Apa Pentingnya Pilkada di Masa Pandemi COVID-19 Ketimbang Kesehatan Masyarakat
Siswanto Azis, telisik indonesia
Senin, 28 September 2020
0 dilihat
Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia Sultra, Hidayatullah. Foto: Ist.
" Cek saja di rumah sakit kalau tak percaya ada di ruang isolasi bagi yang positif COVID-19 dan di perkuburan massal untuk kematian akibat COVID-19. Lalu Pilkada, apa yang penting?. "
KENDARI, TELISIK.ID - Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sultra, mengingatkan penyelenggara pemilu dan pemerintah bahwa keputusan menunda Pilkada serentak 2020 bukan sebuah kegagalan demokrasi.
Presidium JaDI, Hidayatullah mengatakan, opsi penundaan perlu dipertimbangkan serius. Sebab persiapan Pilkada saat ini tidak bisa mengimbangi perkembangan jumlah kasus positif COVID-19 yang ribuan penambahannya dalam perhari di seluruh Indonesia.
"Saya merasa aneh saja karena permintaan tunda Pilkada 2020 bukan soal pengandaian tapi fakta wabah COVID-19 ini mematikan," ungkapnya.
Sementara pemerintah, legislatif dan KPU bersikukuh melanjutkan Pilkada dengan menggunakan diksi pengandaian bahwa COVID-19 belum jelas kapan berakhirnya. Menjadi tidak akademis dan tidak sesuai dengan jawaban asal seperi ini.
Berdasarkan rilis yang di keluarkan oleh Satuan Tugas COVID-19 tentang pandemi COVID-19 yang penderitanya terus bertambah dengan jumlah ribuan tiap harinya, adalah rangkaian data dan fakta. Tidak ditulis pun, data dan fakta itu tetap sama, ada yang sakit dan ada yang sakit berakibat mati.
"Cek saja di rumah sakit kalau tak percaya ada di ruang isolasi bagi yang positif COVID-19 dan di perkuburan massal untuk kematian akibat COVID-19. Lalu Pilkada, apa yang penting?" kesalnya.
Menurut Mantan Ketua KPU Sulawesi Tenggara ini, tidak ada yang penting dalam Pilkada ini. Hajatan ini biasa saja, bukan bagian dari rezim Pemilu dan apalagi tanpa libur nasional, yang menjadi kesan luar biasa karena diserentakkan di hari yang sama.
Baca juga: Kampanye, Pasangan HATI Program Kesehatan dan Transportasi Murah
"Dulu Pilkada ini tidak seheboh sekarang, karena dulu hanya dimensi lokalitas lima tahunan saja di masing-masing daerah. Suasananya sama dengan peringatan HUT masing-masing daerah. Hanya psikologi sosial terkait jabatan kepala daerah yang menonjol. Itu pun hanya kebanggan kecil di keluarga dan sekelumit tim sukses," tambah Hidayatullah.
Lalu, kalau benar tidak penting, kenapa tidak ditunda saja agar lebih fokus dan prioritas di penanganan pengendalian wabah COVID-19 baik kesehatan maupun stimulus ekonomi rakyat yang mulai terpuruk.
"Kalau pun ditunda di 2021, bagi kepala daerah yang berakhir masa jabatannya diisi oleh Plt bupati, Plt wali kota, Plt gubernur. Apa masalahnya dengan posisi Plt karena memang kelaziman pemerintahan daerah sudah terukur dan diatur tertata rapi," jelasnya.
Kalau alasan bahwa Plt itu adalah orang-orang pemerintahan pusat yang kendalikan? Lalu apakah kepala daerah definitif bukan pula perwakilan pemerintahan pusat di daerah yang mereka juga disuapi dari pemerintah pusat.
"Jadi tidak ada yang darurat di 270 daerah kalau hanya sekedar alasan tetek bengek posisi Plt," ungkap Hidayatullah.
Ia menjelaskan, jika yang darurat itu adalah pandemi COVID-19 yang tiap hari menanjak dan sudah lebih 10 ribu orang yang meninggal hingga 26 September 2020, ini fakta bencana dan kedaruratan yang sesungguhnya.
"Saya mau sampaikan, jabatan yang darurat dan bencana itu hanya jabatan presiden. Kalau ini runtuh maka bencana bagi rakyat dan bangsa karena melahirkan krisis politik dan pemerintahan. Lalu apa lagi yang penting,?" tuturnya.
Baca juga: Di-bully Gegara Dukung Rusman, Baharuddin: Bukti Kepanikan
Perlu diingat bahwa Pilkada tidak mengenal jangka waktu tetap (fixed term). Pemerintahan daerah bukan cabang pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan pusat tetap dalam sistem integralistik. Kita bukan negara Uni apalagi bentuk federal dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang punya hak veto.
"Kita memang otonomi daerah tetapi dalam bingkai keutuhan NKRI dengan bentuk republik. Sehingga untuk daerah dalam menyusun regulasi saja seperti rancangan peraturan daerah, dikonsultasikan dan diperiksa dulu oleh pemerintah pusat, tidak terkecuali termasuk anggaran," ujarnya.
Berkaitan dengan anggaran, anggaran apa kepunyaan daerah? Paling yang ada sedikit berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Memang berapa sih pendapatan dari PAD itu? Itu pun bukan berada dalam kewenangan anggaran asal (dari daerah), tetapi lebih berupa sisa kewenangan anggaran pemberian (dari pusat).
Kepala daerah tidak punya kewenangan guna menggunakan pendapatan asli daerah bagi sebesar-besarnya kepentingan warga daerah tersebut. Mayoritas daerah kita khususnya di Sulawesi Tenggara bersandar dari anggaran pusat.
"Jadi sudah menjadi sesuatu yang lumrah bagi saya kalau ada kepala daerah ikut terjangkit COVID-19, ketika melayani orang-orang pusat atau begitu banyak ke Jakarta mengurus anggaran dan kebijakan-kebijakan. Bahkan banyak kepala daerah dan pejabat-pejabat OPD berangkat perjalanan dinas ke Jakarta dan berhari-hari bahkan berlama-lama ke Jakarta hanya untuk bertemu orang-orang di pemerintahan pusat, akhirnya berakibat rakyat di daerahnya terlantar berhari-hari," tuturnya.
Belum lagi kalau kepala daerah tersebut maju lagi sebagai petahana di Pilkada 2020. Maka dipusingkan dengan urusan bolak-balik soal rekomendasi dukungan DPP Parpol. DPP Parpol ada di Jakarta karena pemilik partai adalah DPP, di daerah hanya membantu DPP. Jadi bertambah dua kali lipat ketidakfokusan mengurus penanggulangan wabah COVID-19 di daerah masing-masing. Akhirnya apa? Protokol kesehatan COVID-19 goyah, ketika pimpinan daerah sedang mencari tiket partai di pusat kekuasaan.
"Jadi apanya yang penting dengan Pilkada 2020 ini ketimbang mendahulukan kesehatan masyarakat dan dampaknya dari wabah COVID-19 yang mematikan.
Reporter: Siswanto Azis
Editor: Haerani Hambali