Koalisi Indonesia Bersatu, Koalisi Setengah Hati

Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 13 Agustus 2022
0 dilihat
Koalisi Indonesia Bersatu, Koalisi Setengah Hati
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus & Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Meski terlihat kompak mendatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendaftarkan diri partainya masing-masing, tetapi ketiga partai ini masih terkesan setengah hati dalam membangun koalisi "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik & Owner Penerbitan

DUA bulan yang lalu, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) telah menandatangani kesepakatan bersama membangun koalisi yang terdiri atas Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).  

Dalam perkembangannya, meski terlihat kompak mendatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendaftarkan diri partainya masing-masing, tetapi ketiga partai ini masih terkesan setengah hati dalam membangun koalisi.

Seputar pembentukan KIB juga beragam asumsi hadir disuguhkan kepada publik. Seperti, KIB hanya “sekoci” bagi Ganjar Pranowo, pembentukan KIB direstui oleh Presiden Jokowi agar PDIP dapat bermain “dua kaki,” hingga kepada asumsi KIB dibentuk untuk menyelamatkan posisi ketua umum dari masing-masing partai tersebut.

Penulisan ini ingin mencoba untuk menganalisis mengenai KIB yang dianggap koalisi setengah hati.

Pembentukan KIB yang “Terpaksa”

Pembentukan KIB terkesan berusaha mengambil momentum. Padahal, keputusan melakukan kesepakatan bersama ketiga partai itu dalam membentuk KIB disinyalir dilakukan pada situasi yang tidak baik-baik saja.

Problematika internal dari masing-masing partai ketika itu, sedang menyudutkan masing-masing ketua umum partai tersebut, sehingga keputusan membangun koalisi bersama adalah pilihan yang baik dalam upaya meredakan konflik. Partai Golkar yang berusaha solid mengajukan Ketua Umum Airlangga Hartarto sebagai calon presiden. Ternyata, Airlangga Hartarto banyak didera persoalan.

Seperti, dari permasalahan keluarga, elektabilitasnya yang rendah, jabatan dan kinerjanya sebagai Menteri Koordinator Ekonomi yang tak mampu mendongkrak elektabilitasnya, hingga figur Airlangga Hartarto selaku ketua umum ternyata dari segi elektabilitas masih kalah dibandingkan anggota kader Golkar Dedi Mulyadi.

Keriuhan pada PAN juga lebih berisik. Zulkifli Hasan dihadapi dengan berbagai persoalan yang lebih dahsyat. Seperti, konflik internal yang menghasilkan kehadiran partai baru yakni Partai Ummat. Partai Ummat berdiri dengan dampaknya PAN bukan saja kehilangan Amin Rais sebagai figur ikon partai selama ini, tetapi juga ditinggalkan oleh beberapa elit PAN disertai anggota-anggotanya dari tingkat pusat hingga daerah-daerah.  

Baca Juga: Pergeseran Peran Rekrutmen Politik

Zulkifli Hasan juga dibebani oleh keputusan mendukung pemerintah, tetapi kala itu Presiden Joko Widodo masih belum memberikan kompensasi dari dukungan PAN berupa kursi menteri. Waktu menunggu kepastian PAN memperoleh kursi menteri, menghasilkan riak-riak keinginan pengurus di tingkat daerah untuk PAN segera beralih kembali menjadi oposisi dengan bergabung bersama PKS dan Partai Demokrat, disertai dengan keputusan mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden pada Pilpres 2024 nanti.

PPP yang dipimpin Suharso Manoarfa juga setali tiga uang dengan Partai Golkar dan PAN. PPP dengan kepemimpinan Suharso dianggap tidak bergairah, tidak punya semangat menghadapi Pemilu Serentak ini. Bahkan, sikap tenang PPP tidak melakukan “dansa” politik dalam soal mendukung sosok calon presiden dikhawatirkan akan berefek nyata kepada PPP tidak lolos parliamentary threshold, sebagai partai yang dapat mengantarkan kadernya sebagai legislator dengan berkantor di Senayan.

Berdasarkan argumentasi ini, penulis meyakini, pembentukan KIB hanya karena adanya kepentingan pribadi masing-masing ketua umum dari ketiga partai tersebut semata, yang akhirnya menyatukan dan menghasilkan kesepakatan bersama membentuk KIB.

KIB Solid Tetapi Tetap Diragukan

Penilaian KIB dibangun dengan dasar kepentingan sesaat saja. Wajar akhirnya, KIB tak terlihat peran dan dinamikanya dalam pemrosesan nama-nama calon sebagai calon presiden maupun pasangan calon dari koalisi tersebut. Kepentingan yang sesaat ini ternyata juga bersamaan dengan kenyataan pahit, ketua umum dari masing-masing partai tersebut tidaklah memiliki elektabilitas yang minimal lumayan.

Sehingga dalam penalaran yang wajar, KIB sekadar menunggu tanpa sikap yang terarah dan jelas.

Akhirnya KIB terombang-ambing, hanya sekadar nama dari perkumpulan ketiga partai tersebut. Bila, ingin mengirimkan pesan politik kepada masyarakat seperti KIB solid, dengan melakukan kegiatan partai secara bersama semata seperti kompak mendaftar ke KPU dihari yang sama.

KIB mengirimkan pesan solid juga disinyalir bukanlah tanpa sebab. Sebelumnya, KIB dihadapkan beberapa fakta yang sedikit menimbulkan gelisah hati. Ganjar Pranowo yang diwacanakan akan menggunakan KIB sebagai sekoci, ternyata mengirimkan pesan politik telah mencoba meneguhkan hatinya kembali sebagai “petugas partai” PDIP semata.

Ganjar rela menurunkan obsesinya untuk menjadi calon presiden pada periode 2024 ini. Fakta lain, yang juga merisaukan adalah perilaku “genit” PAN melalui Zulfkili Hasan yang mengirimkan sinyal mulai goyah dan berniat untuk memilih menyeberang dengan mendukung figur Anies Baswedan.

Kesolidan KIB semakin mendapatkan tantangan ketika dua poros koalisi sudah mulai menampakkan keseriusan berkoalisi dan mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Gerindra dan PKB yang semakin mesra, sepertinya koalisi ini tidak kesulitan menentukan capres maupun pasangan calon yang akan diusungnya.

Sebab, Koalisi Gerindra-PKB memiliki figur dengan elektabilitas tinggi masuk dalam tiga besar yakni Prabowo Subianto yang diusung kembali oleh Gerindra sebagai calon presiden. Sedangkan, Koalisi Nasdem dan PKS sepertinya akan terpenuhi persyaratan presidential threshold dengan peluang bergabungnya Partai Demokrat.

Koalisi Nasdem-PKS-Partai Demokrat tak kesulitan menentukan capres maupun pasangan calon seperti mengajukan paket Anies-AHY, yang dapat dipastikan begitu dikhawatirkan oleh PDIP, kedua nama itu juga memiliki elektabilitas tinggi dan lumayan sebagai capres dan cawapres.

Baca Juga: Selamatkan Hak Konstitusional Lewat Data Pemilih

Jika demikian, KIB tentu saja semakin perlu mencermati situasi perpolitikan ke depan dengan disertai perhitungannya. Pilihan yang menarik dan menguntungkan adalah berkoalisi bersama PDIP, konsekuensi yang dapat terjadi adalah Koalisi Indonesia Bersatu hanya tinggal nama saja.

Maupun berkoalisi dengan poros Partai Gerindra-PKB, atau poros Partai Nasdem-PKS-Partai Demokrat konsekuensinya Koalisi Indonesia Bersatu menjadi KIB plus.  

Pilihan pahit juga dapat dipilih meski terakhir, tetap mendorong paket pasangan calon dengan KIB, meski dengan peluang menang yang kecil. Jika capres yang dipilih adalah salah satu ketua umum dari ketiga partai tersebut dengan elektabilitas nol koma sekian.

Namun terbuka juga tawaran pilihan relevan dan bijak, mengusung paket pasangan calon alternatif yang dihadirkan berdasarkan figur yang potensial mengejutkan publik, figur yang sesuai hot isu dalam menghadapi situasi pada saat itu, dengan catatan popularitas dan penerimaan publik adalah positif terhadap pasangan calon tersebut.

Sosok alternatif ini tidak harus dari internal salah satu dari ketiga partai tersebut, bisa saja perseorangan yang profesional dan bukan anggota partai manapun. Pilihan ini konsekuensinya adalah koalisi yang dibentuk dari beberapa partai ini mengakomodir figur perseorangan di masyarakat, KIB hanya sebagai wadah sosok maupun pasangan calon yang potensial tetapi bukan anggota partai manapun. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga