Generasi Z, Pedang Bermata Dua

Hasriati, telisik indonesia
Minggu, 07 Februari 2021
0 dilihat
Generasi Z, Pedang Bermata Dua
Hasriati, S.Pi, Pemerhati Sosial Bekerja di BPS Konawe. Foto: Ist.

" Generasi Z dengan menempati penduduk dominan, tentu menjadi harapan bangsa. Namun mampukah generasi Z mewujudkan kemajuan bangsa? Jangan-jangan akan menjadi beban masyarakat, karena buruknya kualitas generasi. "

Oleh: Hasriati, S.Pi

Pemerhati Sosial Bekerja di BPS Konawe

SAAT ini, penghuni nusantara didominasi oleh generasi Z. Penduduk yang lahir pada kurun tahun 1997 hingga 2012. Disusul setelahnya, generasi milineal yang lahir 1981-1996.  

Generasi Z dengan menempati penduduk dominan, tentu menjadi harapan bangsa. Namun mampukah generasi Z mewujudkan kemajuan bangsa? Jangan-jangan akan menjadi beban masyarakat, karena buruknya kualitas generasi.

Merujuk hasil Sensus Penduduk 2020 yang digelar oleh Badan Pusat Statistik, jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau 27,94 persen dari 270,2 juta jiwa penduduk Indonesia.  

Sementara generasi milineal sebanyak 25,87 persen, sedangkan generasi X (lahir 1965-1980) sebanyak 21,88 persen dan generasi baby boomer (lahir 1946 -1964) hanya 11,56 persen. Apalagi generasi pre-boomer (lahir sebelum 1945), hanya 1,87 persen dan generasi post-gen Z (lahir setelah 2013 ) sebanyak 10,88 persen.

Jika dihitung berdasarkan usia saat ini, generasi Z berusia 8-23 tahun.  Usia ini adalah usia bersekolah di Sekolah Dasar dan Perguruan Tinggi  strata 1.

Generasi Z dan Gadget

Generasi Z merupakan internet feneration. Generasi yang hidup dan dibesarkan pada era digital berkembang pesat. Sebagaimana namanya, generasi ini juga merupakan segmen terbanyak pengguna internet. Menurut BPS, pada tahun 2019 sebelum pandemi, sekitar 44 persen pengguna internet dari kalangan Generasi Z.

Dari sisi kepemilikan gadget menurut Executive Director Nielsen Media, HellenKatherina, kepemilikan gadget generasi Z pada masa pandemi mencapai 86 persen, generasi Z dengan rentang usia 20-24 tahun paling sering menggunakan internet terutama melalui smartphone. Waktu berinternet mereka minimal 4 jam sehari.

Penggunaan terbanyak pada masa pandemi adalah untuk online learning. Urutan kedua adalah untuk bermain games. Lalu ketiga adalah blogging, yang biasanya untuk segmen gen Z yang lebih tua. Lalu, ada job hunting untuk mereka yang baru lulus SMA atau kuliah. Dan kelima adalah akses video konten.  Generasi Z yang berusia 10-15 tahun paling banyak bermain games. (Merdeka.com, 11 November 2020).

Baca juga: Bela Negara bagi Generasi Milenial Lewat Media Sosial

Dampak Gadget bagi Generasi Z  

internet yang ibarat pedang bermata dua, memiliki dua sisi, yaitu sisi positif dan sisi negatif. Namun yang sangat disayangkan, penggunaan internet tidak saja membawa pengaruh kebaikan generasi Z, tetapi juga memberi dampak buruk.

Terlebih di masa pandemi, demi memutus penyebaran COVID-19, pembelajaran jarak jauh menjadi pilihan sistem pembelajaran. Via daring menjadi solusi pertemuan siswa dan guru. Saat pandemi, metode pembelajaran lebih banyak hanya sekadar pemberian tugas terus menerus, sehingga disibukkan dengan mengerjakan tugas-tugas, yang tak sedikit berujung pada stres.

Di samping itu, pembelajaran lebih bersifat teoritis dan sebatas transfer ilmu bukan membentuk pemahaman, menyebabkan pembelajaran menjadi sesuatu yang membosankan.

Karena belajar adalah hal yang membosankan, banyak anak lebih memilih bersenang-senang dengan fitur yang ditawarkan. Gadget yang seharusnya dipakai untuk meraup ilmu malah dipakai untuk game online dan mengkses pornografi.

Dilansir dari sindonews, 24/1/2021, Komisi Perlindungan anak (KPAI) Retno Listiyanti, menyebutkan adanya gangguan kesehatan jiwa, terkait penggunaan gadget yang berlebihan. Gadget masa pandemi, tidak hanya dimanfaatkan untuk PJJ. Namun gadget banyak dimanfaatkan untuk game oline dan mengakses konten porno.

Akibatnya menimbulkan kecanduan.  Rumah sakit jiwa pun menyiapkan ruang khusus untuk pasien kecanduan gadget.

Tidak terbatas hanya kecanduan, melakukan kegiatan unfaedah, namun telah membahayakan dirinya sendiri. Beberapa kasus, anak jika tidak diberikan HP, membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Orang tua pun, kalah dan mengalah terhadap anak dan memberikan gadget.

Bahkan terdapat beberapa anak yang melakukan tindakan yang membahayakan dirinya. Karena dikurung di kamar dan tidak diberi gadget, anak memecahkan kaca  jendela, hingga luka.

Demikian secuil cerita yang mewakili, ketika anak tak diberi gadget. Mengarah menyakiti diri sendiri dan  orang lain.

Lebih jauh lagi, generasi Z yang seolah tak bisa hidup tanpa gadget, mengakses pornografi yang memperlihatkan gambar dan vidio mesum membangkitkan syahwat.  Konten-konten free seks, kekerasan, serba boleh, telah mengajak pada kebebasan bertingkah laku.

Semua itu, akhirnya membentuk pola pikir dan sikap serba bebas. Dampak buruknya berimbas pula kepada masyarakat. Sebagai contoh, kasus perzinahan dan kasus pemerkosaan di kalangan remaja, banyak dilakukan setelah menonton vidio porno.

Baca juga: Kebebasan Berpikir versus Kebebasan Berekspresi

Mengurai Persoalan Generasi Z dan Gadget

Tak sekedar menyalahkan generasi Z.  Munculnya persoalan kecanduan gadget, aktifitas unfaedah, bahkan mengantar kepada kriminal akibat penggunaan gadget, tentu bukan tanpa sebab. Banyak faktor pemicu.

Pertama, sistem pendidikan yang menekankan capaian materi keilmuan dan lapangan kerja semata, menjadikan sistem pendidikan sekedar transfer ilmu dan beban tugas.

Agama tidak dijadikan sebagai landasan hidup. Maka wajar, jika generasi Z tidak memiliki prinsip hidup yang mampu memfilter sisi negatif internet dan efek buruk teknologi. Mungkin generasi bisa saja  produktif secara materi, tetapi lemah secara mental, mudah terpapar kecanduan dan stres.

Kedua, tidak optimalnya edukasi yang diperoleh dari keluarga di tengah arus liberalisme (paham kebebasan).   Minimnya pemahaman keluarga dan   tersibukkan mencari materi, demi bertahan hidup, menjadi penyebab hilangnya fungsi keluarga sebagai pendidik generasi.  

Biaya hidup yang tinggi dan atau gaya hidup yang konsumeristik, menjadikan fokus kepada generasi terabaikan. Pengawasan yang minim membuat anak-anak bebas tak terkendali.

Ketiga, sistem sosial dan media berbasis sekuler-liberalistik. Fenomena gen-Z kecanduan gadget bukan terjadi sendirinya. Namun industri hiburan telah menyuguhkan berbagai macam kesenangan menuju kecanduan. Bisnis industri hiburan, hanya berorientasi profit. Tak peduli barang dan jasa itu haram atau merusak generasi. Media pun minim edukasi bahkan situs-situs porno mudah diakses.

Sangat menyedihkan, saat negara tak bisa berbuat banyak terhadap apa yang menimpa generasi. Padahal, generasi adalah aset bangsa yang seharusnya dijaga demi keberlangsungan negara dan kemajuannya.

Setidaknya keberhasilan mencetak generasi cemerlang dalam Islam dapat diukur dari, pendidikan berasaskan aqidah Islam, dimana pendidikan bertujuan membentuk kepribadian Islam. Standar keberhasilan tidak diukur dari capaian akademik semata, tapi terbentuknya kepribadian dalam diri siswa sehingga melahirkan individu bertakwa.

Selain itu, pendidikan dalam Islam bertujuan untuk melahirkan teknologi atau sumbangsih yang bermanfaat bagi penyelesaian problematika masyarakat. Seperti gadget, teknologi canggih ini akan menghadirkan fitur-fitur yang bermaslahat, bukan malah menciptakan mudharat.

Memang tidak mudah meminimalisir dampak buruk teknologi dalam situasi yang serba bebas saat ini, namun akan berbeda jika terdapat suasana keimanan. Dibutuhkan peran orang tua, masyarakat dan negara saling bersinergi untuk menciptakan teknologi digital yang hanya mendatangkan nilai-nilai positif. (*)

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga