Masjid Agung Kotagede Yogyakarta dengan Segala Keunikannya

Affan Safani Adham, telisik indonesia
Jumat, 24 Juli 2020
0 dilihat
Masjid Agung Kotagede Yogyakarta dengan Segala Keunikannya
Masjid Agung Kotagede peninggalan sejarah akulturasi budaya yang berlangsung saat era Kerajaan Mataram Islam. Foto: Ist.

" Nah, salah satu destinasi menarik untuk dikunjungi di Kotagede salah satunya adalah Masjid Gedhe Mataram atau Masjid Agung Kotagede yang berdiri pada abad ke-16. "

YOGYAKARTA, TELISIK.ID - Ketika mendengar kata Kotagede, mungkin yang terlintas di benak kita pertama kali adalah berbagai jenis kerajinan dari perak.

Sebenarnya, Kotagede tidak melulu tentang wisata kerajinan perak saja. Kita juga bisa berwisata sejarah. Pasalnya, wilayah tersebut pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam.

Nah, salah satu destinasi menarik untuk dikunjungi di Kotagede salah satunya adalah Masjid Gedhe Mataram atau Masjid Agung Kotagede yang berdiri pada abad ke-16.

Bangunan itu merupakan tempat yang seringkali hanya dilewati ketika wisatawan hendak menuju kompleks pemakaman Raja Mataram, padahal pesona bangunannya tak kalah menarik. Tentu, banyak pula cerita yang ada pada setiap piranti di masjid yang berdiri sekitar tahun 1640 ini.

Masjid tertua di Yogyakarta ini, berlokasi di selatan kawasan pasar Kotagede Yogyakarta, yang ada unsur budaya China seperti atap berbentuk tajug bersusun tiga yang menyerupai pagoda, pembuatan pondasi dari batu alam dan penggunaan dinding batu bata tampak pada Masjid Agung Kotagede. Dan, pengaruh ini tidak terlepas dari sejarah orang China yang datang ke Nusantara untuk berdagang.

Masjid Gedhe Mataram Kotagede yang usianya lebih tua dibanding Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, memiliki perangkat unik berupa mimbar khotbah dengan ukiran indah, bedug yang usianya sudah ratusan tahun serta tembok berperekat air aren.

Sebelum memasuki komplek masjid akan ditemui sebuah pohon beringin yang konon usianya sudah ratusan tahun. Pohon itu, dijelaskan salah seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta, tumbuh di lokasi yang kini dimanfaatkan untuk tempat parkir.

Karena usianya yang tua, penduduk setempat menamainya "Wringin Sepuh" dan menganggapnya mendatangkan berkah. Keinginan seseorang, menurut cerita abdi dalem itu, akan terpenuhi bila mau bertapa di bawah pohon tersebut hingga mendapatkan dua lembar daun jatuh, satu tertelungkup dan satu lagi terlentang.

Berjalan mendekat ke arah komplek masjid, akan ditemui sebuah gapura yang berbentuk paduraksa. Persis di bagian depan gapura, akan ditemui sebuah tembok berbentuk huruf L. Pada tembok itu terpahat beberapa gambar yang merupakan lambang kerajaan. Bentuk paduraksa dan tembok L itu adalah wujud toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu dan Budha.

Memasuki halaman masjid, akan ditemui sebuah prasasti yang berwarna hijau. Prasasti setinggi 3 meter itu merupakan pertanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi masjid ini.

Bagian dasar prasasti berbentuk bujur sangkar dan di bagian puncaknya terdapat mahkota lambang Kasunanan Surakarta. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu salat.

Baca juga: Mubaligh Rendah Hati dan Sederhana Selalu Dinanti Masyarakat

Adanya prasasti itu membuktikan bahwa Masjid Kotagede mengalami dua tahap pembangunan. Tahap pertama dibangun pada masa Sultan Agung merupakan bangunan inti masjid berukuran kecil. Karena kecilnya, masjid itu dulunya disebut langgar. Bangunan kedua dibangun oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X.

Perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X ada pada tiangnya. Bagian yang dibangun Sultan Agung, tiangnya berbahan kayu. Sedangkan yang dibangun Paku Buwono tiangnya berbahan besi.

Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi.

Sebuah parit yang mengelilingi masjid akan dijumpai sebelum memasuki bangunan inti masjid. Parit itu di masa lalu digunakan sebagai saluran drainase setelah air digunakan wudlu di sebelah utara masjid. Kini, warga setempat memperbaiki parit dengan memasang porselen di bagian dasar parit dan menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan. Untuk memudahkan warga yang ingin beribadah, dibuat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun berderet.

Pada bagian luar inti masjid terdapat bedug tua yang bersebelahan dengan kentongan. Bedug yang usianya tak kalah tua dengan masjidnya itu merupakan hadiah dari seseorang bernama Nyai Pringgit yang berasal dari desa Dondong, wilayah di Kabupaten Kulon Progo. Atas jasanya memberikan bedug itu, keturunan Nyai Pringgit diberi hak untuk menempati wilayah sekitar masjid yang kemudian dinamai Dondongan. Sementara bedug pemberiannya, hingga kini masih dibunyikan sebagai penanda waktu sholat.

Asal-muasal Masjid Gedhe Mataram terjadi ketika Ki Ageng Pamanahan membuka alas atau hutan Mentaok di Kotagede. Ia berniat membangun pemukiman yang kelak berfungsi sebagai pusat pemerintahan kerajaan. Masjid Agung Kotagede pun didirikan dan selesai dibangun pada 1589 atau pada akhir abad ke-16.

Struktur bangunan masjid awalnya masih berupa langgar. Baru ketika anak Ki Ageng Pamanahan yaitu Panembahan Senopati bertahta, surau tersebut dipindahkan. Kemudian, langgar dibangun menjadi Masjid Agung Kotagede.

Gapura depan masjid ini berbeda dengan masjid pada umumnya: menyerupai tempat peribadatan umat Hindu atau Buddha.

Bentuk gapura tersebut ada yang menyebutnya sebagai rana atau kelir, di mana jika ada orang yang hendak memasuki halaman masjid harus belok ke kanan.

Bangunan Masjid Gedhe Mataram dibagi menjadi beberapa bagian: halaman, pagar keliling, masjid, dan makam.

Makam yang terdapat di Masjid Agung Kotagede hanya diperuntukkan bagi keluarga besar trah raja-raja Mataram Islam.

Baca juga: 10 Hari di Awal Dzulhijjah Lebih Baik dari 10 Ramadhan

Selain itu ada juga tempat peristirahatan terakhir yang terletak di belakang masjid. Tempat tokoh penting kerajaan seperti Ki Ageng Pamanahan dan Panembahan Senopati disemayamkan. Ada pula makam Sultan Hamengku Buwono II serta kuburan Panembahan Seda Krapyak yang merupakan ayah raja terakhir Mataram Islam, Sultan Agung.

Halaman masjid ini masih cukup luas. Di teras depan masjid terdapat kolam ikan kecil. Jika sudah masuk ruang utama masjid, akan terasa betul bagaimana kunonya dan nilai sejarah masjid ini. Bangunan menyerupai joglo dan tiang penyangga dari kayu jati adalah salah satunya. Kemudian, mimbar imam juga terkesan klasik. Terdapat pula sebuah kotak amal yang berbentuk lucu seperti maket atau replika masjid.

Di sebelah kiri bangunan masjid, terdapat jalan masuk menuju ke makam. Pintu jalan masuk juga berupa rana atau kelir. Dengan tembok-tembok yang juga mempunyai desain arsitektur zaman dulu.

Di samping budaya Hindu, Masjid Gedhe Mataram juga menyerap budaya Jawa dan Islam. Bangunan yang dengan ciri budaya Jawa yakni pacaosan, yang biasanya digunakan sebagai ruang tunggu ketika ada kegiatan di masjid.

Dalam tata ruang Jawa, pacaosan merupakan tempat seseorang menunggu ketika ingin masuk ke ruang raja. Tata ruang di luar Masjid Agung Kotagede pun menyerupai pola kerajaan Islam Jawa, di mana ada halaman yang menyerupai alun-alun, lengkap dengan pohon beringin.

Meski menjadi tempat ibadah bagi umat muslim, Masjid Agung Kotagede merupakan peninggalan sejarah akulturasi budaya yang berlangsung saat era Kerajaan Mataram Islam.

Beberapa jejak budaya Islam, Jawa, Hindu dan China bisa ditemukan pada tata bangunan masjid berusia ratusan tahun tersebut.

Peneliti dari Universitas Diponegoro dalam jurnal "Akulturasi Budaya pada Bangunan Masjid Gedhe Mataram Yogyakarta" (2017) menjelaskan pengaruh budaya Hindu terlihat kental pada bagian luar kompleks Masjid Gedhe Mataram.

Pengunjung akan melihat gerbang masjid berbentuk gapura seperti yang ada pada candi. Dinding pagar yang mengelilingi masjid, di sisi lain, juga berhiaskan relief candi.

Terdapat pula tempat pemandian yang dilengkapi dengan gapura di dalam kompleks masjid. Dinding makam keluarga besar trah raja-raja pun berhiaskan ornamen seperti di candi.

Reporter: Affan Safani Adham

Editor: Haerani Hambali

Artikel Terkait
Baca Juga