MK Putuskan KPK Tak Perlu Izin Dewas Saat Kerja-Kerja Penyidikan
Sugiharta Yunanto, telisik indonesia
Rabu, 05 Mei 2021
0 dilihat
MK menyatakan bahwa penyidik KPK tidak perlu izin dari Dewan Pengawas (Dewas) dalam melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan untuk kepentingan penyidikan maupun penuntutan. Foto: Repro Google.com
" Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas, namun cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas. "
JAKARTA, TELISIK.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu izin dari Dewan Pengawas (Dewas) dalam melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan untuk kepentingan penyidikan maupun penuntutan.
Hal tersebut disampaikan hakim konstitusi Aswanto saat membacakan pertimbangan dalam putusan perkara nomor 70/PUU-XVII/2019 mengenai uji materiil Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK, Selasa (4/5/2021).
"Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas, namun cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas," kata Aswanto di Gedung MK.
Ketentuan yang mengatur penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan perlu mendapat izin dari Dewan Pengawas tercantum dalam Pasal Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47.
Baca juga: Mendagri Perintahkan Gubernur Larang Bukber dan Halal Bihalal Lebaran
Aswanto mengatakan, tindakan penyadapan sebetulnya memang sangat terkait dengan hak privasi seseorang maka penggunaannya harus dengan pengawasan yang cukup ketat. Artinya, tindakan penyadapan yang dilakukan KPK tidak boleh digunakan tanpa kontrol atau pengawasan.
Meskipun demikian, kontrol tersebut bukan dalam bentuk izin yang berkonotasi ada intervensi dalam penegakan hukum oleh Dewan Pengawas kepada pimpinan KPK, atau seolah-olah pimpinan KPK menjadi sub ordinat dari Dewan Pengawas.
Selain itu, MK menegaskan, kewajiban untuk mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, tidak saja bentuk campur tangan atau intervensi terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegak hukum.
"Akan tetapi lebih dari itu, merupakan bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro justicia yang seharusnya hanya dimiliki oleh lembaga atau aparat penegak hukum," ungkap Aswanto.
Baca juga: Pemprov DKI Kaji Tutup Tempat Wisata 6-17 Mei
Dirinya mengatakan, tindakan penegakan hukum yang mengandung upaya-upaya paksa adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang secara kelembagaan tertata dalam pelembagaan criminal justice system.
"Dalam perspektif pelembagaan criminal justice system penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa sebagai salah satu syarat untuk dapat dikatakan sebagai suatu negara hukum hanya memiliki sistem pelembagaan criminal justice system," ujar Aswanto.
Dalam gugatan perkara ini, MK mengabulkan sebagian uji materiil. Sementara, mengenai uji formal, MK menolak secara keseluruhan gugatan.
Gugatan dengan nomor perkara 70/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Fathul Wahid, Abdul Jamil, Eko Riyadi, Ari Wibowo dan, Mahrus Ali.
Para pemohon mengajukan gugatan formil dan gugatan materiil terhadap sejumlah pasal dalam UU KPK di antaranya Pasal 1 angka 3, Pasal 3, Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 24, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40, Pasal 45A ayat (3) huruf a, dan Pasal 47 ayat (1). (C)
Reporter: Sugiharta Yunanto
Editor: Haerani Hambali