Polemik Parliamentary Threshold

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 10 Maret 2024
0 dilihat
Polemik Parliamentary Threshold
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Ambang batas parlemen selalu menjadi perdebatan menarik sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan sesudahnya "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

LANGKAH terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT), tentu saja akan menghadirkan perdebatan baru.  

Ambang batas parlemen selalu menjadi perdebatan menarik sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan sesudahnya.

Misalnya, sebelum Undang-Undang Pemilu tidak jadi direvisi, sempat terjadi tiga perdebatan panas di parlemen, ada tiga opsi yang diusulkan partai-partai politik di parlemen ketika itu. Tulisan ini ingin membahas mengenai Ambang Batas Parlemen pasca Pemilu 2024 ini.

Perdebatan PT Sebelum Pemilu 2024

Untuk Pemilu 2024 ini, sebelum diambil keputusan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih tak melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu, sempat terungkap tiga kekuatan besar dengan tiga opsi dalam pertarungan partai politik merumuskan mengenai ambang batas parlemen.  

Tiga opsi itu adalah: pertama, tiga partai politik yakni Golkar Partai Kebangkitan Bangsa dan Nasdem yang menginginkan PT naik menjadi 7 persen dan berlaku secara nasional. Kedua, tiga partai seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menginginkan PT naik menjadi 5 persen.

Dan, ketiga, yang menginginkan PT tetap 4 persen (Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jika dipilih opsi 7 persen dalam simulasi itu menjelaskan hanya akan menyisakan tujuh partai yang saat ini ada di parlemen dengan terlemparnya dua partai politik yakni PAN dan PPP.

Sedangkan jika, dipilih opsi PT sebesar 5 persen, artinya tersisa 8 partai politik dengan tersingkirnya PPP, jika mengacu pada simulasi. Sedangkan jika 4 persen, tampak sekali tetap 9 partai politik parlemen yang diperkirakan masuk kembali. Simulasi ini dengan mengacu pada hasil perolehan persentase dari suara partai-partai politik yang lolos PT.

Polemik Ambang Batas Parlemen (PT)

MK dalam Putusan Perkara Nomor 116/PUU-XXXi/2203 menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait penghapusan ambang batas parlemen dapat berlaku pada Pemilu 2029 mendatang, bukan pada Pemilu 2024 yang sedang berlangsung.

Putusan Ambang Batas Parlemen sebenarnya hal yang baik. Hanya saja, konsekuensinya adalah partai kita tetap sebagai sistem multipartai ekstrem. Negara Indonesia akan semakin sulit untuk menuju kepada sistem kepartaian multipartai sederhana.

Baca Juga: Dinamika Koalisi Pasca Pemilu

Partai-partai politik kecil tentu jika dihapuskan akan menyambut suka cita, dan bersorak-sorai. Hanya saja, yang terjadi malah menghadirkan proses pengambilan keputusan yang lebih rumit. Padahal ambang batas parlemen sudah ajeg digunakan empat kali pemilu sejak, dan tentu saja tidak baik bagi kestabilan pemerintahan ke depannya.

Konsekuensinya partai-partai kecil dibawah 4 persen bisa lolos di Senayan. Ini artinya proses di parlemen dalam pengambilan keputusan akan semakin berlarut-larut. Partai-partai kecil itu akan juga kemungkinan besarnya menikmati kursi di kementerian, sebagai upaya pemerintah mengajak partai-partai kecil ini bergabung di pemerintahan agar kekuatan pendukung pemerintah bertambah.  

Tetapi sayangnya di parlemen, diprediksi karena jumlahnya anggotanya kecil maka suaranya dapat dipastikan tidak punya kontribusi nyata, kecuali sekadar meramaikan ruang rapat DPR semata. Itulah awal mulanya, menghadirkan ambang batas parlemen, agar Parlemen lebih nyata perjuangan dan kontribusi partai-partai politik yang lolos di parlemen dengan kekuatan yang minimal seimbang.

Namun, jika ambang batas akhirnya dihilangkan, kita kembali kepada fakta bahwa menunjukkan proses pengambilan keputusan akan berlarut-larut di parlemen. Turut serta memberikan dampak terhadap proses perundang-undangan yang diprediksi malah semakin merosot dari segi kualitas dan kuantitas.

Diyakini akan turut pula menghadirkan politik bagi-bagi kekuasaan. Dengan kondisi miris, bahwa suara dari partai-partai kecil di parlemen tidak banyak terdengar, juga tidak akan berpengaruh banyak, tetapi partai-partai ini mendapatkan kursi di kabinet.

Ini sebenarnya menunjukkan penataan kepolitikan kita mundur ke belakang, sebab semua hal yang disebutkan negatif tadi diatas adalah konsekuensi dari saat itu tidak diterapkan ambang batas parlemen.

Meski harus diakui bahwa memang benar ambang batas parlemen banyak membuang suara rakyat dalam memilih calon anggota legislatif (caleg). Tetapi rakyat mulai cerdas, buktinya, dua Periode Pemilu kemarin partai-partai baru tidak dapat lolos ambang batas parlemen di Senayan.

Juga terjadinya penyusutan jumlah partai di Senayan mulai sejak 2014 dari berjumlah 10 partai politik memperoleh parliamentary threshold, kemudian ambang batas naik pada Pemilu 2019 dari 3,5 persen menjadi 4 persen menyebabkan hanya 9 partai politik yang lolos di Senayan.  

Ini juga menjelaskan proses politik di parlemen dalam pembahasan ambang batas parlemen cenderung diefektifkan dengan ditingkatkan angka jumlahnya. Sejak 2009 yang berlaku sebesar 2,5 persen ambang batas parlemen, kemudian Pemilu 2014 naik sebesar 3,5 persen, dan terakhir 2019 dan 2024 naik dan juga sekaligus tetap sekitar 4 persen.

Angka-angka ambang batas parlemen menjelaskan bahwa yang dijadikan prioritas dari dinaikkannya ambang batas parlemen adalah partai politik tetap boleh berdiri, tetapi syarat partai politik berkontribusi di level politik nasional yakni diperberat untuk lolos di Senayan dengan harus memenuhi ambang batas kursi 4 persen.

Baca Juga: Oposisi atau Gotong Royong dan Membangun Negeri

Jika berbicara semestinya memang diharapkan dinaikkan angka ambang batas parlemen, sehingga partai politik diharapkan akan ada yang memperoleh suara mutlak. Sebab sejak Pemilu 2009 dengan diberlakukannya ambang batas parlemen saja, sulit partai-partai yang lolos di parlemen memperoleh suara besar, begitu juga sebagai partai politik peraih peringkat pertama.  

Partai-partai politik di parlemen jika dilihat angka persentase perolehan suaranya adalah dalam kategori suara menengah, misalnya PDIP sebagai peraih peringkat pertama hanya meraih sebesar 18,95 persen pada Pemilu 2014 lalu, dan Pemilu 2019 hanya sekitar 19,33 persen.  

Sehingga dampaknya Pemerintahan yang terbangun adalah wataknya bagi-bagi kursi kabinet semata. Polemik ambang batas parlemen pada dasarnya dalam kategori saling bertentangan, antara menjaga suara rakyat agar tidak terbuang tetapi konsekuensinya pengambilan keputusan di parlemen berlarut-larut dan terjadinya politik bagi kekuasaan.

Sebaliknya, kita menaikkan perolehan ambang batas parlemen, hanya saja suara rakyat yang akan banyak terbuang, namun proses pengambilan keputusan di parlemen memungkinkan lebih mudah dan tidak berlarut-larut.  

Pilihan akhirnya memungkinkan memang menjalankan keputusan MK, meski masih memungkinkan perubahan ambang batas parlemen untuk Pemilu 2029 dapat dirumuskan kembali yang diserahkan kepada Pemerintah dan DPR dengan merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, artinya semuanya tergantung pada DPR di Senayan dengan Pemerintah. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga