Bahayakan Rakyat, UU Cipta Kerja Hukumnya Haram dalam Islam
Fitrah Nugraha, telisik indonesia
Rabu, 07 Oktober 2020
0 dilihat
Mudir Ma'had Al Abqary, KH Yasin Muthohar. Foto: Ist.
" Undang-Undang Cipta Kerja itu hukumnya jelas haram. Dan mereka akan diancam dengan murka Allah SWT. "
KENDARI, TELISIK.ID - RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan DPR menjadi Undang-Undang (UU) hukumnya haram dalam Islam.
Mudir Ma'had Al Abqary, KH Yasin Muthohar mengungkapkan, Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain di dalam Islam.
"Perkara yang mengandung bahaya itu hukumnya haram. Maka hukum asal perkara yang membahayakan adalah haram," katanya dalam video yang berjudul Keputusan yang Dimurkai oleh Allah, di-posting melalui akun Instagramnya, pada Selasa (6/10/2020) kemarin.
Katanya, para ulama menyebutkan, perkara yang mengandung bahaya, baik perbuatan atau benda yang mengandung bahaya, itu wajib dihilangkan.
"Seharusnya anggota dewan yang terhormat, mereka memberikan manfaat, memberikan maslahat dalam menetapkan atau mengesahkan Undang-Undang yang akan membawa maslahat bagi rakyat banyak," tambahnya.
Namun saat ini, lanjut dia, mereka telah mengesahkan Undang-Undang yang akan membahayakan kehidupan masyarakat dan menyulitkan para buruh.
"Undang-Undang Cipta Kerja itu hukumnya jelas haram. Dan mereka akan diancam dengan murka Allah SWT," jelasnya.
Untuk diketahui, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menemukan delapan poin dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang dinilai berpotensi mengancam hak-hak buruh.
Delapan poin itu ditemukan berdasarkan hasil kajian FBLP setelah UU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna di DPR, Senin (5/10/2020).
Baca juga: Omnibus Law UU Cipta Kerja Untungkan China
Delapan poin yang mendapat sorotan dalam UU Cipta Kerja, yakni:
1. Masifnya kerja kontrak
Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.
Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Sementara itu, pelanggaran penerapan kerja kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah.
Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.
2. Outsourcing pada semua jenis pekerjaan
Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.
Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak buruh.
3. Jam lembur yang semakin eksploitatif
Pada Pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.
Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
4. Menghapus hak istirahat dan cuti
Berdasarkan Pasal 79, hak istirahat selama dua hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus.
Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.
Baca juga: AJI: Omnibus Law Rugikan Pekerja dan Mengancam Demokratisasi Penyiaran
5. Gubernur tak wajib menetapkan upah minimum kabupaten/kota
Berdasarkan Pasal 88C UU, disebutkan bahwa gubernur “dapat” menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK.
Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “jaring pengaman sosial” terancam.
Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan semakin kokohnya cengkeraman mekanisme pasar dalam penentuan upah.
6. Peran negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi
Sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh.
Hal ini, kendati sering dilanggar, penting guna memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK.
Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan ini.
7. Berkurangnya hak pesangon
Berkurangnya hak itu karena penggabungan atau pengambilalihan perusahaan, perusahaan tutup, sakit berkepanjangan dan meninggal dunia.
Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan berhak atas pesangon sebanyak dua kali lipat dari perhitungan berdasarkan masa kerja, kini dihapus UU Cipta Kerja.
8. Perusahaan makin mudah melakukan PHK sepihak
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang mangkir atau melanggar peraturan perusahaan diatur syarat yang cukup ketat.
Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak obyektif.
Hal ini juga membuat pengurus dan anggota serikat buruh sangat potensial untuk mengalami PHK sepihak oleh perusahaan. (C)
Reporter: Fitrah Nugraha
Editor: Kardin