Sarjana UGM ini Memilih Jadi Petani
Affan Safani Adham, telisik indonesia
Minggu, 21 Juni 2020
0 dilihat
Meski sudah mengantongi gelar sarjana, Michael Raffy Sujono memilih jadi petani. Foto: Ist.
" Tujuh bulan lalu aku lulus dari Fisipol UGM. Januari lalu, akhirnya aku pulang kampung, dan bulan Maret aku mulai ambil cangkul dan pergi ke kebun. Sedikit cerita tentang memilih jalan seorang petani!. "
YOGYAKARTA, TELISIK.ID - Sebuah unggahan yang menceritakan kisah seorang alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) viral di media sosial Twitter.
Dalam unggahannya, akun @tanikelana menceritakan pilihannya menjadi seorang petani setelah lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM Yogyakarta.
"Tujuh bulan lalu aku lulus dari Fisipol UGM. Januari lalu, akhirnya aku pulang kampung, dan bulan Maret aku mulai ambil cangkul dan pergi ke kebun. Sedikit cerita tentang memilih jalan seorang petani!" demikian tulis @tanikelana.
Pemilik akun @tanikelana adalah Michael Raffy Sujono, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UGM Yogyakarta.
Di usianya yang masih muda, Michael Raffy Sujono (22), yang akrab disapa Dipa, memutuskan untuk menjadi seorang petani di Sukabumi, Jawa Barat.
Sewaktu kuliah, ia sempat berada di Komunitas Sekolah Tani Muda. Sebuah wadah belajar bersama tentang pertanian alami. Di tempat ini belajar tentang tanaman, cara membuat pupuk dan pestisida nabati. Hingga belajar langsung dengan para petani.
Setelah banyak ketemu dengan para petani, ia akhirnya belajar menanam di kos. Jiwa bertaninya yang dipupuk sejak kecil makin menjadi. "Aku makin yakin cita-citaku adalah jadi seorang petani," tandasnya.
Setelah lulus dari Hubungan Internasional (HI) UGM Yogyakarta pada November 2019 lalu, ia memilih untuk pulang ke kampung halaman di Sukabumi. Dan mulai mencangkul di sawah pada Maret 2020 lalu.
Baca juga: Benteng Tawulagi, Bukti Kabaena Pusat Kerajaan Moronene
Di rumah ia mencoba mendiskusikan keinginannya untuk menjadi seorang petani bersama keluarganya. Respon keluarganya sangat positif: mendukung apa yang dicita-citakannya.
Tapi setelah lulus kuliah ia sempat melamar beberapa pekerjaan. Awalnya ada rencana kerja 2-3 tahun, tapi akhirnya memilih bertani. Ia pun kukuh dengan keputusannya untuk menjadi seorang petani.
Alasannya bertani karena ia sangat khawatir adanya krisis iklim sekarang ini. Selain itu ia menyukai dunia pertanian sejak sekolah di SMA. Awalnya ia sempat bingung bagaimana untuk memulai menjadi seorang petani. Meski tidak memiliki ilmu tentang pertanian, perlahan dengan pasti ia mempelajarinya.
Ia sempat pinjam uang dari orangtuanya untuk modal beli benih, pupuk, dan alat spryer ketika mengawali menjadi petani pada Maret 2020. Waktu itu ia belum memiliki lahan sendiri.
Dengan bertani ia belajar tentang banyak hal. Satu di antaranya adalah belajar pentingnya sabar dan tekun.
Petani muda di desanya yang sedang menggarap lahan ditemuinya untuk menimba ilmu. Dan ia lantas diajak untuk menggarap lahan kosong seluas 450 meter. Akhirnya ia menanam sayur bayam dan kangkung.
Selama bertani ia pernah mengalami kegagalan. Akhirnya ia belajar budidaya pertanian. "Belajar lebih memaknai kalau manusia ini sangat bergantung alam," kata Raffy, yang sempat bergabung dengan Sekolah Tani Muda di akhir masa kuliahnya.
Baca juga: Pemkot Kembangkan Bungkutoko Menjadi Kampung Kerang
Dari komunitas itu, ia banyak belajar kepada para petani dan praktisi mengenai cara menanam dan membuat pupuk.
Akhirnya, proses penggarapan lahan di samping jalan itu ia lakukan sendiri selama sebulan. Mulai dari mencangkul, menabur benih, merawat, memanen hingga menjualnya ke tukang sayur. Hasil dari penjualan sayur itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Dan sebagian hasilnya untuk membeli pupuk dan benih.
Sejak jadi petani selama empat bulan hidupnya lebih tenang dan bahagia. "Hidup tidak hanya sekadar untuk mengumpulkan, tetapi juga bisa terus berbagi lewat hasil tani," ungkapnya.
Baginya, menjadi seorang petani tidak harus kaya atau harus memiliki lahan luas. "Lebih mudah jika dilakukan secara bersama," tandasnya.
Belajar bersama, sewa lahan bareng-bareng, dan bagi tugas dari budidaya sampai ke distribusi hasilnya.
Salah satu permasalahan dari pertanian bukan hanya masalah tradisional regenerasi para petani itu sendiri. Namun juga permasalahan mengenai akses terhadap pengetahuan yang terbatas oleh kelompok tertentu.
Dalam kasus pertanian saat ini, katanya, kita sudah banyak kehilangan benih lokal yang kita miliki, sekitar 80 persen benih lokal sudah hilang. Selain itu, banyak lahan-lahan yang sangat rusak akibat perubahan lingkungan khususnya di musim kering saat ini.
"Pertanian kita sudah jauh tertinggal dengan negara-negara lainnya," jelas Raffy, yang menambahkan, pertanian kita sebenarnya telah tertinggal kurang lebih empat dekade.
Reporter: Affan Safani Adham
Editor: Haerani Hambali