Nafsu Kekuasaan Besar, Kerja Menurun
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 04 Mei 2025
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang. Foto: Ist.
" Partai Gerindra menyatakan akan mengusung kembali Prabowo Subianto sebagai calon presiden di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2029 mendatang "

Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang
GERINDRA amat percaya diri bahwa Presiden Prabowo telah bekerja untuk rakyat dan rakyat mempercayainya, sehingga dalam acara Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-17 Partai Gerindra menyatakan akan mengusung kembali Prabowo Subianto sebagai calon presiden di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2029 mendatang.
Awal pemerintahannya sekitar 100 hari, memang tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka amat tinggi sebesar 80,9 persen. Namun, pasca 100 hari pemerintahannya malah cenderung blunder dalam berkomunikasi maupun menyampaikan keputusan ataupun kebijakan pemerintah.
Contoh terbaru, Hasan Nasbi sebagai Kepala Komunikasi Kepresidenan memilih mengundurkan diri pasca komunikasinya yang buruk dalam merespons kasus jurnalis media Tempo yang diteror dengan kiriman kepala babi. Hasan menyadari komunikasinya yang buruk telah menyebabkan Prabowo sebagai Presiden jengkel.
Pilihan mengundurkan diri adalah cara terbaik ketimbang dirinya direshuffle oleh Presiden Prabowo. Pilihan bagi orang-orang di pemerintahan ketika bersalah untuk mengundurkan diri juga ditenggarai sebagai strategi pemerintahan ini agar kepuasan masyarakat tidak berubah menjadi sentimen negatif terhadap pemerintah.
Sikap Partai Gerindra sebagai partainya Presiden Prabowo yang jauh-jauh hari mengusung Prabowo kembali sebagai Presiden merupakan tindakan yang blunder. Sebab pemerintahan Prabowo belum berjalan minimal 1 tahun, tetapi pembicaraan sudah tentang lima tahun ke depan.
Akhirnya, yang menyembul ke permukaan adalah nafsu kekuasaan kian membesar tetapi kinerja pemerintahan cenderung menurun, asumsi ini dapat diresapi dari penyataan Presiden Prabowo bahwa 150 hari pemerintahannya komunikasi pemerintah begitu buruk.
Berebut Pengaruh, Pemerintahan Terbelah
Pemerintahan ini tampak oleh publik telah terjadi perebutan pengaruh, antara Presiden dan Wakil Presidennya yang menyebabkan para menteri di kabinet tampak tidak solid. Bahkan, perebutan pengaruh ini tidak sekadar antara Prabowo sebagai Presiden dengan Gibran sebagai Wakil Presiden, tetapi juga direcoki oleh pengaruh dari luar yakni mantan presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga ayahnya Gibran karena ia masih punya pengaruh terhadap beberapa orang menteri di kabinet.
Perebutan pengaruh ini akhirnya berdampak pada kondisi pemerintahan saat ini yang ditenggarai terbelah. Kabinet diyakini tidak solid sehingga terjadinya persepsi bahwa kepala pemerintahannya adalah Prabowo yang bekerja administratif dan legal, sedangkan Jokowi dianggap sebagai kepala politik yang sifatnya informal dari menteri-menteri yang loyal kepadanya.
Baca Juga: Ide Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Perorangan
Perebutan pengaruh ini juga menyebabkan kerja pemerintah menjadi tidak solid. Kekhawatiran terhadap “permainan politik” Wakil Presiden Gibran juga tampak nyata di publik, Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengusulkan pencopotan wakil presiden Gibran, tak bisa dianggap sekadar kebebasan berpendapat.
Tampaknya ada kerisauan dari pemerintahan yang terbelah ini utamanya hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden. Memang benar, yang menjalankan pemerintahan saat ini adalah Prabowo sebagai Presiden, tetapi ketika Prabowo sedang melakukan lawatan ke luar negeri maka posisinya digantikan kepada Wakil Presiden Gibran.
Kekhawatiran terjadi, sebab Gibran beraksi untuk melakukan penguatan pengaruhnya di publik seperti Gibran membuka layanan Pengaduan “Lapor Mas Wapres”. Ini juga yang mewarnai narasi dari tuntutan Forum Purnawirawan TNI untuk melakukan pencopotan Wakil Presiden Gibran.
Forum Purnawirawan TNI ditenggarai khawatir Prabowo kalah “pamor” dengan Gibran, meski yang dituntut pencopotan Gibran sebagai wakil presiden karena tindakan tidak etis Gibran ketika mencalonkan diri sebagai wakil presiden sebab memang melibatkan pengaruh keluarga dalam hubungan antara “paman dan keponakan.”
Narasi hubungan keluarga mewarnai dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguntungkan Gibran karena dirinya dapat mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden tanpa terhalang oleh batas usia.
Kinerja Pemerintahan Merosot, Reshuffle Tak Kunjung Hadir
Tak dipungkiri pemerintahan terbelah mempengaruhi kinerja pemerintahan. Kompleksnya permasalahan pemerintahan ini diyakini membuat “kening” Presiden Prabowo berkerut, sebab terjadinya perebutan pengaruh di pemerintahan, ditambah juga dengan blunder dari sikap terburu-terburu Partai Gerindra yang mengutarakan kepada publik untuk mengusung kembali Prabowo sebagai calon presiden.
Tak mudah Presiden Prabowo untuk membenahi berbagai permasalahan ini. Sekadar melakukan reshuffle saja ditenggarai Prabowo amat kesulitan untuk mengambil keputusan tersebut. Meski realitasnya, tindakan beberapa menterinya telah membikin dirinya geram, seperti Budi Arie Menteri Koperasi yang membahas program kerja kementerian yakni Koperasi Desa Merah Putih di luar struktur resmi kabinet.
Budi bukannya berkonsultasi dengan Presiden yang berkuasa, tetapi malah kepada Jokowi yang statusnya sekadar mantan presiden yang jelas-jelas tidak lagi punya legalitas kekuasaan.
Presiden Prabowo dengan kekuasaannya untuk melakukan reshuffle diyakini dilema, padahal melakukan perombakan kabinet adalah hak prerogatif Prabowo sebagai Presiden dan reshuffle merupakan bagian dari upaya untuk menguatkan kembali kesolidan menteri-menteri di kabinetnya serta agar kinerja pemerintahan dapat berjalan lebih baik ke depannya.
Tetapi riuh dan kompleksnya permasalahan pengelolaan kekuasaan, malah menghadirkan kenyataan, semakin kesulitannya Prabowo sebagai Presiden untuk mengambil sikap tegas.
Baca Juga: 100 Hari Pemerintahan, Kepuasan Bernilai Tinggi dengan Catatan
Beberapa partai politik sebagai pendukung pemerintahan mengambil kesempatan dari blundernya Partai Gerindra yang ingin mengusung kembali Presiden Prabowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2029 mendatang. Misalnya, Partai Golkar melalui Ketua Umumnya Bahlil Lahadalia menyatakan mendukung Pemerintahan Presiden Prabowo sampai selesai, bahkan jika ingin dua periode bisa dibicarakan.
Pernyataan Bahlil ini ditenggarai sekadar permainan politik dalam komunikasi politik untuk kepentingan politik semata. Golkar disinyalir sedang mencoba menegosiasikan dan merayu Prabowo untuk tidak mengutak-atik jatah kursi kabinet Golkar, jika ingin Prabowo dua periode di dukung oleh partai golkar.
Fakta dari berbagai peristiwa ini telah tampak di permukaan dan juga bisa dilihat oleh publik awam sekalipun. Pemerintahan ini telah terjadi perebutan pengaruh yakni antara Presiden Prabowo dengan Wakil Presiden Gibran dan antara Presiden Prabowo dengan mantan Presiden Jokowi.
Akibatnya tak bisa dihindari pemerintahan ini terbelah, dengan kabinet yang tidak lagi solid karena beberapa menteri ditenggarai telah “bermain hati” yang menganggap Prabowo sebagai kepala pemerintahan legal sedangkan sebagai kepala politiknya mereka tetap menghormati Jokowi.
Di tengah rapuhnya kesolidan kabinet, malah dihadapi dengan fakta partai-partai politik memainkan polemik blunder Gerindra dengan mendukung Prabowo tetapi tak bisa dilepaskan makna tersembunyi didalamnya untuk tidak ingin jatah kursi di kabinetnya diganggu. Ini menunjukkan pemerintahan ke depan semakin akan riuh, dampaknya diprediksi adalah kinerja pemerintahan malah memungkinkan semakin menurun. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS