidak selalu sama, namun bila spiritnya sama untuk kesehatan bangsa tentu perbedaan tersebut dapat dicari jalan keluarnya. Wallahu a'lam bishawab. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS