Palangga, Bukti Peradaban Kuno Kerajaan Moronene

Jumrad Raunde, telisik indonesia
Minggu, 18 April 2021
0 dilihat
Palangga, Bukti Peradaban Kuno Kerajaan Moronene
Salah satu sudut di puncak benteng Palangga pada ketinggan sekitar 523 meter di atas permukaan laut. Benteng Palangga terakhir didiami oleh penduduk yaitu sekitar tahun 1950-an saat suasana di Pulau Kabaena telah kondusif dari serangan DI/TII. Foto: Jumrad Raunde

" Secara etimologi, Palangga terdiri dari dua suku kata yaitu Pa yang berarti objek penderita apakah seseorang atau benda dan Langga yang berarti alas bangunan berlapis. "

Oleh: Jumrad Raunde

Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bombana

PALANGGA adalah salah satu benteng yang terletak sekitar 3 kilometer bagian timur Kelurahan Teomokole, Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara pada titik koordinat LU-5, 26306, LS 121, 8544 dengan ketinggian mencapai 600 meter di atas permukaan laut (GPS By Applikasi Open Camera). Benteng tersebut memanjang mengikuti kontur bukit.

Tak dapat saya menyebutkan ukuran luas secara pasti melainkan perkiraan semata atas dasar waktu tempuh yang digunakan untuk mengelilingi kawasan tersebut yang mencapai 6,5 jam. Kondisi medannya relatif sulit dan membahayakan.

 

Pintu benteng untuk mencapai puncak Palangga. Foto: Jumrad Raunde

 

Pada bagian timur benteng Palangga diyakini sebagai pintu yang lebih mudah diakses untuk sampai ke puncak. Sedangkan pada bagian selatan dan barat terdapat beberapa tebing yang harus di panjat menggunakan alat bantu akar untuk bias bergerak naik sampai di puncak.

Jika disatukan dengan Benteng Laatu, maka waktu tempuh untuk mengelilingi kawasannya akan lebih lama. Kedua benteng itu adalah berdampingan dan seolah tidak memiliki tapal batas khusus.

 

Lempeng batu berukuran sekitar 2-3 meter dengan tebal sekitar 10-20 centimeter yang diduga kuat sebagai altar, yaitu tempat peletakan kurban saat pemujaan. Foto: Jumrad Raunde

 

Di tengah kawasan itu berupa lembah yang beberapa bagian ditemukan beberapa rongga atau semacam gua. Terdapat satu rongga besar yang dasarnya adalah mata air yang diduga pernah menggenang beberapa lama ditandai dengan pasir kasar dan kerikil di relung itu.

Di lembah itu juga, kami menemukan seekor ular berwarna merah dengan perkiraan panjang antara 50-100 centimeter dengan besar seukuran baterai 1 inchi.

Dari lembah kemudian naik menuju pintu utama di bagian timur, harus melewati alur di tebing yang lebarnya sekitar 30-60 centimeter, khusus bisa dilewati satu orang sepanjang sekitar 20 meter. Alur tersebut seolah sengaja dibuat sebagai jalan.

Di lembah itu saat ini lebih banyak ditumbuhi rerumpunan buluh dan bamboo berduri. Kami menduga rerumpunan itu tidak terjangkau oleh hewan ternak (sapi) sehingga masih bertahan.

Baca juga: Nasib Tak Ada Listrik, Dua Remaja di Elar Rakit Velg Roda Jadi Kincir Penggerak Arus

Riwayat Palangga dan Laatu

Secara etimologi, Palangga terdiri dari dua suku kata yaitu Pa yang berarti objek penderita apakah seseorang atau benda dan Langga yang berarti alas bangunan berlapis. Contoh dapat dilihat pada bentuk rumah panggung yang menggunakan alas tiang yang disebut polangga.

Sedangkan Laatu diyakini sebagai nama seseorang, sehingga secara umum dapat diartikan bahwa Palangga merupakan tumpukan batu membentuk benteng yang dibangun oleh seseorang yang bernama Laatu.

Laatu diyakini adalah bungsu dari 9 orang bersaudara yang umum dikenal oleh masyarakat Kabaena dengan sebutan Doo Nsio Langi atau manusia raksasa (Kalamboro). Nama-nama tersebut tidak spesifik disebut dalam sastra lisan (KADA), melainkan hanya disebut dengan gelar Tongi Mpuu Wonua oleh Dr. Johanes Elbert dalam bukunya, The Sunda Expedition sub Die Insel Kabaena Tahun 1905.

Rangka manusia raksasa itu pernah dilihat langsung oleh beberapa orang yang sebagian besar sudah almarhum namun masih ada yang menjadi saksi hidup diantaranya adalah Bapak Suratman, pensiunan TNI, Mahmud Sarif, Kepala Dusun Tirongkotua Desa Tirongkotua Kecamatan Kabaena dan puluhan lainnya yang tidak dapat disebut satu per satu. Rangka tersebut saat dilihat masih dalam keadaan utuh dengan perkiraan tinggi saat duduk mencapai 3 meter.

Sayangnya saat penelusuran, rangka manusia dimaksud belum kami temukan selain hanya bau bangkai menyengat yang dirasakan. Alkisah, rangka itu bersifat ada dan tiada (ada bagi orang yang pernah melihatnya, tiada bagi yang tidak mempercayai). Istilahnya dalam bahasa Kotu’adisebut Winio yang berarti menghilang dan tidak akan ditemukan saat bersengaja mencarinya.

Dalam hikayat disebutkan bahwa rangka itu adalah salah seorang yang terlibat dalam pembangunan banteng Palangga. Dikisahkan, Palangga dibangun menggunakan pasukan jin dari seluruh dunia berdasarkan kemampuan tinggi yang dimiliki oleh Laatu. Salah satu bukti bahwa Palangga dibangun oleh pasukan jin adalah adanya benda serupa botol yang masih dapat dilihat langsung.

Benda tersebut terletak di bagian kiri dinding pintu masuk benteng. Benda itu hanya mampu digoyangkan sebab badan botol terdapat di dalam batu dan lehernya-lah yang nampak dan menjadi tempat berpegang saat naik di benteng itu. Bersebab dari pembangunan benteng itu pulalah sehingga Pulau Kabaena juga dikenal sebagai salah satu Kota Jin terbesar di dunia.

Tidak disebut berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bangunan tersebut melainkan terkisah bahwa pada awal abad ke 8, Laatu setelah menghadiri undangan pesta besar-besaran yang diselenggarakan selama delapan hari delapan malam oleh Raja Laki La Dende, pesta tersebut berlangsung sangat meriah yang diselanya diperbincangkan dan disepakati tentang tapal batas Kerajaan Mekongga dan Kerajaan Moronene.

Sepulang dari undangan tersebut, sebelum menyeberang pulau, Laatu bersama Palangga membuat patok sebagai tapal batas antara kerajaan. Patok tersebut berupa bambu berduri yang sampai saat ini masih dijumpai di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa-Watu Meohai. Wallaahu a’lam. (*)

TAG:
Baca Juga