Hari Santri: Momen Aktivasi Santri sebagai Agen Perubahan

Rima Septiani, telisik indonesia
Minggu, 02 November 2025
0 dilihat
Hari Santri: Momen Aktivasi Santri sebagai Agen Perubahan
Rima Septiani, S.Pd, Aktivis Dakwah. Foto: Ist.

" Peringatan hari santri mestinya dijadikan sebuah refleksi bagaimana peran dan sosok santri sebagai penjaga agama dan agen perubahan "

Oleh: Rima Septiani, S.Pd

Aktivis Dakwah

PRESIDEN Prabowo Subianto menyampaikan ucapan “Selamat Hari Santri Nasional Tahun 1447 Hijriah” kepada para santri, santriwati, kiai, nyai hingga keluarga besar pondok pesantren di seluruh Tanah Air.

Dalam ucapannya, kepala negara menekankan bahwa hari santri merupakan momentum untuk mengenang jasa para ulama dan santri yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Tema hari Santri Nasional tahun ini, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia” disebut Presiden sebagai cerminan tekad santri masa kini untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa.

Meski demikian, Presiden Prabowo menekankan bahwa santri harus siap menjadi bagian dari kemajuan global tanpa melupakan akar nilai keislaman dan keindonesiaan. (Setneg/31/10/2025)

Santri dan Jejak Perjuangannya

Peringatan hari santri nasional merupakan agenda tahunan yang diperingati oleh masyarakat khususnya di kalangan santri dalam pondok pesantren dengan berbagai macam kegiatan.

Agenda ini rutin dirayakan mengingat moment ini begitu spesial bagi para santri. Momentum peringatan hari santri mestinya dijadikan sebuah refleksi bagaimana peran dan sosok santri sebagai penjaga agama dan agen perubahan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata santri setidaknya mengandung dua makna. Arti pertama adalah orang yang mendalami agama Islam, dan pemaknaan kedua adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh.  

Kaum santri memiliki peran strategis dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dengan spirit jihad, mereka berhasil mengusir penjajah dan membebaskan bangsa ini dari penjajahan fisik yang berlangsung dalam jangka waktu yang sangat panjang.  

Seperti yang terjadi pada tanggal 22 Oktober tahun 1945 di Surabaya. Ketika pendiri NU KH Hasyim Asy'ari menetapkan resolusi jihad untuk mencegah kembalinya tentara kolonial Belanda yang mengatasnamakan NICA. Peristiwa bersejarah ini juga yang memicu perang 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Kontribusi santri dalam sejarah Indonesia tak pernah terlupakan. Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy'ari pada 1945 sebagai tonggak perlawanan santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Ini menjadi momentum penting dalam sejarah perjuangan bangsa dalam mengusir kolonialisme.  

Santri tidak hanya sebagai pelaku sejarah atau pemuka agama tetapi juga sebagai agen perubahan. Mereka adalah pasukan berani mati demi memperjuangkan kebenaran. Spirit jihad adalah hal yang melatarbelakangi perjuangan menyambut panggilan jihad membebaskan umat ini dari genggaman penjajahan Belanda.

Pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945 adalah salah satu peristiwa bersejarah yang dikenang secara mendalam oleh masyarakat Surabaya khususnya, bangsa Indonesia pada umumnya. Peristiwa ini dipicu  oleh  keinginan kuat  untuk lepas dari penguasaan Belanda, yakni penjajah kafir.  

Baca Juga: Stimulus Ekonomi, Arah Kebijakan Populis Kapitalis

Dulu sejak zaman perjuangan kemerdekaan, pesantren menjadi salah satu produsen para pahlawan nasional. Pesantren bisa melahirkan para pejuang tanah air seperti di era kemerdekaan dulu atau para pengemban dakwah yang konsisten menyampaikan kebenaran Islam untuk mengembalikan kejayaan Islam dan kaum muslimin.

Pesantren adalah institusi pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengasah karakter santri untuk menjadi insan yang bermanfaat bagi masyarakat. Melalui pendidikan yang seimbang, santri akan menjadi agen perubahan yang tidak hanya mampu bersaing dalam dunia digital, tetapi juga menjadi panutan moral di tengah masyarakat.

Para santri pejuang telah meninggalkan jejak sejarah berjuang mengusir para penjajah dari bumi pertiwi.  Santri harus tampil sebagai pelopor dan terdepan di tengah kondisi degradasi moral kaum muda. Santri harus menjadi penjaga akhlak bangsa yang tidak mudah terpengaruh pemikiran sekuler.

Namun sayang seribu sayang, di masa kini kerap kita dapatkan fakta di mana arah perjuangan santri kerap di belokan, dimanfaatkan sebagai agen perdamaian dan perubahan sosial versi sekularisme yang bertentangan dengan Islam.

Peran santri dibajak hanya untuk mencetak para wirausahawan dan bukan sebagai faqih fiddin yang sadar akan permasalahan umat. Tekun belajar agama di pesantren namun setelah keluar dari pesantren mereka ibarat buku-buku berjalan sebab mengetahui hukum hukum syariat namun tidak menghukumi masalah umat dengan syariat Islam.

Hal ini pernah diutarakan oleh Presiden Republik Indonesia saat  Joko Widodo dalam peringatan hari Santri Nasional tahun 2021 yang  juga mengharapkan hal yang berbeda dari arah perjuangan para santri yang semestinya.

Yakni Presiden mengharapkan dari hasil pendidikan madrasah dan pesantren para santri ini akan menjadi para wirausahawan muda yang mampu memenuhi tuntutan masyarakat ekonomi syariah (MES).(viva.co.id, 22/10/2021).

Bukan hanya tingkat nasional, pembajakan potensi santri ke arah penggerak ekonomi bahkan menyentuh level desa. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes  PDTT) pada peringatan Hari Santri tahun 2021, yakni disebutkan bahwa santri adalah penggerak ekonomi desa.  

Ini bermakna bahwa kalangan pesantren diharapkan menjadi aktor utama pelaku ekonomi. Bila saat ini, peran santri diorientasikan untuk menggerakkan ekonomi dengan program kewirausahaan tentu hal ini semakin mengonfirmasi bahwa santri telah dirampas potensinya sebagai penjaga dan pejuang Islam.

Upaya mengarahkan santri untuk pemberdayaan ekonomi saja merupakan bentuk pembajakan potensi yakni menyia-nyiakan berlian untuk batu biasa.

Fenomena pembajakan peran santri ialah upaya untuk mengalihkan peran dan potensi santri dari tujuan utama mereka yakni sebagai agen perubahan. Hal ini massif terjadi di mana para santri dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan atau tujuan tertentu bukan untuk kemaslahatan umat. Fokus mereka untuk bergeser menjadi hal yang tidak utama  hingga pelan-pelan idealisme Islam mereka terkikis.

Meski pesantren menjadi ganda terdepan dalam menjaga Islam, proses sekularisasi dan deideologisasi justru massif melalui kurikulum sehingga melemahkan peran santri dan ulama. Bahkan saat ini berbagai stigma terus dihembuskan untuk meminggirkan peran strategis sebagai basis pertahanan melawan penjajahan modern.

Tantangan semakin terasa di era digitalisasi saat ini, di mana serangan pemikiran yang mengaburkan identitas muslim makin diaruskan. Paham hedonisme dan pemikiran sekuler justru menyasar generasi muda termasuk para santri.

Jika bablas menggunakan perkembangan teknologi saat ini, tentu saja ini akan mengancam idealisme Islam kita. Untuk itulah para santri harus pandai memanfaatkan kemudahan digitalisasi, benteng keimanan dan pemahaman Islam harus kokoh.

Saatnya Santri Memahami Peran dan Potensinya

Untuk itulah, santri hendaknya  diarahkan memiliki visi dan misi  jihad melawan penjajahan gaya baru dengan menjaga umat dan syariat di masa kini. Santri seharusnya menjadi benteng yang menopang peradaban Islam, menjadi pejuang penegakan syariat Islam sebagai bentuk melanjutkan misi kenabian. Jangan sampai tugas ini melenceng dari tujuan awalnya. Santri harus teguh pada jati dirinya sebagai ahli ilmu dan agen perubahan.

Santri adalah seorang pengemban dakwah. Karakternya dekat dengan perilaku amar ma’ruf nahi mungkar. Alias mengajak orang lain agar taat pada aturan Allah dan Rasul-Nya dan mencegah terjadinya kemungkaran. Aktivitas dakwah yang digeluti hendaknya menyadarkan umat akan kebutuhan kepada Islam.

Ilmu agama yang dipelajari di pondok sebesar mungkin bisa menjauhkan santri dari paparan kemaksiatan yang disebabkan racun liberalisme.

Generasi muda termasuk santri Jangan sampai lupa esensi pendidikan agama yang seharusnya menjadi pandangan  hidup mereka.

Baca Juga: Paradoks di Garis Ekuator, Defisiensi Vitamin D Melanda Indonesia

Santri harus mampu memelihara akhlak mulia sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah. Jangan sampai terjebak dalam jebakan pemikiran sekuler. Santri harus memahami peran dan potensinya.

Ingatlah imperialisme itu masih ada. Penjajahan gaya baru atau neo imperialisme baru di era zaman modern masih dilakukan penjajah dengan masuk melalui regulasi atau UU. Penjajah tidak lagi menggunakan cara-cara lama seperti yang kita hadapi dulu pra kemerdekaan.

Model penjajahan gaya baru ini tidak menggunakan senjata, saling serang fisik, atau merusak wilayah, melainkan dikemas dalam berbagai kebijakan politik dan  ekonomi, yang kita kenal dengan istilah liberal kapitalisme.  

Untuk itu kaum muslimin jangan lengah, terkhusus para santri. Santri mesti diarahkan memiliki visi dan misi  jihad melawan penjajahan gaya baru dengan menjaga umat dan syariat.

Santri seharusnya menjadi benteng yang menopang peradaban Islam, menjadi pejuang penegakan syariat Islam sebagai bentuk melanjutkan misi kenabian. Jangan sampai tugas ini melenceng dari tujuan awalnya. Santri harus teguh pada jati dirinya sebagai ahli ilmu. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Artikel Terkait
Baca Juga