Kesuksesan Pembelajaran Tatap Muka Minggu Pertama

Efriza, telisik indonesia
Senin, 11 Oktober 2021
0 dilihat
Kesuksesan Pembelajaran Tatap Muka Minggu Pertama
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Dampak buruk ini dinyatakan oleh Nadiem bahwa sangat dirasakan pada tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

PEMERINTAH pusat dan pemerintah daerah telah sukses melaksanakan minggu pertama untuk PTM terbatas di tingkat sekolah. Keseriusan pemerintah memilih kebijakan vaksinasi telah membawa hasil baik dengan penurunan kasus COVID-19 secara nasional.

Harus diakui PTM Terbatas minggu pertama terbilang lancar, utamanya di Kota Depok. Minggu depan PTM terbatas minggu kedua akan dijalankan kembali, tentu saja diharapkan PTM terbatas dapat terus dilakukan sampai akhirnya negeri ini terbebas dari pandemi COVID-19.

Meski begitu, kesuksesan PTM terbatas minggu pertama ini harus benar-benar terus dilakukan pengawasan, sosialisasi dan edukasi mengenai perkembangan situasi pandemi COVID-19 dan juga mengingatkan pentingnya divaksinasi agar tercapainya herd immunity.

Sebab gelombang ketiga dari pandemi COVID-19, bisa saja akan terjadi dalam perkembangan waktu menuju akhir tahun, ditambah lagi dengan realitas akan dibukanya tempat wisata yang akan menjadi ajang gelombang “balas dendam” rekreasi keluarga yang selama ini terhambat oleh pandemi COVID-19, dan juga akan dibukanya kembali penerbangan internasional.

Keseriusan Nadiem Makarim

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim akhir September lalu, menunjukkan keseriusan untuk menjalankan kebijakan PTM yang telah berdasarkan dari Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri.

Nadiem mengatakan sekitar 80-85 persen masyarakat memang sudah menginginkan PTM dilakukan kembali. Ia juga menyatakan sudah tidak jamannya lagi menutup daerah sekolah, dan juga menyatakan hasil evaluasi menunjukkan pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memiliki dampak buruk yang permanen jika dilakukan dalam waktu lama.

Dampak buruk ini dinyatakan oleh Nadiem bahwa sangat dirasakan pada tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD), (liputan6.com, 29 September 2021).

Harus diakui, penulis memang merasakan prioritas Menteri Nadiem terhadap PAUD dan SD yang dianggap akan berdampak permanen jika dilakukan PJJ, memang benar adanya. Kebutuhan mereka untuk PTM jauh lebih tinggi.

Murid PAUD dan SD memang jauh lebih membutuhkan PTM dibandingkan usia yang sudah beranjak dewasa seperti SMP dan SMA. Anak-anak berkategori PAUD dan SD bagi penulis, dianggap membutuhkan pembelajaran tatap muka didasari oleh beberapa hal berikut ini.

Pertama, di masa-masa anak dengan kategori PAUD dan SD membutuhkan lebih banyak membangun jiwa sosial seperti belajar tenggang rasa, toleransi, kebersamaan dalam kehidupannya, sementara dengan sistem PJJ nilai-nilai ini hilang.

Nilai-nilai ini dapat dianggap sebagai atmosfer akademik, tentu PJJ tidak bisa melakukan hal ini, untuk lingkungan kampus saja atmosfer akademik berupa ruang diskusi maupun berdebat tidak terjadi dengan cara penerapan PJJ.  

Kedua, sistem PJJ dengan menggunakan aplikasi yang ada di handphone tidaklah ramah terhadap anak, keseriusan, ketekunan mereka mencerna dan merekam pembelajaran lebih rendah dibandingkan disampaikan oleh seorang guru di sekolah.

Suasana menyimak guru berbicara di sekolah tidak akan bisa diganti oleh menyimak suara gurunya melalui youtube, apalagi jika sambil menerangkan guru itu aktif mendatangi murid-muridnya, suasana itu tentu juga akan menimbulkan perasaan menyenangkan hingga akhirnya pemahaman lebih mudah teresapi oleh murid.

Ketiga, penggunaan sistem elektronik di anak-anak usia dini hingga anak kelas kedua misalnya, tentu saja tidak akan terarah dengan baik, rebutan berbicara yang akhirnya malah mengacaukan jaringan sinyal, kebisingan dalam ruang virtual, dan ketidakjelasan pemantauan seorang guru terhadap perkembangan setiap anak-anak didiknya. Ini menunjukkan PJJ malah menyebabkan penyampaian materi maupun ruang diskusi tidak berjalan dengan baik dan tertib.

Keempat, kita juga tidak boleh melupakan perbedaan aturan yang menunjukkan dilema telah berlangsung lama, seperti, pemerintah menganjurkan anak PAUD-TK tidak terlalu diprioritaskan untuk membaca dan menulis, dengan lebih diutamakan bermain, baru di tingkat SD prioritas itu dilakukan.  

Tetapi kenyataannya sebelum Pandemi terjadi, guru-guru SD tidak terlalu memprioritaskan hal tersebut, karena berpikir guru-guru PAUD-TK sudah menjalankan hal ini, akhirnya guru PAUD-TK “sembunyi-sembunyi” mengajarkan kemampuan membaca pada anak didiknya. Ketika terjadi Pandemi Covid-19 ditambah dengan kebijakan situasi penutupan sekolah, tentu saja kualitas murid-murid mengalami penurunan, jika tidak ingin dikatakan drastis.

Terakhir, pemerintah memprioritaskan pendidikan gratis pada tingkat SD, tetapi dengan situasi ekonomi yang mendera akibat pandemi COVID-19 yang berkepanjangan. Memaksa orang tua murid mencari pembelajaran alternatif melalui Bimbingan Belajar (Bimbel) atau program les, sebab tidak mungkin semua orang tua murid bisa memberikan pengajaran.

Tentu saja ini menambah beban anggaran di tingkat masyarakat untuk mengejar ketertinggalan anak-anaknya dalam memperoleh pengetahuan, di sisi lain juga menunjukkan memang mereka tingkat PAUD dan SD yang memperoleh dampak buruk lebih besar dari penutupan sekolah dan sistem PJJ tersebut.

Baca Juga: Panggung Politik Kembali Bergoyang

Baca Juga: Kontradiksi Antara Pendapatan dan Kinerja Wakil Rakyat

Mencegah Kluster Sekolah dan Gelombang Ketiga COVID-19

Namun tentu saja, resiko besar dapat terjadi dengan membuka PTM untuk anak PAUD dan SD. Sebab, mereka belum termasuk dalam kategori umur yang boleh di vaksin. Resiko terpapar virus COVID-19 tentu akan lebih besar.

Wajar akhirnya Menteri Nadiem juga berkata, wacana tunggu vaksin dulu sebelum membuka PTM, membuat dilematis terkait anak di bawah usia 12 tahun tidak bisa divaksin, tetapi merekalah yang paling punya resiko besar jika PJJ terus dilakukan, (Liputan6.com, 29 September 2021).

Dalam mencegah kluster sekolah dan gelombang ketiga dari Pandemi Covid-19 tentunya Pemerintah Daerah bersama Pengawas Covid-19 sudah semestinya melakukan pengawasan ke sekolah-sekolah dalam bentuk Inspeksi Mendadak (Sidak) di daerah-daerah masing-masing.

Sidak ini juga dilakukan dalam bentuk edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya di vaksin dan berbahayanya penyakit COVID-19. Bahkan, sudah semestinya pemerintah daerah juga melakukan pendataan terhadap anak didik berkategori umur yang telah ditentukan tetapi belum melaksanakan vaksinasi.

Sidak ini juga semestinya turut mendata dan mempersiapkan sanksi. Sehingga, jika ditemukan sekolah-sekolah yang terbukti melonggarkan penerapan aturan dalam prosedur PTM Terbatas, dapat diberikan sanksi beberapa waktu berupa pelarangan pembukaan kelas bahkan sekolah jika terbuka mengabaikan.

Sidak ini juga bisa diperluas, dengan mendata orang tua murid yang belum di vaksin, sebab program vaksin ini dibalik makna herd immunity, adalah berupa perlindungan dari orang-orang dewasa yang sudah divaksin terhadap lingkungan kelompok rentan, maupun kelompok kategori umur yang belum termasuk untuk di vaksin.

Di samping itu, jika perlu dihadirkan pengawas eksternal di lingkungan sekolah dengan prosedur waktu yang tak tetap. Hal ini dilakukan agar sekolah tidak menjadi tempat kerumunan. Harus diakui PAUD dan SD sekarang ini, bukan saja menjadi ajang anak-anak bersekolah tetapi juga tempat berkumpulnya orang-orang tua murid.

Kerumunan orang tua murid dengan beragam alasan seperti kekhawatiran terhadap anaknya yang akhirnya memilih untuk menunggu di lingkungan luar dekat sekolah, maupun karena ia sedang bekerja di rumah sehingga merasa butuh penyegaran suasana lalu memilih berkumpul dengan keluarga teman-teman sekolah anaknya.  

Perlu menjadi perenungan bersama bahwa PTM Terbatas ini memang langkah baik, tetapi edukasi dan sosialisasi harus terus digiatkan, agar kesadaran masyarakat untuk divaksin terus meningkat, hal yang sama juga diharapkan agar masyarakat tidak menurunkan aktivitas penerapan protokol kesehatan.

Sebab, pandemi COVID-19 ini masih berlangsung dan negeri ini belum terbebas dari resiko gelombang ketiga COVID-19, bahkan negara Indonesia belum dinyatakan oleh pemerintah pusat sudah memasuki endemi COVID-19. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga