Hilangnya Empati Terhadap Guru

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 03 November 2024
0 dilihat
Hilangnya Empati Terhadap Guru
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Saat ini hal langka, pandangan dan sikap yang menempatkan guru layaknya orang tua dari anak-anak kita di sekolah. Sekarang yang terjadi sebaliknya, Guru diawasi layaknya seorang pengajar yang tidak punya ilmu dalam mendidik dan mengajar "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

GURU dihormati dan dianggap pahlawan tanpa tanda jasa. Itu dulu. Sekarang, sepertinya telah luntur rasa menghormati dan menghargai kerja Guru. Perubahan sikap dan pola pikir dari banyak masyarakat seolah menempatkan Guru sekadar pekerja.

Saat ini hal langka, pandangan dan sikap yang menempatkan guru layaknya orang tua dari anak-anak kita di sekolah. Sekarang yang terjadi sebaliknya, Guru diawasi layaknya seorang pengajar yang tidak punya ilmu dalam mendidik dan mengajar.

Seolah kewajaran, ketika kita mendengar guru dikriminalkan gara-gara ia sedang memberikan pendidikan terhadap anak-anak di sekolah. Bahkan, yang terjadi seolah orang tua didik menjadikan guru layaknya “musuh,” ada orang tua yang memberikan “bogem” terhadap guru, lebih horror lagi adanya kasus Guru yang sampai buta mata sebelah kanan permanen akibat diketapel orang tua murid.

Kita tidak mendiskusi siapa yang salah, maupun mendiskusi kasus, sebab manusia ada salah dan juga ada benarnya, begitu juga guru.

Sekolah Kehilangan Kesakralan

Dulu, ketika kita sebagai orang tua memasuki halaman sekolah ada rasa gundah dan juga malu.

Malu karena dipanggil pihak sekolah. Artinya anak kita bermasalah di Sekolah. Di seluruh lingkungan sekolah, saat dulu, yang terlihat adalah anak-anak didik dan guru saja. Di luar pagar sekolah, baru dipenuhi oleh orang-orang tua siswa.

Tetapi perubahan sosial di masyarakat mulai terjadi tepatnya di tahun 2000-an, ketika kasus penculikan terhadap anak marak terjadi. Orang-orang tua murid mulai memasuki area sakral sekolah. Seolah dibenarkan perilaku orang tua murid yang mulai menunggu dari jam awal sekolah hingga jam kepulangan di halaman sekolah.

Kekhawatiran orang tua terhadap anak yang merasuki diri mereka, tanpa sadar nilai sakralnya sekolah hilang. Mulailah terjadi orang tua murid seperti melonggok di kaca-kaca jendela ruang sekolah untuk mengintip proses pembelajaran.

Baca Juga: Anomali Partai Politik, Representasi Politik, dan Kursi Menteri

Tak disadari, orang tua murid mulai terasuki pribadi yang merasa mereka benar dan mereka amat mengetahui proses mendidik dan mengajar. Penilaian pun mulai hadir di pikiran orang tua murid, guru mulai menjadi pergunjingan, sehingga terjadilah penilaian-penilaian terhadap guru, akibatnya adalah perilaku arogan orang tua murid mulai hadir.

Orang tua murid seakan dizinkan layaknya konvensi di masyarakat untuk memberikan penilaian proses belajar dan proses mendidik seorang anak. didik Di sinilah, proses belajar dan mendidik, mulai terintimidasi oleh orang tua murid. Dampaknya adalah guru tidak lagi dianggap orang tua murid. Guru tidak lagi dipercaya mutlak untuk mendidik dan memberikan pengajaran terhadap anak-anak mereka.

Akhirnya Guru menderita berkali-kali lipat, seperti untuk pemenuhan kehidupannnya saja mereka harus mengelola pendapatan dari mengajar yang minim. Kemudian, mereka juga harus was-was jika salah memberikan pemahaman akan pengajaran dan mendidik anak-anak didiknya.

Mereka seolah pekerja saja, yang terima pendapatan perbulan, seakan soal pengajaran dan mendidik menjadi diskusi pro dan kontra. Langka, terdengar orang tua murid akan berkata kami percayakan kepada bapak/ibu guru untuk memberikan pengajaran dan mendidik anak kami.

Seolah wajar hari ini, seorang anak didik mengadukan gurunya ke petinggi sekolah atau orang tua murid. Seolah anak didik bisa sesuka hatinya menilai proses pengajaran dan mendidik dari seorang guru.

Akhirnya, guru kehilangan kepercayaan diri dan identitas, guru tidak lagi dianggap sebagai sosok yang digugu dan ditiru maupun sosok panutan, saat ini, guru menjadi konotasi yang digerutui dan dirusuhi.

Banyak Anak Kehilangan Kemandirian

Sampai hari ini, penulis masih meyakini guru itu memiliki keluhuran cinta, empati, simpati, dan karakter kepribadian yang bernilai tinggi. Anak-anak penulis realitasnya, bukan saja bisa membaca dan menulis karena guru, tetapi kosa kata yang keluar dari mulut anak karena cadel pun hilang.

Bahkan, kepribadian anak-anak penulis yang demokratis, santun, baik, tak bisa dilepaskan dari seorang guru yang memberikan pengajaran dan mendidik. Rasanya sulit mengungkapkan kata apa yang tepat, kata terima kasih seolah tak cukup.

Semestinya, identitas sekolah kembali lagi steriil.

Sebaiknya, tidak perlu orang tua murid terlalu mengusik wilayah pengajaran dan mendidik. Kehadiran orang tua murid di sekolah, karena kekhawatiran penculik, hal lumrah. Tetapi, jangan sampai merecoki proses belajar dan mendidik. Mari kita kembali mempercayai pendidik sebagai orang tua bagi anak-anak kita, sebab nilai-nilai semestinya tidak boleh hilang.

Baca Juga: Beberapa Drama Pendaftaran Pasangan Calon di Pilkada

Kemajuan teknologi, kehadiran perkembangan berita-berita yang begitu cepat, sebaiknya tidak membuat kita sebagai orang tua murid merasa kita lebih paham, lebih pintar, bahkan bisa memberikan penilaian terhadap guru dalam proses mengajar dan mendidik.

Bukan artinya seorang guru tidak pernah salah. Tetapi agar sikap kita menghargai dan menghormati seorang guru, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, guru adalah sosok orang tua bagi anak-anak kita di sekolah. Jika bukan kita sebagai orang tuanya yang mempercayai guru, siapa lagi, dan untuk apa kita sebagai orang tua menyekolahkan anak kita jika kita terlalu khawatir terhadap guru.

Lebih baik menghargai proses belajar dan mendidik dari seorang guru. Ketimbang kita bersemangat diakhir ketika bagi raport kenaikan kelas, ramai-ramai orang tua murid memberikan hadiah dan/atau kado terhadap guru, yang pada dasarnya sikap kita terhadap guru adalah menggerutu dan merecoki proses belajar dan mendidik.

Kemandirian seorang anak juga akan hadir, jika kita mempercayai kembali guru sebagai orang tua anak-anak kita di sekolah. Jangan biarkan rasa khawatir kita menyebabkan anak-anak kita tidak mandiri dalam kehidupan. Area sekolah yang telah “diduduki” oleh orang tua murid pada dasarnya membuat anak berperilaku manja.

Bahkan anak didik saat ini, banyak yang kehilangan rasa kebersamaan, identitas sosial, bahkan kesenangan bermain bersama. Lebih parah lagi, banyak ditemukan anak didik yang sulit membedakan antara becanda dan bully, jangan sampai kita sebagai orang tua murid membuat keadaan saat ini tidak seasyik dulu. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Kelapa

Kelapa

Kolumnis Minggu, 29 Maret 2020
Baca Juga