Menelisik Jokowi dan PSI dalam Pemilihan Ketua Umum

Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 31 Mei 2025
0 dilihat
Menelisik Jokowi dan PSI dalam Pemilihan Ketua Umum
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Jokowi mengkritik pengelolaan partai politik di Indonesia yang bersifat personalisasi politik "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

JOKO Widodo (Jokowi) setelah tak menjabat sebagai Presiden menghadapi berbagai persoalan seperti rongrongan mengenai ijasah sarjananya yang diperdebatkan. Jokowi juga dinilai sedang resah, pasca tak punya jabatan politik ia hanya "momong cucu," sehingga ditenggarai ia ingin terus punya pengaruh besar di pemerintahan maupun berbuat banyak hal untuk negeri ini.

Banyak kelompok yang tidak bersimpatik terhadap Jokowi maupun juga respons negatif dari publik mulai mengemuka terkait mempertanyakan pola pengelolaan pemerintahan di masa 10 tahun Jokowi menjabat yang ternyata banyak permasalahan mengitarinya.

Menghadapi berbagai problematika “serangan” dari berbagai kelompok yang tak senang dengan dirinya, juga menurunnya simpatik publik, serta hubungan dirinya dengan partainya dulu yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tak lagi harmonis, semua persoalan ini menjadi satu kesatuan yang membalut Jokowi ingin terus diperhitungkan di kancah politik nasional.

Model Baru Pemilihan Ketua Umum PSI

Jokowi mengkritik pengelolaan partai politik di Indonesia yang bersifat personalisasi politik. Pengelolaan partai politik yang bersifat personalisasi ini menyebabkan partai politik dikendalikan oleh satu tokoh semata. Tokoh itu menjadi simbol utama partai. Tokoh itu juga memegang kendali kebijakan partai untuk jangka waktu yang lama. Pendek kata, pengelolaan partai politik menjadi tergantung kepada si tokoh tersebut.

Kritik Jokowi ini ditujukan kepada mantan partai politiknya yakni PDIP. PDIP tak bisa dimungkiri ketergantungan kepada satu tokoh adalah Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum partai tersebut.

Kritik ini dibungkus dengan narasi Jokowi ingin mendirikan Partai Super Terbuka atau Tbk.

Partai super terbuka ini lebih menekankan kepada Pemilihan Ketua Umumnya. Pemilihan Ketua Umumnya dilakukan secara terbuka oleh seluruh anggotanya, dengan demikian partai menjadi milik bersama.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang merupakan partai “berkiblat” ke Jokowi, langsung merespons cepat usulan Jokowi. PSI dan Jokowi memang keduanya sama-sama ingin mewujudkan Partai Super Tbk yang saat ini dikomandoi oleh putra bungsunya Jokowi yakni Kaesang Pangarep.

PSI langsung mengharapkan Jokowi mau untuk maju mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSI dalam Pemilu Raya PSI tersebut. Pemilihan ini akan dilakukan dengan sistem e-voting, setiap kader memiliki hak satu suara.

Baca Juga: Pemerintahan Prabowo Tanpa Oposisi

Jika Jokowi maju sebagai Ketua Umum, begitu juga jika Kaesang Pangarep ingin mengusahakan periode kedua kepemimpinannya dengan maju sebagai Ketua Umum, maka akan terjadi persaingan politik bapak dan anak bungsunya dalam merebut suara dan pilihan dari setiap kader PSI.

Menerka Alasan Jokowi

Sampai saat ini Jokowi belum memutuskan untuk maju sebagai calon Ketua Umum PSI. Jokowi masih memperhitungkan peluang kemenangan jika mendaftar sebagai kandidat calon Ketua Umum PSI.

Jelas akan memalukan, jika Jokowi memutuskan maju untuk memperebutkan kursi ketua umum PSI ternyata kalah. Meskipun akan terlihat “fenomenal” jika Kaesang atau kandidat lainnya yang mengalahkan Jokowi.

Jokowi jika maju sebagai kandidat Ketua Umum PSI, ditenggarai Jokowi ingin menjaga nama baik dirinya, juga ia harus menyelamatkan hasil kinerjanya 10 tahun memimpin republik ini, dan kehormatan keluarganya secara sosial dan politik.

Jokowi diyakini sudah belajar dari kasus Soeharto. Ketika Soeharto tak menjabat lagi, tekanan dari berbagai kelompok maupun publik begitu deras terkait saat pengelolaan kekuasaan di masanya yang banyak permasalahan.

Jokowi juga punya kepentingan politik untuk memuluskan jalan politik anak-anak dan menantunya. Sebab tampak sekali anak-anak dan menantu Jokowi yang sekarang bermain di kancah politik nasional karena jasa ayahnya. Tanpa Jokowi karier politik Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, dan Bobby Nasution tak akan mulus menjabat sebagai eksekutif di pusat dan daerah maupun sebagai ketua umum PSI.

Sehingga Jokowi masih mempunyai kepentingan untuk menjaga karir politik anak-anak dan menantunya agar bisa berpengaruh di politik nasional, sebab karir mereka diperhitungkan dari nama besar Jokowi ketika menjabat sebagai presiden.

Pilihan Jokowi yang ingin terus terjun ke kancah politik nasional, menunjukkan Jokowi belum puas dengan hasrat ingin berkuasanya. Jokowi tidak ingin dianggap purna tugas dalam politik. Jokowi tampaknya tak ingin memberikan pengabdian dirinya kepada masyarakat semata, dengan misalnya, Jokowi lebih berperan di dunia sosial di masyarakat. Seperti misalnya mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang memilih menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).

Jokowi Ingin PSI Bersaing dengan PDIP

Ditenggarai Jokowi tak ingin mengajukan dirinya sebagai Dewan Pembina PSI. Ia lebih ingin menonjol, sehingga ia membidik sebagai pimpinan partai. Jokowi sudah menyadari, ia sudah menyelesaikan seluruh jabatan politik kenegaraan, dari wali kota Surakarta dua periode, gubernur DKI Jakarta, hingga presiden dua periode.

Hanya saja disinyalir Jokowi merasa satu-satunya portofolio dirinya yang masih kurang adalah sebagai Ketua Umum Partai. Jokowi tidak merasa bahwa pemikiran sebagai Ketua Umum Partai adalah pemikiran yang keliru. Padahal capaian dirinya sungguh fenomenal, ia hanya anggota kader PDIP saja, tetapi karir politiknya begitu mengilap sebagai Wali kota, Gubernur, dan Presiden.  

Baca Juga: Nafsu Kekuasaan Besar, Kerja Menurun

Capaian Jokowi belum bisa ditandingi, contoh saja Anies Baswedan saja gagal menang sebagai calon presiden dan ia hendak maju periode keduanya sebagai gubernur DKI Jakarta malah gagal dapat dukungan dari partai-partai politik.

Ide Partai Super Tbk harus diakui adalah hal yang baik. Ide segar ini dapat menjelaskan contoh partai yang baik yakni menyertakan seluruh kadernya dalam pemilihan ketua umumnya. Jika Jokowi maju ataupun tidak, ia tidak mempedulikan mengenai istilah negarawan.  

Obsesi politiknya menjadi ketua umum partai politik cenderung bernilai negatif seperti, ia ingin terus membantu karir politik anak-anaknya, ia juga ingin masih punya pengaruh besar di kabinet tujuannya misalnya, agar namanya dikenang sebagai politisi terbaik.

Dan, jelas PSI maupun keinginan dirinya satu frekuensi yakni hanya ingin menandingi Megawati dan PDIP. Jokowi ingin menunjukkan setara dengan Megawati. Sedangkan, PSI diinginkan Jokowi sebagai lawan yang sepadan dengan PDIP.  

Padahal jelas, PSI tidak sebanding dengan PDIP. PDIP lebih tinggi posisi tawarnya, sebab partai ini sudah berada di dua era yakni Orde Baru dan Reformasi. PDIP juga partai ideologis, PDIP sudah matang dalam berpolitik, dan PDIP sangat dekat sama rakyat ketimbang PSI, dan jangan lupakan pula PDIP adalah salah satu partai ideologis di Indonesia. PDIP adalah partai lama, partai besar, dan partai peringkat pertama.

Jadi sehebat apapun PSI selepas pemilu raya tersebut, citra PSI tidak akan sehebat dan sebesar PDIP. Meskipun, PSI menjadi partai super terbuka, tetapi PSI membesar karena nilai jualnya dari Jokowi "cawe-cawe", dan semua karena Jokowi. Akhirnya, PSI merek politiknya adalah Jokowi, bukan didasari ideologi, melainkan politik pragmatis semata. Jika pengaruh Jokowi menurun drastis, maka PSI juga kemungkinannya tenggelam. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga