Jokowi Mengaku Tak Campuri Putusan MK, Hakim Konstitusi Ungkap Beberapa Kejanggalan

Mustaqim, telisik indonesia
Selasa, 17 Oktober 2023
0 dilihat
Jokowi Mengaku Tak Campuri Putusan MK, Hakim Konstitusi Ungkap Beberapa Kejanggalan
Presiden Joko Widodo dan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga adik iparnya, Anwar Usman. Foto: Kolase

" Beberapa Hakim Konstitusi mengajukan dissenting opinion (berbeda pendapat) dalam putusan MK mengenai penentuan batas usia capres-cawapres "

JAKARTA, TELISIK.ID – Peluang Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) mendampingi Prabowo Subianto di Pemilu 2024 kini terbuka setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memberinya jalan.

Meski demikian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan dirinya tidak turut campur dalam penentuan capres maupun cawapres. Jokowi pun enggan menanggapi putusan MK yang memberi ruang terbuka bagi putra sulungnya itu untuk maju sebagai bacawapres.

“Saya tegaskan, saya tidak mencampuri urusan capres atau cawapres,” tegas Jokowi di sela-sela kunjungan kerjanya di China World Hotel, Beijing, Republik Rakyat Tiongkok, yang disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Senin (16/10/2023) malam.

Jokowi mengatakan, pasangan capres-cawapres ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Karena itu, dia mempersilahkan media menanyakan hal itu ke partai politik sebagai pemilik otoritas.

Tidak ingin dikaitkan dengan apa yang sudah diputuskan oleh MK, meski putusan itu tak lepas dari pertimbangan hukum iparnya yakni Ketua MK, Anwar Usman, Jokowi mengatakan persoalan putusan hakim konstitusi merupakan kewenangan yudikatif.

“Mengenai putusan MK silakan ditanya ke Mahkamah Konstitusi, jangan saya yang berkomentar. Silakan juga pakar hukum yang menilainya. Saya tidak ingin memberikan pendapat atas putusan MK, nanti bisa disalahmengerti seolah-olah saya mencampuri kewenangan yudikatif,” ujarnya.

Beberapa Hakim Konstitusi mengajukan dissenting opinion (berbeda pendapat) dalam putusan MK mengenai penentuan batas usia capres-cawapres. Salah satu hakim yang mengajukan dissenting opinion adalah Saldi Isra.    

Saldi menyebut MK telah masuk jebakan politik usai mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres yang sesungguhnya bersifat open legal policy (kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang).

“Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat-sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions (pertanyaan politik, red). Yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah,” tegas Saldi dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Dia mengakui, MK sering memberikan pertimbangan opened legal policy terhadap permasalahan yang tidak diatur secara eksplisit di dalam konstitusi. Namun, MK tak memutus sendiri dan justru menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan keputusan.

Karena itu, kata Saldi, MK sudah seharusnya berpegang teguh pada pendekatan tersebut. MK juga perlu untuk tidak memilah-milih mana yang dapat dijadikan opened legal policy dan memutuskannya tanpa argumentasi serta alasan hukum (legal reasoning) yang jelas.

Jika itu terjadi, Saldi menyebut penentuan opened legal policy oleh MK dikhawatirkan menjadi yurisprudensi 'cherry picking'. “Sebagaimana terlihat dari ketidakkonsistenan pendapat sebagian hakim yang berubah seketika dalam menjawab pokok permasalahan dalam beberapa permohonan yang serupa seperti diuraikan di atas,” urainya.

Dalam permohonan yang diajukan, Saldi menegaskan, MK sudah seharusnya menerapkan judicial restraint atau pembatasan yudisial dengan menahan diri tidak masuk dalam kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan persyaratan batas usia minimum capres-cawapres.

Saldi menilai, hal ini diperlukan guna menjaga keseimbangan dan penghormatan kepada pembentuk undang-undang dalam konteks separation of powers atau pemisahan kekuasaan negara.

Baca Juga: Usia Tak Penuhi Persyaratan, MK Putuskan Gibran Bisa Cawapres Lewat Syarat Pengalaman Wali Kota

“Dalam konteks aturan batas usia capres-cawapres, pembentuk undang-undang secara eksplisit juga telah menyampaikan keinginan yang serupa dengan para pemohon,” beber Saldi.

Dengan demikian, kata Saldi, perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi capres-cawapres tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme tinjaun legislatif (legislative review) yang dimohonkan oleh para pemohon. “Bukan justru melempar bola panas ini kepada Mahkamah,” tegasnya.

Saldi pun mengungkapkan sikapnya terhadap putusan MK yang mengabulkan gugatan uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres-cawapres dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Saldi tak setuju MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

“Menimbang bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menasbihkan makna baru atas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, saya, Hakim Konstitusi Saldi Isra, memiliki pendapat atau pandangan berbeda atau dissenting opinion,” ujar Saldi dalam sidang pembacaan putusan.

Saldi mengungkap, secara keseluruhan, terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Dari belasan perkara, hanya perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan Presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli.

Sebelum memutus tiga perkara tersebut, MK lalu mengadakan rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 19 September 2023. RPH dihadiri oleh delapan hakim konstitusi, yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah.

“Tercatat, RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman,” ungkap Saldi.

Hasil RPH menyatakan bahwa enam hakim konstitusi sepakat menolak permohonan pemohon. Enam hakim juga tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya memilih sikap berbeda atau dissenting opinion.

Mahkamah lantas menggelar RPH kedua untuk memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga terkait syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. RPH kedua ini dihadiri sembilan hakim konstitusi, tak terkecuali Anwar Usman.

Dalam RPH tersebut, ungkap Saldi, beberapa hakim yang semula memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka, tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan pemohon dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” beber Saldi.

Dari lima hakim konstitusi yang setuju untuk ‘mengabulkan sebagian’ gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023, tiga hakim membuat syarat alternatif bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencaonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah.

Sementara, dua hakim konstitusi lain yang setuju untuk ‘mengabulkan sebagian’ gugatan, membuat alternatif aturan bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur.

Atas dinamika ini, Saldi pun bertanya-tanya, seandainya RPH yang digelar untuk memutus Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, akankah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 masih tetap didukung mayoritas hakim sebagai kebijakan hukum terbuka atau tidak.

Sebaliknya, jika RPH memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap sama dengan komposisi hakim dalam Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023, yaitu tetap delapan hakim tanpa dihadiri hakim Anwar Usman, apakah putusan akan tetap sama atau berbeda.

Dalam hal ini, kata Saldi, secara faktual perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan.

“Tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’, sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’,” tutur Saldi.

Hakim Konstitusi lainnya, Arief Hidayat, membeberkan kejanggalan atas putusan MK yang mengabulkan gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pasalnya, lewat putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui Pemilu.

Padahal pada hari yang sama, sebelumnya MK menolak tiga putusan batas usia capres-cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

Arief merasakan adanya perubahan negatif dan keganjilan pada lima perkara yang ditangani MK terkait batas usia capres-cawapres. Keganjilan ini dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya.

“Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukkan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila,” tegas Arief saat membacakan dissenting opinion.

Keganjilan pertama, ungkap Arief, yakni soal penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda. Prosesnya memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK, dan 1 bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.

Kendati begitu, Arief mengakui, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan.

“Dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri. Terlebih hal ini merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi Hakim Konstitusi dalam menangani perkara di MK,” ungkap Arief.

Baca Juga: Ketua MK Disarankan Tak Ikut Putuskan Batas Usia Capres-Cawapres

Arief mengusulkan agar MK menetapkan tenggang waktu yang wajar. Yakni antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Jika cara ini diterapkan, Arief memastikan peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.

“Perbaikan ini dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang,” ujarnya.

Keganjilan lainnya, menurut Arief, turut sertanya Ketua MK, Anwar Usman, atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.

Padahal dalam RPH pada Selasa (19/9/2023), tiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Anwar Usman tidak hadir. Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dan Arief menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.

Saldi Isra lantas menjawab, ketidakhadiran Anwar Usman bertujuan untuk menghindari potensi konflik kepentingan karena isu yang diputus berkaitan dengan syarat usia minimal capres-cawapres, di mana keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, berpotensi diusulkan dalam Pilpres 2024. Diketahui, Anwar merupakan suami dari Idayati, adik kandung Presiden Jokowi, ayah Gibran.

Tiga perkara tersebut akhirnya diputuskan untuk ditolak. Namun, saat memutus dua perkara lain yang salah satunya berujung diputus inkonstitusional bersyarat, Anwar Usman hadir.

“Ketua (Anwar Usman, red) malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar ‘dikabulkan sebagian’. Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar,” beber Arief.

Sebelumnya diberitakan, MK mengabulkan gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres-cawapres dalam UU Pemilu. Gugatan ini diajukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Surakarta, Almas Tsaqibbirru Re A.

Dari sembilan Hakim Konstitusi, enam di antaranya tak setuju atas putusan tersebut. Rinciannya, empat hakim menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Mereka adalah Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Dua hakim konstitusi lainnya menyampaikan concurring opinion atau alasan berbeda, yakni Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih.

Selama sidang pembacaan putusan, pertimbangan MK hanya dibacakan oleh dua Hakim Konstitusi, yaitu Manahan Sitompul dan Guntur Hamzah. Ketua MK, Anwar Usman, hanya mengetuk palu, menyatakan bahwa gugatan pemohon dikabulkan sebagian. (A)

Penulis: Mustaqim

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga