Terus Meningkat, Frekuensi Kejadian Gempa Bumi
Affan Safani Adham, telisik indonesia
Selasa, 21 Juli 2020
0 dilihat
Kemampuan alat deteksi tsunami belum sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Foto: Repro ugm.ac.id
" Peningkatan aktivitas kegempaan ini belum diketahui penyebabnya dan masih terus diteliti oleh pakar terkait aktivitas pergeseran lempeng bumi ini. "
YOGYAKARTA, TELISIK.ID - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Prof Ir Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D, mengatakan, frekuensi kejadian gempa bumi setiap tahun terus semakin meningkat.
Bila sebelum tahun 2016 rata-rata kejadian 4.000-5.000 kali, lalu meningkat 7.000 kali setahun kemudian. Namun, sejak 2018 hingga sekarang meningkat hingga lebih dari 11 ribu kali setiap tahunnya.
"Peningkatan aktivitas kegempaan ini belum diketahui penyebabnya dan masih terus diteliti oleh pakar terkait aktivitas pergeseran lempeng bumi ini," ungkap Dwikorita seperti dilansir www.ugm.ac.id.
Menurutnya, untuk menganalisis ini perlu kajian mendalam. "Apakah ini tren pengulangan atau memang ada peningkatan sehingga perlu dievaluasi dengan dukungan data dengan kerja sama banyak pihak," kata Dwikorita di UGM Yogyakarta.
Peningkatan aktivitas tektonik ini, menurut Dwikorita, bisa saja terpengaruh oleh perubahan iklim dan sebagainya. "Namun begitu, data yang dimiliki oleh BMKG hanya pada kejadian kegempaan sampai pada 200 tahun silam," ungkapnya.
Namun, catatan soal kejadian tahun yang lebih lama tidak dimiliki. "Keterbatasan selama ini memang kita tidak cukup memiliki data history gempa, hanya ada mulai tahun 1800-an, sekitaran 200 tahun yang lalu," imbuhnya.
Peningkatan aktivitas kejadian gempa di tanah air ini sudah dilaporkan Dwikorita ke Presiden.
Baca juga: Kemendagri Wacanakan Perekrutan Banpol PP Menjadi ASN
Salah satu langkah yang dilakukan oleh BMKG adalah meminimalkan risiko bencana akibat gempa bumi dan bencana tsunami. Namun demikian, soal alat deteksi tsunami yang dimiliki BMKG sekarang ini sudah tidak layak pakai lagi. "Karena sudah melampaui batas kemampuan kerja alat yang maksimal hanya 10 tahun. Sekarang sedang proses revitalisasi dan pengembangan," katanya.
Tidak hanya alat yang sudah uzur. Kemampuan alat deteksi tsunami ini juga tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh BMKG.
"Sebab, alat yang ada sekarang ini hanya mendeteksi gempa akibat aktivitas tektonik, namun bila terjadi aktivitas vulkanik seperti kejadian longsor di bawah laut justru tidak terdeteksi," kata Dwikorita.
Dikatakannya, teknologi yang ada sampai hari ini didesain berdasarkan bencana tsunami di Aceh yang diakibatkan kejadian gempa tektonik. "Namun untuk kejadian gempa nontektonik, sistem itu tidak dirancang," jelasnya.
Dikatakannya, kejadian tsunami di Banten beberapa waktu lalu akibat erupsi Gunung Krakatau menjadi pelajaran berharga bagi BMKG untuk memasang alat deteksi tsunami. "Tidak hanya pada kejadian gempa tektonik, namun juga kejadian nontektonik," jelasnya.
Kini, BMKG tengah bekerja sama dengan BPPT, ITB dan beberapa lembaga lainnya dalam mengembangkan peralatan Earthquake Early Warning System atau pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi.
Rencananya, sensor alat deteksi gempa ini dipasang di jalur megatrust. "Sebarannya mengikuti megatrust sekitar 400-an sensor yang diperlukan," papar Dwikorita.
Reporter: Affan Safani Adham
Editor: Haerani Hambali