24 Tahun Reformasi dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia
Mu’min Boli, telisik indonesia
Minggu, 29 Mei 2022
0 dilihat
Mu’min Boli, Aktivis Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI). Foto: Ist.
" Masa reformasi menjawabnya dengan tiga langkah sekaligus yaitu pembatasan masa kepemimpinan, liberalisasi politik dan ekonomi, serta amandemen konstitusi "
Oleh: Mu’min Boli
Aktivis Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI)
24 TAHUN silam, saat Indonesia diterpa krisis, terjadilah sebuah perubahan sosial dan politik pada periode 1998-1999 yang melahirkan reformasi di negeri ini. Pada periode itu, sistem ketatanegaraan kita dituding sebagai biang kerok atas mandeknya regenerasi kepemimpinan nasional.
Masa reformasi menjawabnya dengan tiga langkah sekaligus yaitu pembatasan masa kepemimpinan, liberalisasi politik dan ekonomi, serta amandemen konstitusi. Atau lebih bekennya terkenal dengan penyebutan “6 agenda reformasi” yaitu: adili Soeharto dan pengikutnya, amandemen UUD 1945, hapus dwi fungsi ABRI, hapus KKN, serta tegakkan supremasi hukum.
Selajutnya, maksud hati ingin memperbaiki kesalahan, namun yang terjadi justru sebaliknya, sejak saat itu kekacauan sistem ketatanegaraan terjadi. Dampaknya negara kehilangan kemampuan untuk melaksanakan dua tugas utamanya yakni memberikan kesejahteraaan dan rasa aman (baca: keadilan) bagi rakyatnya.
Kenapa bisa demikian? Sebab kesalahan fatal dari era reformasi adalah menganggap bahwa pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan yang otoriter, sehingga pendekatan penyelesaiaan masalah dimulai dari sana yaitu menghilangkan negara yang otoriter yang mewujud lewat kepemimpinan Soeharto.
Memang pemerintahan Soeharto jauh lebih otoriter ketimbang paham otoritarianisme. Tapi yang perlu diingat ialah bahwa pewaris atau penerus Soeharto tetap ada. Jangan kita lupakan bahwa selama 32 tahun berkuasa, Soeharto berhasil membangun basis kekuasaannya dengan jalan menundukan dan mengendalikan seluruh elemen bangsa, dengan Soeharto mampu duduk di atas puncak piramida kekuasaan tersebut sendirian.
Hal ini menurut Jeffrey A. Winters dalam bukunya oligarki, mengatakan bahwa zaman kepemimpinan Soeharto adalah oligarki sultanistik. Artinya, Soeharto berada di puncak piramida kekuasaan dan mengendalikan serta mengontrol semua kelompok oligarki yang menginduk kepadanya.
Baca Juga: Ekspor CPO dan Kebijakan Setengah Hati Atasi Kelangkaan Minyak Goreng
Akibatnya, ketika Soeharto jatuh, yang terjadi adalah pertarungan antar oligarki yang tadinya dibawah kendali Soeharto untuk memperebutkan sumber daya yang ada.
Fenomena pertarungan oligarki dalam mengendalikan negara inilah yang terus langgeng hingga saat ini. Sebab dalam reformasi yang melahirkan demokrasi para oligarki ini menjadikan negara sebagai arena pelegalan dari kepentingan mereka lewat wakil-wakil mereka di parlemen.
Akibatnya, kewajiban utama negara negara dalam memenuhi hak rakyatnya terbengkalai dan rakyat tetap merintih dalam pedihnya kemiskinan.
Negara republik dengan sistem pemerintah yang menganut sistem demokrasi seperti halnya Indonesia adalah bentuk negara ideal menurut Mochtar Lubis. Dalam sebuah negara demokrasi, kekuasan tertinggi berada di tangan rakyat, bukan penguasa.
Demokrasi jangan hanya dijadikan instrumen untuk meraih kekuasaan semata tapi bagaimana berdemokrasi bisa menghadirkan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat.
Kini, 24 tahun reformasi telah berlalu, namun kenyataannya reformasi belum mampu memperbaiki kehidupan rakyat secara signifikan. Di lain sisi, salah satu agenda reformasi yakni liberalisasi politik atau demokrasi pun kian hari kian menunjukan wajah yang suram.
Lantas, bagaimana iklim demokrasi Indonesia saat ini? Demokrasi dan partisipasi masyarakat di Indonesia mengalami penyusutan semenjak pandemi COVID-19 menghantam Indonesia. Sebab pandemi COVID-19 dijadikan pemerintah sebagai “kuda tunggangan” untuk membungkam kebebasan demokrasi.
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), sebuah LSM pejuang HAM (Hak Asasi Manusia) dan demokrasi dalam catatan akhir tahunnya, menyimpulkan sepanjang 2020, di masa pandemi COVID-19, sebagai tahun pelanggaran HAM dan tahun masuknya Indonesia sebagai negara otoriter secara sempurna. Tercatat ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil sepanjang tahun itu.
Dalam catatan YLBHI, ada 5 jenis pelanggaran, yakni: Pertama, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan dengan persentase tertinggi 26%. Kedua, pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa, sebesar 25%. Ketiga, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital dengan presentase 17%.
Keempat, pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi sebesar 16%. Kelima, pelanggaran terhadap data pribadi sebesar 16%.
Selanjutnya, The Economic Intelegence Unit dalam “Democracy Index 2020: In Sicknes and In Health?” sebuah laporan tentang demokrasi yang telah dikeluarkan lembaga ini dengan acuan 5 variabel untuk mengukur peringkat demokrasi pada 4 kategori, yaitu “full democracy”, “flawed democracy”, “hibryd democracy”, dan “authoritarian”.
Variabel itu adalah proses pemilu dan pluralisme, peran pemerintah, partisipasi politik, kultur politik, dan kebebasan sipil. Posisi Indonesia menurut laporan lembaga ini, bertahan pada ranking 64 dengan skor menurun. Menurut laporan lembaga ini, Indonesia mempunyai kultur politik yang buruk, begitu juga kebebasan sipil yang rendah.
Melihat fenomena politik yang terjadi semenjak pandemi hingga saat ini tentu sebuah hal yang riskan. Sebab di awal reformasi, kita begitu berharap kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat bisa tercapai lewat sistem politik yang demokratis.
Baca Juga: Target Pajak di Daerah Meningkat, Napas Bagi Sistem Keuangan Kapitalisme
Semua orang bisa menyampaikan aspirasinya tanpa perlu rasa takut, tapi lewat fenomena politik hari ini yang sudah dikooptasi kepentingan oligarki tadi akhirnya perubahan di sektor rill dan perbaikan kesejahteraan rakyat kian nahas.
Bahkan merujuk survey indikator politik Indonesia, 64,9% responden takut menyuarakan pendapat. Tentu ini sebuah ironi, sebab demokrasi yang harusnya memberikan keleluasaan bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan pandangan politiknya, malah membuat masyarakat takut dalam menyampaikan aspirasinya ditengah upaya menuntut keadilan yang kian buram.
Kini kita terlambat menyadari bahwa reformasi yang melahirkan demokrasi dengan sendirinya juga mengandung potensi untuk menggerus dan mematikan kebersamaan kita sebagai bangsa bahkan mematikan demokrasi itu sendiri bila prinsip dan pendirian Negara Republik Indonesia tidak kita rawat dan pegang teguh.
Akhirnya, stabilitas demokrasi haruslah kita rawat. Kita harus menolak tegas upaya pelemahan demokrasi. Demokrasi harus ditempatkan sebagai skala prioritas dalam konteks bernegara, setelah itu baru kemakmuran bisa terwujud.
Demokrasi harusnya menghargai kebebasan manusia untuk berkarya. Dan yang paling penting demokrasi harus memastikan perputaran kekayaan tidak hanya beredar di antara segelintir orang-orang kaya. Sebab jika demikian maka kesenjangan sosial akan makin melebar dan ini merupakan kejahatan yang kita rawat dalam proses kita bernegara. (*)