Kejagung Umumkan 7 Tersangka Kasus Korupsi LPEI Capai Rp 4,7 Triliun
Reporter Jakarta
Rabu, 03 November 2021 / 10:24 am
JAKARTA, TELISIK.ID - Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka atas dugaan menghalangi penyidikan atau memberikan keterangan yang tidak benar terkait kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2013-2019.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, tujuh orang itu menjadi tersangka lantaran diduga merintangi proses penyidikan perkara. Nilai korupsi ditaksir merugikan negara hingga Rp 4,7 triliun.
Menurut Leonard, awalnya mereka yang diperiksa berjumlah 10 orang. Dari 10 orang saksi yang diperiksa, saksi nomor 4 sampai dengan nomor 10 ditetapkan sebagai tersangka.
“Hari ini menetapkan tujuh orang saksi menjadi tersangka atas tindak pidana menghalang-halangi penyidikan atau tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar,” kata Leonard dalam konferensi pers secara daring, Selasa (2/11/2021) malam.
Ketujuh tersangka yaitu IS mantan Direktur Pelaksana UKM dan Asuransi Penjaminan LPEI tahun 2016-2018, NH mantan Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis (ARD) II LPEI tahun 2017-2018, dan EM mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Makassar (LPEI) tahun 2019-2020.
Kemudian, CRGS mantan Relationship Manager Divisi Unit Bisnis tahun 2015-2020 pada LPEI Kanwil Surakarta, AA Deputi Bisnis pada LPEI Kanwil Surakarta tahun 2016-2018, ML mantan Kepala Departemen Bisnis UKMK LPEI, dan RAR Manager Risiko PT BUS Indonesia.
Leonard menjelaskan, tujuh tersangka itu semula merupakan saksi, namun mereka mangkir dua kali berturut-turut. Menurut Kejagung, alasan dari para tersangka tak bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
“Ketujuh tersangka tersebut telah dikeluarkan surat perintah penyidikan Jampidsus dan sudah dikeluarkan surat penetapan tersangka kepada masing-masing tersangka,” jelasnya.
Selanjutnya, demi kepentingan penyidikan lebih lanjut, penyidik langsung menahan mereka selama 20 hari sejak hari ini sampai dengan 21 November 2021 di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta.
Lebih lanjut Leonard mengatakan, bahwa ketidakhadiran tujuh orang tersebut menyulitkan penanganan dan penyelesaian perkara korupsi yang ditangani oleh Satgas Khusus pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung.
"Sehingga menyulitkan penanganan dan penyelesaian penyidikan," ujarnya.
Sebelumnya, Kejagung mengendus LPEI diduga memberikan pembiayaan kepada para debitur tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga membuat peningkatan kredit macet (non performing loan/NPL) pada 2019 sebesar 23,39 persen.
Dalam hal ini, sejumlah perusahaan yang diberikan fasilitas pembiayaan ialah: Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utara, Group Arkha. Kemudian, PT Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera, PT Kemilau Harapan Prima, serta PT Kemilau Kemas Timur.
Baca Juga: Kasus Dugaan Korupsi di BPBD Butur Tinggal Menunggu Waktu
Baca Juga: Kasus Penganiayaan Anak di Baubau Akhirnya Terungkap
“Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun dimana jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN),” ucap Leonard.
Selanjutnya, berdasarkan statement pada laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74?ri RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalah di antaranya disebabkan oleh ke-9 debitur tersebut di atas.
“Lalu, salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT. Jasa Mulia Indonesia, PT. Mulia Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr. S,” katanya.
Namun, Leonard menyampaikan jika pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010.
Akibat hal tersebut, menyebabkan Debitur dalam hal ini Group Wallet yaitu PT. Jasa Mulya Indonesia, PT. Mulya Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp 683.600.000.000, (terdiri dari nilai pokok Rp 576.000.000.000, ditambah denda dan bunga Rp 107.600.000.000).
Atas perbuatan tersebut mereka dijerat dengan pasal 21 atau pasal 22 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (C)
Reporter: M. Risman Amin Boti
Editor: Haerani Hambali