Negara Maju Ramai-Ramai Bikin Matahari Buatan, untuk Apa?
Ibnu Sina Ali Hakim, telisik indonesia
Rabu, 22 September 2021
0 dilihat
Negara maju ramai-ramai bikin matahari buatan. Foto: Repeo CNNC
" Tim ilmuwan di Tokamak Energy merupakan bagian dari tim ahli terkemuka dunia yang mencoba menciptakan kembali fusi nuklir, proses membuat bintang terbakar "
BEIJING, TELISIK.ID - Beberapa negara di dunia berambisi memiliki matahari buatan melalui teknologi Experimental Advance Superconducting Tokamak (EAST).
Pada Mei lalu ternyata matahari buatan China menciptakan rekor baru, dengan suhu plasma EAST sudah berhasil mencapai 120 juta derajat Celcius selama 101 detik dan 160 juta Celcius selama 20 detik.
Alat ini dirancang untuk meniru proses fusi nuklir yang terjadi secara alami di matahari dan bintang-bintang untuk menyediakan energi bersih yang hampir tak terbatas melalui fusi nuklir terkontrol. Bukan hanya China yang mengembangkan matahari buatan ini, melainkan juga negara maju lainnya seperti Inggris, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Perancis.
Dilansir dari Cnbcindonesia, alasan negara maju membuat matahari buatan ini yakni untuk keperluan energi bersih dan tidak lagi bergantung pada energi fosil. Energi dari bahan bakar fusi ini pun diperkirakan bisa lebih berlimpah ketimbang energi fosil. Bahkan, energi yang dihasilkan dari reaksi fusi diperkirakan empat kali lebih besar dari reaksi fusi yang dihasilkan reaktor nuklir.
Selain itu, fusi dapat menghasilkan energi sesuai permintaan dan tidak terpengaruh cuaca. Situs ITER menyebutkan selama ada unsur hidrogen maka reaksi fusi tetap dapat dilakukan. Ini menjadikannya berbeda dengan pembangkit energi ramah lingkungan yang lainnya, yang dipengaruhi oleh konsistensi pasokan sumber energi seperti surya, air, dan angin.
Kemudian, reaksi fusi juga diklaim tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca sehingga lebih ramah lingkungan. Dia hanya mengeluarkan zat buangan seperti helium dan tidak berbahaya. General Fusion menyebutkan fusi tidak mengeluarkan gas rumah kaca yang bisa merusak atmosfer.
Tim ITER juga menyebutkan pada dasarnya reaksi fusi lebih aman dan kemungkinan kebocoran sangat minim. Limbah dari kebocoran juga bisa memiliki waktu peleburan yang lebih singkat, sehingga kecelakaan nuklir seperti yang terjadi di Fukushima kemungkinan kecil terjadi.
Sebelumnya, Tim ilmuwan di Tokamak Energy merupakan bagian dari tim ahli terkemuka dunia yang mencoba menciptakan kembali fusi nuklir, proses membuat bintang terbakar. Ini adalah fusi dua atom hidrogen menjadi satu.
Pendiri dan wakil ketua Tokamak Energy, David Kingham meyakini temuan pihaknya bisa dicapai beberapa bulan lagi. Yakni saat plasma bisa mencapai 100 derajat celcius atau enam kali lebih panas dari matahari. Kingham juga mengatakan perusahaannya dapat menyediakan pembangkit listrik fusi nuklir komersial pertama pada akhir 2030-an mendatang.
Baca Juga: Bumi Tak Siap Hadapi Badai Matahari Super, Kiamat Internet Bakal Terjadi
Baca Juga: Terungkap Wujud Mumi Ratu Tiye Istri Firaun, Ini Penampakannya
Kemudian menurut Li Miao, direktur departemen fisika Universitas Sains dan Teknologi Selatan di Shenzhen, proyek ini adalah tonggak pencapaian tujuan menjaga suhu pada tingkat yang stabil untuk waktu yang lama.
"Terobosan ini adalah kemajuan yang signifikan, dan tujuan akhir harus menjaga suhu pada tingkat yang stabil untuk waktu yang lama," kata Li Miao dikutip dari Global Times.
Ia menambahkan tonggak berikutnya mungkin untuk menjaga stabilitas selama seminggu atau lebih.
Energi yang dihasilkan dari fusi nuklir adalah energi yang paling andal dan bersih, Lin Boqiang, direktur Pusat Penelitian Ekonomi Energi China di Universitas Xiamen, mengatakan jika teknologi itu dapat diterapkan secara komersial, itu akan memiliki manfaat ekonomi yang besar.
Namun, Lin Boqiang mengingatkan karena teknologi tersebut masih dalam tahap percobaan, setidaknya masih membutuhkan waktu 30 tahun bagi teknologi ini keluar dari laboratorium.
"Ini lebih seperti teknologi masa depan yang sangat penting untuk dorongan pembangunan hijau China." (C)
Reporter: Ibnu Sina Ali Hakim
Editor: Haerani Hambali