Kisah Tentang Turunnya Ruh
Makmur Ibnu Hadjar, telisik indonesia
Minggu, 02 Mei 2021
0 dilihat
Makmur Ibnu Hadjar, Komisi Pendidikan MUI Sultra. Foto: Ist.
" Kerjakanlah yang halal dan baik, jangan kerjakan yang haram dan buruk, dan jika kamu ragu jangan bertindak sampai kamu merasa yakin "
Oleh: Makmur Ibnu Hadjar
Komisi Pendidikan MUI Sultra
SANG Sufi dari Turki Hazreti Ibrahim Hakki Eruzumi, melukiskan tentang penciptaan alam semesta dan turunnya ruh individual menjadi benda materi.
Penciptaan alam semesta dimulai dengan perintah Tuhan, Kun –“jadilah”, dengan kata tersebut alam semesta mulai terbentang. Dalam kamus bahasa Arab kata “Kun” terdiri dari dua huruf, yakni “kaf dan nun”.
Kaf mewakili kata kamal atau “kesempurnaan” dan Nun mewakili kata nur atau “cahaya”. Dari situ maka terwujudlah penciptaan dari cahaya yang sempurna. Cahaya yang mendahului alam semesta dan materi, serta segala sesuatu yang wujud.
Segala sesuatu terwujud dan diwadahi darinya kecuali Tuhan. Jadi semacam logosnya bangsa Yunani, yakni pemikiran yang mendahului energy dan zat.
Tuhan menciptakan ruh sebelum benda materi, yakni disebuah alam yang lebih dekat dengan Tuhan. Sejatinya –pada wilayah alam ini, tidak ada tabir antara Sang Khalik dengan ruh. Kita telah mewujud selama satu millenium di dunia yang halus, duduk didekat Sang Khalik, bermandikan cahaya Tuhan, tulis Sufi Syekh Ragip al-Jerrahi.
Tuhan kemudian bertanya “Apakah Aku Tuhan kalian?”. Pertanyaan Tuhan tersebut menjadi akar dari semua suara musik, yang sangat menyentuh hati dan membahagiakan hati. Ruh menjadi mengetahui bahwasanya Tuhan telah menciptakan mereka, dan mereka sangat menikmati kebahagian yang tiada banding berada di dalam kehadirat-Nya.
Baca Juga: Pendidikan Karakter, Berbudaya, Mandiri secara Ekonomi
Tuhan kemudian mengirim ruh individual tersebut ke dunia material, ia pun terbenam ke dalam masing-masing dari empat elemen ciptaan.
Pertama, ia melewati air, dan basah; Kedua, ia melewati tanah dan menjadi lumpur; Ketiga, melewati udara kemudian menjadi tanah liat; Keempat, kemudian ia melewati api lantas menjadi tanah liat yang terpanggang.
Dengan demikian ruh (yang nonmeteri) melewati semua elemen dasar dunia materi (air, tanah, udara dan api), dan selanjutnya ruh tersebut menjadi tersimpan dalam wadah tanah liat-yakni tubuh, maha suci Allah.
Sejalan dengan itu Nurcholish Madjid menulis dalam konteks malam lailatul qadar sebagai berikut; bahwa berlepotannya Nabi dengan lumpur dan basahnya Nabi dengan air sebenarnya adalah suatu peringatan kepada kita bahwa jenjang yang paling tinggi dari pengalaman ruhani, dari mana kita berasal, yaitu dari tanah dan air.
Dalam konteks proses yang dilukiskan di atas, Tuhan juga menyertakan emosi, pikiran dan tenaga (energy), yang juga terbenam dalam empat elemen materi tersebut. Esensinya ruh masih dekat dengan Tuhannya, masih suci seperti awal kejadiannya, cuma telah berada dalam tabir oleh materi-tubuh.
Tuhan terus menerus menaburi rakhmat dan sifat ketuhanan kepada ruh, sehingga setiap individu ruh adalah perantara antara surga dan dunia.
Bulan suci Ramadan hadir, sebagai momen segaligus sarana dimana Allah Subhana Wata’ala meningkatkan kualitas taburan rakhmat kepada hamba-Nya, yang harus direflesikan dalam internalisasi laku, dimana kecendrungan sifat-sifat keilahian, lebih mengatasi kecendrungan material, yang didorong nafs.
Baca Juga: Hikmah Polemik Kamus Sejarah Indonesia
Kecendrungan keilahian harus bisa mengatasi kecendrungan materi, sebagai sifat asli primordialisme manusia. Tuhan memberi kita alat untuk kembali pada tingkat kesadaran primordial, untuk keluar dari belenggu wadah tanah liat. Alat tersebut adalah “akal dan kehendak”.
Tuhan membekali akal kepada manusia untuk bisa membedakan yang benar dan salah, yang haq dan bathil, dan kehendak adalah sarana untuk memberi kita kekuatan untuk menentukan keputusan atas tindakan yang benar serta tindakan yang haq.
Secara faktual konsepnya sederhana, seperti sabda Rasulullah Muhammad SAW; “Kerjakanlah yang halal dan baik, jangan kerjakan yang haram dan buruk, dan jika kamu ragu jangan bertindak sampai kamu merasa yakin.”
Kelihatannya sangat simple, tetapi esensinya dalam pelaksanaan sangatlah berat, karena kehendak selalu terkalahkan oleh nafsu dan ego. Untuk keperluan itulah Allah menfasilitasi manusia dengan bulan Ramadan. Wallahuallam bissawab. (*)