Viral Ribuan Pendamping Desa Diputus Kontrak Kerja Kemendes PDT Gegara Nyaleg, Begini Penjelasannya

Ahmad Jaelani

Reporter

Minggu, 09 Maret 2025  /  10:11 am

Ribuan pendamping desa kehilangan pekerjaan setelah Kemendes PDT memutus kontrak mereka. Foto: Repro Antara.

JAKARTA, TELISIK.ID - Kabar pemutusan kontrak ribuan pendamping desa oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) menjadi perhatian publik.

Sebanyak 1.040 tenaga pendamping profesional (TPP) desa melaporkan kebijakan ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) setelah sebelumnya juga mengadu ke Ombudsman RI.

Mereka menilai pemutusan kontrak ini tidak adil dan berpotensi melanggar hak asasi manusia. Salah satu alasan penghentian kontrak adalah status mereka yang pernah menjadi calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024.

Keputusan ini dianggap sepihak dan menimbulkan keresahan di kalangan pendamping desa. Komnas HAM langsung merespons aduan tersebut dengan menerima laporan para pendamping desa.

Lembaga ini berkomitmen untuk menganalisis dugaan pelanggaran hak asasi dalam kebijakan tersebut.

"Kami baru saja menerima pengaduan dari teman-teman pendamping desa. Yang diadukan ke kami adalah ada dugaan mereka mengalami PHK sepihak oleh Kementerian Desa yang selama ini sudah dikontrak bertahun-tahun sejak UU Desa itu ada," kata Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (9/3/2025).

Anis menegaskan bahwa Komnas HAM akan menindaklanjuti laporan ini sesuai mekanisme yang berlaku. Pihaknya membutuhkan waktu untuk mendalami dan memastikan ada atau tidaknya unsur pelanggaran HAM dalam pemutusan kontrak kerja ini.

Baca Juga: Anggaran Kemendes Disunat Rp 722 Miliar, Honor Pendamping Desa Tak Dibayar Dua Bulan

"Kami tentu akan menindaklanjuti. Secara mekanisme tentu Komnas HAM membutuhkan waktu untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan teman-teman pendamping desa," ujarnya.

Perwakilan pendamping desa, Hendriyatna, mengungkapkan bahwa mereka merasa tidak memahami alasan Kemendes PDT menambahkan klausul baru dalam kontrak kerja mereka.

Klausul tersebut mengharuskan pendamping desa yang pernah mencalonkan diri sebagai caleg untuk mundur dari pekerjaannya.

Menurutnya, kebijakan seperti ini tidak pernah diberlakukan oleh Menteri Desa pada periode sebelumnya. Bahkan, Kementerian Desa sebelumnya tidak melarang pendamping desa yang maju sebagai caleg untuk tetap bekerja.

"Padahal, menurut Hendriyatna, Menteri Desa periode sebelumnya tidak melarang pendamping desa yang hendak nyaleg di Pemilu 2024 untuk mundur dari pekerjaannya," jelasnya.

Hendriyatna juga menyebut bahwa aturan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak pernah mewajibkan pendamping desa yang mencalonkan diri sebagai caleg untuk mengundurkan diri.

Bahkan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga tidak pernah mempermasalahkan status mereka sebagai caleg.

"Kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI juga pernah mengeluarkan surat edaran yang isinya menyatakan bahwa caleg yang berprofesi sebagai TPP tidak diwajibkan mundur atau cuti dari pekerjaannya," ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa tidak pernah ada aduan atau temuan dari Bawaslu yang menyebut pendamping desa yang nyaleg melakukan pelanggaran hukum atau aturan pemilu.

"Bawaslu pun tidak pernah mempersoalkan kami. Tidak pernah ada aduan bahwa caleg yang berasal dari pendamping desa itu melakukan perbuatan melawan hukum atau UU Pemilu," tambahnya.

Namun, kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemendes PDT pada Januari 2025 justru mengubah situasi.

Dalam Surat Perintah Kerja (SPK) terbaru, terdapat lampiran yang mewajibkan pendamping desa menandatangani pernyataan siap diberhentikan jika terbukti pernah mencalonkan diri sebagai caleg.

"Namun, pada Januari 2025, BPSDM Kemendes PDT mengeluarkan Surat Perintah Kerja (SPK) yang di dalamnya terdapat lampiran surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh TPP, dengan narasi siap diberhentikan secara sepihak apabila terbukti pernah mencalonkan diri sebagai caleg," jelasnya.

Baca Juga: Rekrutmen Pendamping Desa 2025 Segera Dibuka, Ini Syarat-Syarat Lengkap Dihonor hingga Rp 4 Juta

Hendriyatna menegaskan bahwa kebijakan ini mencerminkan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Para pendamping desa merasa hak mereka sebagai pekerja dan warga negara telah dirampas.

"Ini sudah merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Kami ini manusia, bukan binatang. Kami ini manusia, bukan barang. Tapi tiba-tiba kami ini dianggap seolah-olah kami itu bukan manusia," katanya dengan tegas.

Ia juga menambahkan bahwa pekerjaan sebagai pendamping desa adalah hak mereka, dan pemutusan sepihak ini mengancam kesejahteraan mereka.

"Itu adalah hak asasi kami untuk bekerja. Hak asasi kami untuk mendapatkan penghasilan yang layak," tutupnya. (C)

Penulis: Ahmad Jaelani

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

TOPICS