Gubernur NTT Dipetisi untuk Larang Kawin Tangkap di Sumba

Marwan Azis, telisik indonesia
Sabtu, 04 Juli 2020
0 dilihat
Gubernur NTT Dipetisi untuk Larang Kawin Tangkap di Sumba
Petisi online yang menyoroti tradisi kawin tangkap di Sumba, NTT. Foto: Marwan Azis/Telisik

" Walaupun pada akhirnya terdengar kabar bahwa keluarga korban melanjutkan percakapan adat dengan pelaku kawin tangkap, tetap saja praktik pemaksaan pernikahan seperti ini membuat perempuan dalam posisi yang tidak berdaya dan tidak berhak atas keputusannya sendiri. "

JAKARTA, TELISIK.ID - Praktik "kawin tangkap" di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menjadi sorotan publik setelah video seorang wanita ditangkap sejumlah pria, viral sejak akhir Juni lalu. Wanita dalam video itu ditangkap untuk dinikahkan secara paksa.

Gubernur NTT pun didesak untuk bertindak. Menurut Darwita Purba dari Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (BPN PERUATI) dalam Change.org, perempuan dari Sumba Tengah berumur 28 tahun itu ditangkap dan dipaksa untuk menikah dengan dengan laki-laki yang tidak dicintainya.

Pada saat itu ia sempat berteriak menolak, meronta-ronta, menangis, saking putus asanya, ia menampar dan menggigit tangan laki-laki yang menangkapnya. Tapi, ia tetap dibawa dan ditahan selama 6 hari di rumah keluarga laki-laki. Setelah pihak keluarga perempuan bernegosiasi panjang, pada hari ke-7 barulah ia bisa bebas.

“Peristiwa ini tentu meninggalkan trauma mendalam bagi perempuan,”ujar Darwita yang juga mengaggas petisi online di www.change.org/StopKawinTangkap.

BPN PERUATI menyoroti praktik ini sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan. Mereka pun meminta kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur untuk menerbitkan Peraturan Daerah larangan praktik kawin tangkap di 4 kabupaten di Pulau Sumba.

Kawin tangkap adalah praktik pernikahan yang dianggap wajar sebagai bagian dari tradisi di Sumba. Namun menurut Darwita Purba dari PERUATI, praktik kawin tangkap menyebabkan penderitaan, ketakutan, rasa tidak aman dan trauma yang mendalam bagi perempuan.

Menurutnya, praktik kawin tangkap juga melanggar Hak Asasi Perempuan seperti tercantum dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi melalui UU RI No.7 tahun 1984.

Darwita menegaskan, ketiadaan payung hukum yang mendasari praktik kawin sebagai tindakan ilegal membuat perempuan korban kawin tangkap tidak berdaya dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya pasrah dan memilih berdamai dengan pelaku.

Baca juga: DPR Imbau Otoritas Bandara Soekarno-Hatta Terapkan Protokoler Secara Simpel

“Walaupun pada akhirnya terdengar kabar bahwa keluarga korban melanjutkan percakapan adat dengan pelaku kawin tangkap, tetap saja praktik pemaksaan pernikahan seperti ini membuat perempuan dalam posisi yang tidak berdaya dan tidak berhak atas keputusannya sendiri,” tulis Darwita dalam laman petisi online Change.org.

Terkait kawin tangkap, Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur, Emilia Nomleni juga meminta praktik kawin tangkap di Pulau Sumba harus dihentikan. Dia menganggap, praktik kawin tangkap sangat merendahkan kaum perempuan.

Emilia mengatakan, praktik kawin tangkap di Sumba bisa saja tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada anak, karena memang tidak pernah tahu perempuan-perempuan itu usianya berapa saat ditangkap.

Di halaman petisi juga terlihat sejumlah komentar dari pendukung petisi seperti berikut:

“Seorang teman pernah bercerita bahwa ini memang merupakan kasus yang serius dan harus ditindaklanjuti demi kebaikan bersama. Saya harap ini dapat menjadi pertimbangan pemerintah daerah bukan saja di NTT tapi di seluruh Indonesia,” tulis Salsabila Iftinan.

“Petisi ini menjadi langkah kecil menolak budaya kawin tangkap. Menyadari sepenuhnya manusia memiliki hak dasar memilih dan tidak dipaksa untuk melakukan apapun dengan tanggung jawab dan kesadaran. Semoga pemerintah daerah bisa serius melihat hal ini dan memberi perhatian yang besar,” tulis Sanita Retmi.

“Perlu kajian kritis secara mendalam terkait konteks historis (budaya) dan ditinjau kembali secara kajian teoritis. Agar tidak ada yang merasa didiskriminasi. Saya berharap, secepat mungkin PERDA diluncurkan agar tidak ada lagi korban diskriminasi,” tulis Ardiyansah Talundima.

Menanggapi petisi #StopKawinTangkap, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT Marius Ardu Jelamu menyatakan dukungannya atas petisi itu. Menurutnya, adat yang melanggar hak asasi manusia harus dihilangkan. Namun, berdasarkan keterangannya, Gubernur NTT belum membahas soal ini.

“Oleh sebab itu, kami memerlukan dukungan kawan-kawan untuk mendorong Gubernur Nusa Tenggara Timur, Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat, S.H., M.Kn. agar mengeluarkan Perda Larangan Praktik Kawin Tangkap di 4 Kabupaten di Pulau Sumba sehingga jika ada yang masih melakukannya dapat diproses secara hukum”, harap Darwita.

Hingga pukul 07.14 WIB hari ini, petisi online StopKawinTangkap telah ditandatangani 11.798 dari 15.000 tanda tangan yang ditargetkan pembuat petisi.

Reporter: Marwan Azis

Editor: Haerani Hambali

Baca Juga